PROLOG

102 2 0
                                    


Dia menghirup aroma kopi yang mengepul di depannya, refleks merapatkan jaket dan menggosok kedua tangannya. Pagi ini cuaca sangat dingin karena sudah memasuki bulan Desember. Ia sangat tak menyukai musim dingin karena, tak ada yang bisa dinikmati dalam suasana yang dingin yang ada malah sangat merepotkan karena harus memakai jaket tebal kemana-mana. Belum lagi, tubuhnya yang sangat tak dapat beradaptasi dengan mudah saat musim dingin , badannya akan muncul bercak-bercak merah dan gatal karena alergi yang tak masuk akal menurutnya. Ia menghela menahan kedongkolannya.

Orang di sebrangnya sedari tadi tak henti menjawab panggilan telpon, entah dari mana . terlihat sibuk dengan sesekali melirik jam tangannya. Kopi yang pria itu pesan pun belum diminumnnya sedari tadi. Pria itu berbicara dengan cepat dan memakai bahasa yang ia tak paham sama sekali, terdengar seperti bahasa alien,belum lagi suaranya yang besar sangat menganggu. Entahlah ia mengangkat bahunya dan berusaha tak peduli pada pria itu.

Pagi ini memang semua orang terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing . ada rasa geli di hatinya memandangi orang orang yang tak henti berbicara dan seperti di kejar-kejar waktu. Ada yang berlari mengejar kereta pagi, atau berjalan cepat dari seberang jalan karena lampu penyebrangan yang cepat berganti warna dari merah ke hijau atau sebaliknya membuat kumpulan orang yang menunggu langsung bergerak cepat saat lampu itu berubah hijau.

Ini sudah gelas yang kedua dan dia belum ingin beranjak dari tempat duduknya , kafe ini sangat nyaman sehingga membuatnya tak ingin segera beranjak. Apalagi sofa yang selalu dia duduki ini, yang terletak di ujung caffe dan berdekatan dengan jendela besar yang menambah nilai di posisi ini , favoritnya.

Bunyi bel – yang tergantung di belakang pintu caffe, berhasil menyita perhatiaannya yang sedari tadi fokus memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di luar , seorang laki-laki yang tingginya tak seperti pria umumnya disini karena pria Amerika yang cendrung jangkung, pria itu terkesan mungil dan mencolok di antara yang lainnya masuk ke dalam caffe dengan topi dan masker yang menutupi mukanya .

Ia kembali menatap kaca besar dihadapannya ini,menikmati aktivitasnya yang sempat terhenti karena pria tersebut. Dan meneguk kopinya kembali yang sudah tidak hangat lagi di lidahnya. Mungkin dia harus membeli satu kopi lagi. Dan mengirim pesan pada asistennya untuk mengatakan bahwa dia akan sedikit terlambat ke kantor. Ini bukan jam istirahat makan siang, ia memang berniat mampir ke kafe sebelum berangkat ke kantor mengingat jadwalnya yang sedang longgor. Jam di tangannya menunjukan pukul 9.

Tadi pagi, ia datang sangat pagi sekali ke kafe ini. Membuat Sam melongo tak percaya. Ia yang notabene susah bangun pagi bisa sepagi itu datang ke kafe. Ia hanya tersenyum tipis menanggapi muka heran Sam.

***

" kau terlihat benar-benar kacau, aku tau kau adalah gadis yang urakan. Tapi pagi ini kau terlihat seperti .. apa ya namanya ahh yaa seperti gembel yang sedang patah hati "

Sam menatap pilu kearah gadis dengan mata berkantung dihadapannya, Asya si gadis kesayangannya berubah 180 derajat sejak pulang dari Indonesia 1 bulan lalu. Asya yang selalu ceria dan menghidupkan suasana kini malah membuat suasana jadi kelam.

" Terima kasih Sam, kau memang yang terbaik "

' 4 tahun mungkin waktu yang terlalu cepat untuk mengenal seseorang secara dalam, namun itu tak berlaku untuk Asya. Gadis dihadapannya terlalu terbuka hingga mudah mengetahui apa dirinya sedang senang atau sedih. Dan hanya melihat senyum tipisnya pagi ini dengan mudah menyimpulkan Asya tidak baik-baik saja.

" sudah satu bulan kau menyimpannya sendirian"

Asya menyeruput kopi itu dalam-dalam, Sam baru saja memberikannya gelas ketiga. Setelah jam sarapan habis Sam mennghampiri Asya yang hanya termenung menatap jendela besar dihadapannya.

" Asya ", Sam memanggilnya, dengan suara dalam menegaskan kali ini dia bersungguh-sungguh tak menginginkan jawaban bahwa gadis itu baik baik saja. Dan kode itu dengan jelas ditangkap oleh Asya

" sebenarnya apa yang terjadi ketika kau pulang ke Indonesia?", dengan tatapan mata tajam Sam menatap dalam ke arah manik mata Asya.

Asya menyerah, ini lah waktu yang tepat untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi di Indonesia.

"sam, pernahkah kau jatuh cinta dan patah hati secara bersamaan", Asya memainkan jarinya di pinggiran gelas kopi.

Sam menggeleng, dan menatap bingung pada gadis di hadapannya.

" aku pernah, dan masih mengalaminya "



AsyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang