Taman yang kotor, taman yang jelek, taman yang bau, taman yang sunyi.
Aku adalah seorang pemuda, dengan sebuah jaket hitam murahan di atas seragam, dengan sebuah tas sekolah berisi buku-buku bergambar yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan pelajaran sekolah. Di sebuah bangku tua, bangku panjang di tengah-tengah taman, aku duduk di sana. Di sisi terpojok dari bangku itu, duduk sendirian membaca berbagai macam buku-buku bergambar.
Taman itu tidak memiliki air mancur, bunga-bunga, dan gemerlap lampu yang menghiasi kota. Yang dimiliki taman ini, hanyalah kebisingan dari kendaraan yang berlalu lalang, ribuan nyamuk yang saling menyapa, juga dedaunan dan sampah yang berserakan dimana-mana.
Sembari membaca sebuah buku bergambar, buku dengan gambar ala kartun Jepang, buku yang lebih populer dengan sebutan 'manga', aku mulai memikirkan arti dari kasih sayang. Perasaan yang terpantul dalam panggung romantis dari buku yang kubaca. Kisah tentang seorang gadis, yang mengejar kekasihnya, memberikan sebuah bungkusan coklat di hari Valentine.
12 Februari...
Beberapa hari lagi, apa yang digambarkan dalam buku itu sebagai hari Valentine akan tiba. Walau budaya Valentine di kota kami berbeda dengan yang ada di Jepang.
Tanpa sadar aku menutup buku itu, melihat sekelilingku, juga melihat pada langit yang memerah. Langit yang semakin memerah, memancarkan cahaya hangat di sore hari. Di bawah langit itu, aku duduk sendirian. Mendengarkan kebisingan dari kendaraan sore, menghalau nyamuk-nyamuk yang berusaha menyantapku, juga memandang jijik ke arah tumpukan sampah di depanku. Taman ini sungguh kotor dan menjijikan, seolah aku sedang hidup di neraka.
Sebuah perasaan yang sangat tidak nyaman. Perasaan cemas, khawatir, gelisah, takut, perasaan-perasaan itu terus menghantui sepanjang hari. Di rumah, di sekolah, maupun di taman ini. Seolah-olah taman ini bukan satu-satunya neraka yang ada. Dunia ini sendiri, sudah bagaikan neraka bagiku. Neraka yang menyesakan, neraka yang terus menyiksaku.
Dalam dunia yang jahat ini, aku harus hidup, tanpa menemukan cara untuk meloloskan diri. Tidak ada cara untuk meloloskan diri, kecuali dengan melihat berbagai kisah indah. Kisah-kisah penuh kebahagiaan yang terpantul dalam buku-buku yang kubaca. Sebuah kisah yang membuatku lupa bahwa aku tidak hidup di sana. Di dunia ilusi yang begitu indah.
Seorang gadis, dengan rambut yang memajang menyentuh seragam sekolahnya, melangkah menghampiri bangku ini.
"Bolehkan aku duduk di sini?" Ucap gadis itu tanpa sedikitpun memandangku. Seolah dia sedang bertanya pada bangku yang akan dipakainya. Namun pertanyaan itu jelas-jelas tertuju padaku, tertuju pada sosok pemuda yang duduk di sisi pojok bangku itu.
"Silahkan." Jawabku singkat.
Pandanganku pun segera mengarah kembali pada buku bergambar di tanganku. Tanpa sekalipun peduli pada gadis yang duduk di sisi lain dari bangku itu. Seorang gadis yang memilih untuk duduk di tempat yang paling jauh. Duduk di sisi terpojok, menyisakan jarak yang tidak terlalu jauh, juga tidak terlalu dekat. Sebuah bangku kosong berjarak kurang lebih 31 inci, jarak yang cukup untuk memberikan ruang bagi 2 orang.
Sayangnya aku tidak pernah berpikir bahwa akan ada orang yang mengisi bangku kosong itu. Lebih tepatnya, tidak akan ada orang yang mau duduk dan menikmati taman kotor ini. Tidak ada yang akan melakukannya selain seorang pemuda dan gadis yang membaca buku.
Ya, gadis itu sedang membaca buku. Sebuah buku novel yang cukup tebal, dengan gambar senyuman badut yang menghiasi sampul depan. Buku novel yang berisi penuh dengan kumpulan tulisan. Sesekali buku itu memiliki sedikit ilustrasi. Namun yang terlihat di buku itu hanyalah miliaran tulisan yang memusingkan.
Apa bagusnya membaca buku itu? Apa bagusnya membaca di taman yang kotor ini?
Walau mataku tertuju pada panel-panel bergambar dalam buku yang kugenggam, pikiran bergerak liar kesana kemari. Membaca dengan ditemani oleh seorang gadis yang duduk 31 inci dariku terasa begitu mengganggu. Namun bukan berarti aku tidak bisa membaca sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
31 Inch of Empty Seat
Lãng mạnSepanjang hari aku duduk di bangku, berusaha menghindari orang-orang. Hingga seorang gadis duduk di sisi lain dari bangku itu. Kami tidak menatap, kami sibuk dengan kegiatan kami sendiri. Namun hanya dengan duduk di bangku yang sama, kami saling men...