Terracotta

13 0 0
                                    

Terracotta. Ya. Warna kesukaan Bima, laki-laki yang sempat menghiasi kehidupan cinta Arahna.

“Arahna, kuberi tahu alasan apa aku menyukai warna terracotta”
Bima menyentuh pundak Arahna, diarahkannya tubuh Arahna menghadap ke danau.
“Arahkan pandangan mu ke langit. Tatap dalam-dalam warna siluit itu, rasakan sehalus mungkin nafasmu, pejamkan matamu sekarang”

Arahna melakukan apa yang diperintahkan Bima untuknya.
Belum sempat Arahna membuka matanya, ia merasakan ciuman hangat mendarat di punggung tangannya.

“Aku mencintaimu, Arahna. Buka matamu”  terlihat Bima memegang sebuah kotak berisikan sebuah cincin emas yang begitu cantik.

Pyarrr!

Suara pecahan piring membangunkan lamunan Arahna akan masa lalunya bersama Bima.

“Siapa disana?!” Arahna segera bangkit dari kursi kayu itu.

Meong....

“Haih! Kamu Neill” Neill adalah nama yang ia berikan untuk kucing jenis anggora miliknya.
“Ada-ada saja, kalau laper ngomong Neill. Jangan banting-banting piring segala!”
“Hello!! Maaf Bu, itu kucing bukan manusia. Bisa nggak emosinya di kendalikan dulu” Irsyad meledek Arahna.
“Emang gue setua itu? Dipanggil Bu”
“Ya hampir tua. Upsss. Maap Teh”
Arahna menghela nafas.
“Kapan dateng?” Tanya Arahna dengan nada ketus
“Udah dua jam yang lalu! Buruan beresin pecahan piring nya, Teh!”
“Ceritanya kamu nyuruh orang yang lebih tua nih?!”
“Gini.... sekarang Irsyad nanya, ini piring, piring siapa coba? Teteh kan? Pecah karna kucing siapa? Teteh juga kan? Terus Irsyad salahnya dimaneee?”
“Iyeee ah, sono pergi lu!”
“Ye... marah lu, Sarminah! Jadi ke mamang Abbas kan Teh?!”
“Iyeee jadi, lu tidur-tidur dulu sono! Nanti gue bangunin”
“Oke. Komandan”

Sembari membereskan pecahan kaca, Arahna memikirkan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia tak habis pikir, kenapa tiba-tiba ia teringat kenangan manis bersama mantan kekasih nya itu.
Sudah sangat lama ia tak mendengar kabar mantan kekasihnya.

Sebelum perpisahan itu terjadi, Bima pernah mengatakan sesuatunya yang membuat Arahna sempat stres berat.

Sampai-sampai Arahna bolak balik Rumah Sakit.
Kau pergi dengan sejuta kenangan yang kita ukir. Sayang, hatiku pun ikut terbawa olehmu. -Bima Adhitya Mulya

                           -*-

“Eh, Bu, Gadis itu tinggal sendirian? Kelihatannya sudah agak tua, ya?!”

Seorang ibu-ibu kompleks perumahan menanyakan tentang Arahna

“Iya tinggal sendirian, tetapi sesekali ada anak laki-laki remaja yang main di situ”
“Berani amat masukin laki-laki yang bukan mahramnya ke rumah”
“Bu, Anda kan baru 3 hari tinggal di sini, Anda tidak tahu seperti apa kehidupan gadis itu, jadi jangan mudah buruk sangka dengannya. Udah Ah, saya pamit dulu ya, keburu siang, mau nyayur buat anak-anak”
“Iya, silakan” jawab Ibu Rosmala penghuni baru di kompleks perumahan yang tinggali Arahna.

Seperti kata pepatah *Berhentilah berprasangka buruk karena prasangka itulah yang akan membuatmu menyesal di kemudian hari*

Untuk itu, sepantasnya kita tidak perlu berburuk sangka pada segala sesuatunya. Karena kita tidak tahu persis keadaan yang sebenarnya terjadi.

Hhh...Arahna menghempaskan badannya ke sofa dekat tv.

“Akhirnya selesai juga. O iya, Irsyad”
“Syad, teteh udah selesai, bangun. Katanya mau ke tempat mamang Abbas”
“Ya....aku udah di depan teh”
Arahna penasaran apa yang di lakukan seseorang yang dia anggap adiknya sendiri.

“Heii.... ngapain kamu”
“Masak sate kelinci. Udah liat nanem tanaman. Masih aja nanya”
“Basa-basi gaesss. Hhh!”
“Ini, aku kan suka tanaman-tanaman gitu teh, makanya rumah teteh pengen aku banyakin tanamannya juga, biar adem”
“Pinternya adek teteh, ya udah bersih-bersih, terus kita berangkat ke mamang Abbas”
“Yeayyy!! Ayok !”

Menaiki kendaraan klasik tak membuatnya merasa malu ataupun gengsi. Tidak sama sekali. Arahna justru begitu nyaman. Kesederhanaannya itulah yang menjadi nilai lebih dari diri Arahna.

“Permisi, Mang... Mamang..”
“Ya... sebentar”
“Mang, pesen bakso 4 mangkok yang 2 makan sini, yang 2 lagi di bungkus. Yang 2 makan sini micinnya sedikit. Kuah dibanyakin. Dah. Makasih Mang”

“Udah?” Tanya Irsyad sembari menatap Arahna
“Iya, udah. Kenapa?”
“Segitunya pesen bakso aja”
“Ya...emang selera setiap orang kan beda-beda”
“Hem...ya udah. O iya, gimana Teh? Jadi ceritanya nggak?”
“Iya jadi. Ya itu, masih ingat pertanyaan teteh kemarin nggak?”
“ Iya masih. Yang soal masa lalu kan? Kalau pandangan ku ya. Masa lalu kan masa yang sudah terjadi kan teh?! Mau bagaimanapun kita mengingatnya, tidak akan merubah keadaan yang sekarang. Seperti peribahasa ‘Nasi sudah menjadi bubur’. Tapi setiap apa yang terjadi bukankah ada hikmahnya? Dan semua itu bisa kita jadikan pelajaran untuk kedepannya”
“Ya, kau benar. Tapi, terkadang beberapa orang menjudge bahwa seseorang dengan masa lalu yang buruk tidak akan bisa merubah masa depannya”
“Statement itu salah si menurut ku” Irsyad berlagak seperti orang dewasa, sembari mengunyah kerupuk kulit di tangan nya.
“Terus yang benar?”
“Ya, intinya tadi. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak bisa di rubah lagi. Tetapi semangkuk bubur itu bisa dihidangkan dengan begitu lezat asalkan ditaburi dengan ketulusan dalam memasaknya, tidak lupa ada bumbu-bumbu rahasia yang membuat bubur itu terasa spesial. Sampai sini paham?”
Belum sempat menjawab pertanyaan Irsyad pesanan Arahna datang.
“Ini teh, baksonya”
“Terimakasih mang”
“Yok, kita santap dulu bakso nya, nanti kita lanjutkan lagi”
“Ayoook”

Keduanya saling menyantap bakso dengan lahap. Selain memang dekat, bakso mamang Abbas sudah terkenal enak, sehingga membuat Arahna menjadi pelanggan setianya.

Sore ini, cuaca begitu mendukung. Setelah menikmati bakso dari mamang abbas, Arahna dan Irsyad melanjutkan perjalanan menuju danau yang terletak di tengah kota. Ya, ada danau buatan di tengah kota.

Sekelilingnya di tumbuhi rerumputan hijau yang terlihat begitu rapi. Memang biasanya danau ini menjadi tempat favorit untuk merilekskan pikiran dan tubuh karena seharian bekerja. Banyak orang yang menggelar tikar bersama keluarga, bercengkrama ria.


Sepasang kekasih yang sedang memadu kasih. Ada juga beberapa orang dengan kesendiriannya menikmati senja. Entah sebenarnya punya pasangan tetapi sedang ingin sendiri atau memang tak punya pasangan. Entahlah.

“Kau tahu, terracotta adalah warna yang paling manis”
“Kenapa bisa? Irsyad menoleh ke Arahna yang sedari tadi memandangi langit.
“Karena... terracotta adalah cinta. Cinta yang telah bersemayam di hati hingga kini”
“Hah? Maksudnya?”
Arahna diam. Tak menjawab sepatah kata pun. Masih sama. Pandangannya mengarah di langit-langit senja nan syahdu.
“Kau ini, selain halu apa sih yang kamu bisa” Irsyad meledek Arahna.
“Teteh nggak halu, dek. Teteh cuman mengenang terracotta cinta teteh”
“Terracotta.  Cinta. Mengenang. Apalagi yang dia pikirkan”

Kring. Kring.

Telepon Irsyad berbunyi.
“Hallo, ada apa bu? Iya baik-baik saja. Sebentar lagi pulang”
“Ibu telpon ya?!”
“Iya teh, ya udah yok. Udah baikan mood nya?”
“Alhamdulillah, lumayan. Ya udah yok pulang. Eh tapi, thanks ya dek. Udah nemenin teteh. Nggak tau deh rasanya kamu tu kaya udah jadi adek kandung teteh loh”
“Hem...iya ah. Makasih mulu. Kaya di kasih emas batangan aja”
“Iyalah makasih, kan cuman kamu temen teteh yang paling bageur”
“Yeeeeee, ngeledek Sarminah”
“Udah ah. Ayok, keburu ditungguin ibu”
“Iya, ayok. Eh sebenar teh, aku sampai lupa. Beberapa hari yang lalu, ada kiriman paket dari seseorang tapi aku lupa. Kotak besar gitu dah. Nanti aku ambilin di rumah. Soalnya yang nyimpen ibu”
“Paketan? Kotak besar? Dari siapa?”
“Udah nanti juga tahu”

Greng. Greng. Motor klasik itu melaju sangat kencang. Maklum Arahna adalah mantan racing sewaktu di bangku sekolah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SURVIVALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang