"Apa kalian tahu berita hari ini? Kakak kelas kita yang terkenal itu, Kim Hyunjin. Kabarnya dia menghilang."
Sekolah pada pagi ini mendadak menjadi heboh setelah mendengar kabar hilangnya salah satu siswa di sekolah ini. Kabar itu tentu saja menjadi topik hangat seantero sekolah. Baik murid maupun guru, dibuat gempar karena berita mengejutkan ini.
"Aku pikir berita itu tidak benar. Menurut kalian, apa alasan dia menghilang? Apakah diculik?" Seorang gadis berambut pirang yang baru saja memasuki kelas dengan tidak sabaran ikut bergabung ke dalam sekelompok penggosip di kelas ini.
Si ketua kelas lantas tertawa pelan. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sembari membentuk ekspresi seolah sedang berpikir. "Menurutku tidak. Hei, dia itu jago bela diri, tahu! Tapi aku punya satu spekulasi yang mungkin saja benar. Sepertinya dia bunuh diri seperti orangtua teman sekelas kita. Dan keluarganya sengaja menutupi hal tersebut dengan cara menyebar rumor bahwa Hyunjin itu menghilang."
Seketika semua mata tertuju pada seorang siswa malang di pojok kelas. Beomgyu melepaskan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Lagi, ia dihadapkan oleh situasi yang membuatnya tidak nyaman akibat perbuatan kedua orangtuanya. Dunia seakan senang sekali melihatnya ditertawakan oleh orang-orang.
Beomgyu beranjak dari duduknya. Ia memilih untuk pergi dari kelas itu secepatnya. Bahkan saat Beomgyu pergi dari kelas pun, anak-anak penggosip itu masih saja berbisik-bisik tentang dirinya. Padahal Beomgyu sudah memilih untuk mengalah dan meninggalkan kelas, tapi mereka seakan tidak puas dengan itu. Mengapa semua orang seakan senang meledek dirinya? Kasus hilangnya Hyunjin tidak ada sangkut pautnya dengan kematian orangtuanya. Bukanya memberi ucapan bela sungkawa, mereka malah menjadikan itu sebagai cara untuk menginjak-injak harga dirinya.
Tujuannya hanya satu, yaitu kelas Hueningkai. Tak ada lagi orang lain yang bisa Beomgyu percaya selain Hueningkai. Setelah berita tentang keluarganya menyebar, satu-persatu teman-temannya mulai meninggalkan dirinya. Membicarakan dirinya dari belakang, dan bahkan beberapa tidak segan-segan untuk meledek atau menertawakannya secara terang-terangan seolah-olah hal yang menimpa dirinya adalah sebuah drama komedi yang begitu menggelitik perut.
Setibanya di depan kelas Hueningkai, Beomgyu melangkah cepat menuju meja lelaki blasteran itu. Dapat dibayangkan olehnya bahwa ketika melihat dirinya, Hueningkai akan menyapanya dengan semangat dengan senyum lebar secerah mentari pagi ini.
Namun, semua bayangan itu sirna seketika. Bukanya melihat wajah ceria Hueningkai, Beomgyu malah mendapati sahabatnya itu tertidur lesu dengan kepala yang berada di atas meja. Hueningkai tampak berbeda pagi ini.
"Morning, bro!" Beomgyu berusaha untuk tetap mempertahankan wajah berserinya. Menyapa sahabatnya dengan semangat seperti hari-hari biasa.
Akhirnya Hueningkai mengangkat kepalanya yang semula berada di atas meja. Ia mengulas sebuah senyuman. Tidak, bukan senyum lebar seperti biasanya. Tetapi, hanya sebuah senyuman tipis yang membuat Beomgyu bertanya-tanya di dalam benaknya. Kedua mata Hueningkai bahkan tidak ikut menyipit saat lelaki blasteran itu melempar senyum pada dirinya.
Disaat itu, Beomgyu sadar. Bahwa, senyuman Hueningkai pada pagi hari ini, tidak tulus.
Bingung. Itu yang Beomgyu rasakan. Saat bel pertanda waktu istirahat berbunyi, Beomgyu tidak melangkahkan kakinya menuju kantin seperti hari-hari biasanya. Kali ini, ia memilih untuk pergi menuju rooftop sekolah. Menyesap sebatang rokok sembari menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Beomgyu bahkan tidak mengetahui apa alasannya melakukan hal tersebut. Ini bukan seperti dirinya."Aku tidak tahu kalau kau seorang perokok."
Suara seseorang mengalihkan atensinya. Lantas, Beomgyu menolehkan kepalanya ke belakang, dan mendapati seorang pemuda bersurai pirang dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana. Taehyun, pemuda itu adalah Taehyun.
Beomgyu mendecih pelan. "Kenapa kau selalu ada dimana-mana?" ujarnya sembari memandangi hamparan langit biru.
Taehyun berjalan mendekati Beomgyu. Kedua sikunya ia tumpu pada pagar pembatas. Netra obsidian itu memandangi para murid yang berada di lapangan bawah. "Mungkin hanya kebetulan," jawabnya singkat.
Beomgyu tertawa. Setelahnya, ia kembali menyesap rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.
Alis Taehyun tampak saling bertautan sebab mendengar suara tawa Beomgyu. "Kenapa kau tertawa? Sudah gila?"
Batang rokok yang semula berada diantara jemarinya, kini ia buang ke atas lantai. Tak lupa pula menginjak benda tersebut, sebelum kembali memandangi hamparan biru di atas sana. "Hidup ini begitu lucu. Dunia sangat lucu."
Kalimat yang keluar dari belah bibir Beomgyu membuat Taehyun mengangkat kedua alisnya. Ia sedikit tertarik dengan arah pembicaraan mereka kali ini. "Seberapa buruk dunia mempermainkanmu?" Taehyun melemparkan pertanyaan, sembari memandang lelaki bermarga Cho itu dari samping.
Beomgyu bergumam pelan. "'Buruk', ya?"
Kali ini Beomgyu memutar tubuhnya, sepenuhnya menghadap Taehyun. Mengulas sebuah senyum tipis penuh arti. "Kau ingin tahu jawabannya? Sangat, dunia memperlakukanku sangat buruk. Menghina diriku, membuatku menderita, hingga rasanya aku ingin mati saja."
Taehyun tersentak saat Beomgyu tiba-tiba berlutut. Tubuhnya bergetar, ia menangis.
"Apa yang harus aku lakukan, Tae? Aku merasa sangat frustrasi dengan semua ini. Walaupun utang keluarga kami perlahan mulai dilunasi dan keuangan kami mulai membaik, tapi semua itu tidak cukup. Aku tetap tidak bahagia. Seperti ada sesuatu yang salah hingga Tuhan tidak mengizinkanku untuk merasa bahagia," ujarnya dengan suara bergetar. Mencurahkan semua beban pikirannya pada Taehyun tanpa berpikir panjang. Semua itu dikarenakan, ia sangat merasa frustrasi.
Taehyun hanya diam memandangi Beomgyu yang terus mengungkapkan beban pikirannya sembari menunduk memandangi kedua lututnya. Wajah Beomgyu kini bahkan sudah basah karena air mata yang tampaknya tak ingin berhenti untuk mengalir.
Kepala Beomgyu mendongak—memperlihatkan dua mata sembab yang masih saja mengeluarkan air asin, hingga turun membasahi pipi. "Aku lelah, sangat lelah. Tidak cukup hanya membuat batinku terluka, mereka malah melukai fisikku. Rasanya sangat sakit. Aku ingin mati ... aku tidak ingin lagi menderita." Beomgyu terus mendongak. Memandangi Taehyun dengan kedua indra penglihatannya yang penuh dengan linangan air mata.
Taehyun menghela napasnya, dan kemudian berjongkok untuk menyamai tingginya dengan Beomgyu. Melempar seulas senyum menenangkan. Begitu menenangkan, dan terlihat begitu baik.
"Beomgyu."
Beomgyu terdiam selama beberapa saat. Larut dalam pikirannya, sebelum akhirnya menjawab, "Ya?"
"Jika aku punya cara untuk meredakan rasa 'sakit' yang kau alami, apa kau akan mengizinkanku?"
Hari ini, di rooftop sekolah. Beomgyu kembali menaruh kepercayaan pada Taehyun. Kepalanya mengangguk, mengizinkan Taehyun untuk membantunya keluar dari penderitaan yang dialami olehnya. Pasrah terhadap apa yang akan Taehyun lakukan pada takdirnya di masa depan.
Apakah semuanya akan menjadi makin buruk, atau menjadi lebih baik, Beomgyu sudah tidak peduli. Ia hanya membutuhkan penenang walaupun itu hanya sesaat mampir di dalam hidupnya.
Hanya saja, Beomgyu melupakan satu pesan yang pernah dikatakan Ayahnya saat dia berusia 9 tahun. "Jangan terlalu cepat percaya kepada orang lain. Bahkan, orang terdekat pun bisa saja menghancurkanmu jika dia mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Who's A Liar
Fanfic[Brothership] Keputusasaan dirasakan oleh Soobin dan Beomgyu setelah kepergian kedua orangtua mereka. Tak disangka, setelah kematian kedua orangtua mereka, keduanya memilih jalan 'gila' dengan alasan untuk mendapatkan uang dan untuk menenangkan diri...