PART 1

43 5 1
                                    

Hallo nama ku Diah Novita, setiap orang yang mengenaliku mereka selalu memanggilku diah. Usia ku sudah 20 tahun, bukan anak muda lagi yang belasan tahun. Sudah lulus SMA 2 tahun yang lalu, aku melamar kerja kemana-mana sulit banyak yang menerima ijazah SMA ku. Suatu hari aku bertemu teman SMA ku di sebuah supermarket, namanya Mayang, kita berbincang sangat lama sampai kita menyempatkan untuk makan siang di café dekat supermarket itu. Mayang yang berbadan bagus, rambut bermode pendek dan berbicara lantang, ya Mayang sekarang yang aku kenal telah menjadi seorang anggota tentara wanita angkatan Darat, lalu mayang menanyakan status pekerjaanku “kamu kerja dimana?”, aku jawab aku “hanya sebagai pengangguran”. Lalu Mayang menyarankan padaku untuk mengikuti pendaftaran militer saja sama dengan dirinya mengikuti Bintara. Aku tertawa kecil mendengar tawaran mayang yang dengan cepat menawarkannya padaku, karena tidak ada sama sekali aku berniat untuk menjadi anggota TNI. Tapi Mayang menjelaskan semuanya, dan masuk sebagai anggota TNI itu suatu kebanggaan baginya, untuk menjaga Negara Indonesia tercinta ini, batas usia maksimal adalah 22 tahun untuk menjadi anggota TNI, aku belum memutuskan dengan tawaran Mayang. Mayang akan membantuku bila aku menerima tawarannya, sampai kita akan pulang aku masih belum bisa memutuskannya. Karena ada resikonya, sama seperti Mayang yaitu Negara harus di nomor satukan.


Selesai mengobrol dengan Mayang, aku harus segera pergi karena ibuku yang sedang sakit di rumah menungguku, “aku pamit duluan ya, ibu sudah menungguku” kataku, “baiklah, salam untuk ibumu, saya tunggu keputusanmu ya”, aku pamit berpulang kepada Mayang dengan terburu-buru dan Mayang akan menunggu keputusanku. Saat aku berjalan ke depan pintu café tersebut, aku menabrak seseorang, ya seorang pria yang tak ku kenal dan handphonenya sampai terjatuh karena ulahku, dan barang belanjaanku sebagianpun terjatuh “maaf aku tidak sengaja, karena aku terburu-buru”, aku segera meminta maaf dan merapihkan semuanya, pria itu hanya menjawab “tidak apa-apa karena aku juga terlalu sibuk dengan handphoneku” dia juga tidak melihatku di depannya karena asik dengan handphonenya. Akhirnya aku segera pergi meninggalkan café itu.

Sesampainya di rumah, aku segera membuat obat tradisional untuk ibu, ibu mengidap penyakit leaver B dan masih bisa di sembuhkan, ibu sakit sudah menginjak 1 tahun, akibat terlalu capek dan banyak fikiran, serta pekerjaan yang berbaur dengan debu-debu, karena ibu bekerja di pabrik bantal, sedangkan ayahku hanya seorang satpam pabrik. Ayah dan ibuku bekerja demi 3 orang anaknya, aku dan kedua adikku. adik-adikku masih sekolah yang satu namanya Tia dia masih SMA kelas 1 dan yang bungsu namanya Rama dia masih SD kelas 4. Aku anak paling besar, dan aku harus membantu membiayai kedua adik ku. hidup ku tidak mewah, dengan rumah sederhana dan keadaan yang pas-pasan karena di jaman seperti ini tidak akan cukup.

Malam hari, aku sedang membantu rama membantu pekerjaan rumahnya dari sekolah mereka. Tema nya tentang cita-cita, aku bertanya pada adik-adikku “cita-cita kalian apa?”, Tia menjawab dia ingin menjadi seorang dokter, dan Rama ingin menjadi seorang Jendral. Aku tersenyum dan memberikan motivasi kepada mereka agar mereka semakin rajin untuk belajar dan menggapai cita-citanya. Lalu rama bertanya padaku, apa cita-citaku, aku hanya menjawab “membahagiakan keluargaku”, mereka hanya terdiam sambil tertawa kecil dan tia berkata bahwa “itu bukan cita-cita”. Aku menjelaskan bahwa cita-cita bukan hanya sebuah profesi saja tapi tia membantah dan menjelaskan, bahwa profesi bisa menjadikan kita keluarga bahagia. Aku malu mendengar kata-kata Tia dan tersenyum kecil sambil meneruskan tugas sekolah adik-adik ku.

Pagi hari, aku mendekati ayah dan berbincang dengannya. “Ayah dengan usiaku segini aku harus bagaimana, aku masih belum punya kerja untuk membantu kalian”, ayah hanya menjawab “kamu bukan anak kecil lagi diah, ikuti kata hatimu bila kamu ingin menjadi orang sukses, jalani dengan niat dan usaha yang keras. Tentukan masa depan kamu diah, usiamu sudah akan 21”. Aku pun berfikir bahwa aku mulai sekarang harus mandiri dan menentukan arahku kemana dan ayahpun pamit untuk pergi bekerja.
Aku segera menghampiri ibu, dan memberikan lagi obat tradisional untuk ibu. Aku tidak membawanya ke RS lagi, karena biaya membeli obatnya yang cukup mahal, apa lagi dengan obat-obatan khusus penyakit ibu, aku melamun di depan rumah sendiri, sambil melamun dan memikirkan pembicaraan dengan mayang kemarin. Akhirnya aku memutuskan agar aku harus menjadi orang yang membahagiakan kedua orang tua, lalu aku telepon Mayang “hallo, Mayang? Aku menerimanya, tolong bantu aku ya” dan putuskan menerima tawarannya.

~Bersambung~

Ketika Tak Ada Kata CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang