Ribuan kali aku memandang tabung infus. Dengan sebuah selang yang menusuk pergelangan tangan orang-orang. Mereka duduk di kursi roda, mereka berjalan dengan alat bantu, mereka terbaring tak berdaya, bahkan beberapa dari mereka bisa berjalan dengan normal. Tapi apa yang membuat mereka sama adalah keberadaan tabung infus dan obat-obatan.
Lalu bagaimana denganku? Aku hanyalah seorang gadis, dengan pakaian putih layaknya pasien rawat inap. Tidak ada sedikitpun jarum yang menempel di kulitku, ataupun obat-obatan yang terdorong masuk ke tenggorokanku.
Aku sakit. Aku sudah jelas sakit. Tubuhku sangat lemah. Aku tidak bisa terlalu lama berdiri. Jika aku berdiri terlalu lama, aku akan segera roboh. Jika aku tidur terlalu lama, kepalaku akan terasa sakit. Jika tubuhku terkena air, maka seluruh tulangku akan bergetar tak karuan.
Mereka bilang aku menderita kanker. Sebuah penyakit serius yang mengancam nyawaku. Namun mereka tidak berusaha untuk menyembuhkanku. Dokter, orang tuaku, mereka semua terlalu cepat menyerah. Mereka bilang umurku tidak akan lama lagi.
Kenapa mereka tidak berusaha keras menyelamatkanku? Kenapa tidak ada obat dan suntikan untukku? Kenapa aku begitu cepat mati? Padahal aku sudah berjuang begitu keras. Sangat keras hingga terasa begitu sesak.
"Maaf, nona," ungkap seorang suster yang memasuki ruanganku. "Sudah waktunya untuk memeriksa keadaan anda."
Aku pun beranjak dari tempat tidurku, melangkah menuju lemari di seberang tempat tidur.
"Memeriksa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari lemari itu. "Kenapa kalian masih melakukan hal itu padaku?"
"Kami perlu mengetahui kondisi kesehatan anda, nona," jawab suster itu tidak sabar.
"Mengetahui? Hanya itu? Lalu apakah kalian akan menemukan cara mengobati penyakit ini dengan memeriksaku?"
Suster itu hanya terdiam, tidak bisa menjawab. Aku pun segera melangkah mengikuti suster itu. Hanya memandang ke bawah, ke arah lantai bersih, tanpa sekalipun berpikir untuk melihat muka masam dari suster yang tidak senang dengan omelanku.
Lalu kenapa bila dia tidak menyukaiku? Apakah aku bisa sembuh bila aku berbaik hati padanya?
Tidak. Tidak ada yang bisa menyembuhkanku. Bahkan aku sendiri pun sudah menyerah. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Kenapa? Kenapa harus aku?
Semua omong kosong soal mengubah takdir, semuanya hanyalah motivasi palsu. Tidak ada yang bisa mengubah takdir. Bagaimana pun kita berusaha untuk menolaknya, takdir akan terus menghantui kita. Bagaimana pun aku memberontak, takdirku untuk mati tidak akan pernah bisa meninggalkanku.
Hingga akhirnya aku tiba kembali di kamarku. Berdiri di depan lemari itu lagi. Kali ini aku memberanikan diri untuk membuka lemari itu. Memperlihatkanku pada sekumpulan buku pelajaran dan seragam sekolah. Buku-buku dan seragam itu sudah cukup untuk menggambarkan masa laluku. Masa-masa dimana aku berjuang begitu keras. Masa-masa ketika aku masih melihat sinar matahari.
Sekolah adalah segala-galanya. Karena itulah aku belajar begitu keras. Aku belajar dan terus belajar. Aku tidak membuang waktuku sedikitpun untuk bermain-main. Bahkan untuk sekedar berbincang-bincang dengan temanku. Aku sendirian. Aku berjuang keras sendirian. Kupikir keberadaan orang lain hanyalah penghambat bagiku.
Berkat kerja kerasku, aku selalu memperoleh nilai terbaik. Aku selalu memenangkan berbagai perlombaan. Dengan pencapaian itu, masa depanku terasa begitu cerah. Banyak yang memperhatikanku. Berharap aku bisa menggunakan kecerdasanku untuk keuntungan mereka.
Namun masa depan yang cerah itu hanyalah sebuah ilusi. Kenyataan yang ada lebih menyakitkan dari yang pernah kubayangkan. Karena bukan masa depan cerah yang menungguku di sana. Juga bukan masa depan yang gelap dan pekat. Tidak ada masa depan yang menungguku. Masa depan itu sudah menghilang. Matahari yang bersinar di depanku, menghilang begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
31 Inch of Empty Seat
RomanceSepanjang hari aku duduk di bangku, berusaha menghindari orang-orang. Hingga seorang gadis duduk di sisi lain dari bangku itu. Kami tidak menatap, kami sibuk dengan kegiatan kami sendiri. Namun hanya dengan duduk di bangku yang sama, kami saling men...