Pajak

17 4 0
                                    

Suara benturan stempel menubruk kertas beralaskan meja, sekali lagi melegakan napas beberapa pembayar pajak yang mengantre sedari tadi. Usai menandai kertas-kertas itu, Dedy kemudian menyerahkan lembaran kuitansi pembayaran STNK kepada seorang pengunjung dari balik loket.

"Loh, plastiknya mana, pak?" kata seorang pembayar.

"Nggak ada, bu" jawab Dedy singkat sambil melanjutkan pekerjaannya mencetak kuitansi yang lain.

"Loh, tadi plastik STNK saya yang lama kan saya kumpulkan."

Dedy memasang wajah tergeramnya seperti biasa saat menghadapi pembayar pajak yang terlalu banyak protes.

"Buk, ini tuh kita nanganin banyak STNK masuk, lagian kenapa tadi nggak dilepas di luar saja, yang dikumpulin kwitansi lama saja sama KTP. Ibuk berapa kali bayar pajak sih?" dengus Dedy dengan napas kencang yang meniup kumis tebalnya.

"Terus STNK saya harus telanjang gitu?"

"Ibu bisa beli bungkus STNK di depan gerbang. Cuman dua ribu rupiah, kok. Sudah, di belakang ibu sudah banyak yang mengantre."

"Udah tua, gendut, nyebelin," desis si pembayar pajak sembari berlalu dari antrean.

"Saya nggak budek, bu. Umur saya empat puluh satu tidak setua ibu," ketus Dedy, "selajutnya."

Dedy kemudian berganti mengurus STNK yang lain.

*****

Jarum jam menunjukkan waktu pulang kerja. Dedy menata mejanya dan menyerahkan berkas laporan kepada asistennya.

Ia lantas menuju gerbang depan kantor Samsat. Wajahnya sudah lunyai oleh lelah berkepanjangan. Sambil menghisap sebatang rokok, ia menyapa seorang pemuda di depan gerbang.

"Laku berapa, Rud?"

"Lumayan, Pak, tujuh puluh tiga pembayar pajak yang membeli plastiknya," jawab Rudi, sembari menata meja dagangnya.

"Baguslah."

Pemuda itu menyerahkan beberapa lembar uang sewa tempat karena diizinkan oleh Dedy berjualan plastik bungkus STNK di depan gerbang kantor.

"Ini, Pak, lima puluh persen buat bapak."

"Iya, besok mesti ada lagi yang bayar pajak. Biarin saja, salah sendiri lupa melepas bungkus STNK-nya. Dipikir kita nggak capek lepasin plastik itu satu-satu," Dedy mengeluh sambil menyesap nikotin itu sekali lagi.

"Ya, sudah, saya pamit, Pak. Terimakasih."

"Yok."

Rudi berlalu.

Dengan kekuasaannya sebagai petugas pemungut pajak, Dedy mendapatkan fasilitas mobil kantor. Ia lantas, masuk ke dalam mobil itu dan mengendarainya pulang.

Sesampainya di rumah, ia disambut oleh anak perempuannya. Dengan wajah ceria, ia menerjang Dedy sembari tertawa lepas.

"Ayah!" serunya sambil menjatuhkan pelukan kepada Dedy.

Dedy mengangkat tubuh puterinya yang masih berusia lima tahun. Mencium keningnya dengan lembut.

"Vina siapa yang ngepang rambutnya?"

"Ibu, yah."

"Cantik ya ngepangnya." Dedy menurunkan puterinya dan memberikan bungkusan plastik yang membasah karena mengembun.

"Ayah bawa es krim buat Vina."

"Asik!" seru Vina sembari berlalu ke dalam rumah.

Any, istri Dedy sudah berada di ambang pintu sambil melipat tangannya, "kamu kalau masih bau rokok jangan meluk-meluk Vina dulu," gerutu istrinya.

KatarsisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang