Seven masih meraung untuk dilepaskan dari sel tahanan itu. Melihat jarum besar itu menusuk color timer Zero, membuat dirinya hilang kendali. Udah hampir separuh tabung itu diisi. Air mata Zero jugak nggak berhenti mengalir dan dia juga terlihat seperti mulai kesusahan bernafas. Seven ingin sekali memeluk tubuh Zero dan mengusap air mata itu. Dia ingin sekali memeluk dan menghilangkan semua kesakitan Zero tetapi penjara bodoh ini menahan nya dari berbuat begitu.
Tiba-tiba, Zero mengerang kesakitan dan dia pingsan untuk kali yang ke-8 untuk hari ini. Itu rutin yang Zero hadapi selama 2 hari di neraka itu. Dia nggak bisa tidur atau berehat. Tubuhnya terus dipaksa untuk bangun dengan suntikan yang diberi Alien Bat kepadanya. Seven juga begitu. Dia nggak bisa menutup kedua matanya ketika melihat putra semata wayangnya sedang disiksa.
"Rasanya cukup untuk waktu ini. Berehatlah dan aku akan menyambung semula. Selamat istirehat tikus ku."
Alien Bat keluar dari lab itu meninggalkan Zero dan Seven. Seven mengambil posisinya dan membaringkan tubuhnya dengan menghadap Zero. Diperhatikan setiap inci wajah Zero. Pipinya, bibirnya, matanya, sluggernya. Semuannya sempurna. Air mata Seven jatuh semula mengingati jeritan kesakitan Zero. Dia rasa nggak berguna. Seharusnya dia mempercayai kata-kata Zero tapi apa yang dilakukannya ? Sebaliknya Seven mengusir dan memarahi Zero. Satu lagi kesalahan fatal yang dia telah lakukan.
"hey Zero."
Hening.
"Kenapa kau memanggilku 'Seven-san' ?"
"Se..ven..san.."Seven yang nggak menyangka mendapat jawapan itu segera duduk sambil memerhatikan putranya.
"Zero ?! Zero ! Syukurlah !"
Zero menatap Seven dengan lemah. Dia nggak kuat lagi. Dia udah nggak kuat hanya untuk memberi senyuman.
"Se..ven..san..sakit..."
"Zero, berhenti memanggilku 'Seven-san' ! Aku ingin-"
"Maaf...kamu...benci ku...pang..panggil..ayah.."
"Maaf kan ku Zero ! Ku nggak bermaksud pada waktu itu ! Tolong, ku mohon ! Panggil ku 'ayah' semula !"Zero menggeleng. Dia memalingkan wajahnya dan menutup matanya untuk ke alam mimpi. Seven yang rasa permintaannya nggak dikabulkan menghela napasnya. Dia membaringkan tubuhnya dan menutup matanya.
"Selamat malam, Zero. Aku menyayangimu. Maaf kan ku."
Zero yang masih belum tidur itu, menggigit bibirnya. Air matanya jatuh mengingati bagaimana dirinya diusir. Dia mendengar semua kata-kata Seven tadi tetapi semua perkataan keluarganya ketika itu membuat dia jatuh di dalam lautan kesedihan. Dia udah nggak kuat untuk berenang ke permukaan laut itu. Semua tangan-tangan di situ menolaknya dan mereka melepaskan tangan Zero. Jadi dia berhenti berusaha dan membiarkan dirinya jatuh ke dasar lautan yang paling dalam. Sangat dalam hingga membuat napas seseorang sesak. Ya, itu aja yang bisa dia katakan tentang dirinya. Iya, itu lah Zero. Bukannya seorang pejuang muda tapi sebagai seorang Ultra yang masih belum memasuki umur 6000 tahun.
Seven bangun lebih awal atau lebih tepatnya dia nggak bisa tidur. Sluggernya nggak akan kuat untuk menghancurkan penghalang di depannya. Dia melamun sembari menatap tubuh Zero.
'Kamu makin kurus. Dimana pipi chubby mu ? Rasanya, pipi chubby mu itu udah kembali ketika kita mulai hidup bersama. Kenapa tubuhmu sangat kecil. Padahal sewaktu kita bersama, berat kita hampir sama. Kenapa kamu nggak tersenyum dan ketawa dengan benar ? Kenapa aku melihatmu seperti semuanya palsu ?'
Seven memeluk kakinya dan meletakkan kepalanya di dinding. Dingin. Seven memegang Ultra Bracelet Zero dan menatapnya lama. Dia membuka isi data di dalam Bracelet itu dan sebuah gambar muncul,
Seven terkekeh pelan. Dia memandang Zero dan memandang gambar itu semula.
'Kamu sangat menyayangi ku sehingga kamu menyimpan foto ku ketika tidur dalam Ultra Bracelet mu ? Imut"
KAMU SEDANG MEMBACA
70 parent-and-child
Fanfiction"Jangan menatapku terus, aku jijik melihatmu." Hati Zero ketika itu hancur. Sangat hancur mendengar ucapan Seven barusan. Apa dia nggak salah dengar ? Apa ayahnya sendiri berkata 'jijik' dengannya. "A..ayah.." ☂ sad ending ☂ 10 chapter