Damara berkali-kali menghela napas, kedua kakinya tidak berhenti bergerak sejak satu jam yang lalu.
Diambil ponsel yang ada di atas nakas, "Halo, gimana, Ne?" Ucap Damara sambil menekan-nekan ujung jari dengan kuku panjangnya.
"Aku nggak bisa, Dam." Terdengar suara Anne yang seidkit gemetar dalam sambungan telepon.
Damara semakin panik, ia bergegas untuk mengambil ransel super besar yang tersimpan di dalam lemari dan mengisinya dengan potongan-potongan baju dan barang lainnya yang ia butuhkan untuk satu minggu ke depan. "Aku samperin Manda sekarang."
Mahasiswa yang sering kali mengambil jatah cuti itu segera pamit dengan kedua orangtuanya yang sedang duduk di depan rumah. "Bapak, Ibu. Damara pergi dulu, ya." Lalu ia mengendarai motor matic satu-satunya warisan dari sang Ayah yang sudah tiga tahun ini pensiun.
Status Damara sebagai mahasiswa abadi sudah di ujung tanduk, berbagai kecaman serta bentuk protes melalui tulisan, telah ia terima dan tidak dipedulikannya.
Kecepatan motor dinaikkan menjadi 80 km/jam. Segala tikungan dan rambu lalu lintas ia terabas begitu saja, tidak peduli dengan surat tilang dan nominal denda yang akan ia terima nantinya, jika saja ada polisi yang sedang melakukan operasi semeru.
Sampailah ia pada rumah bertingkat dua, dengan interior desain yang minimalis. Damara segera membuka pintu rumah tersebut tanpa mengetuk atau mengucap salam. Ia segera menaiki tangga lantai dua dan berhenti pada pintu kamar berwarna putih porselen.
"Amanda. Astaga, ya Tuhan!" Seru Damara setelah melihat salah satu sahabatnya yang sedang duduk di atas lantai, dengan tali sepanjang satu meter yang masih melilit di lehernya.
Ditariknya tubuh ringkih Amanda. "Aku di sini." Damara terus menerus mengucap kalimat yang sama, pada perempuan berusia 26 tahun yang sedang menangis. Damara juga berkali-kali meminta maaf pada Amanda, karena ia telah membuat hidup perempuan itu semakin tak keruan.
Amanda semakin terisak, tarikan napasnya terdengar begitu berat. Leher dan dagunya naik turun, seirama dengan suara tangis yang keluar dari kerongkongannya.
"Keluarin semuanya, Man." Ucap Damara sambil mengelus punggung sahabatnya itu.
Kejadian tersebut tidak satu-dua kali terjadi. Terakhir kali Amanda menghubungi kedua sahabatnya itu, ia menelepon sambil mengatakan bahwa ia sudah berhasil menelan beberapa butir obat tidur, namun tidak juga membuat jantungnya berhenti berdetak.
Tiga bulan lalu, Amanda telah berhasil membuat Anne dan Damara marah besar. Ketiga perempuan itu menangis tengah malam, saat Amanda mengatakan jika ia adalah salah satu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh rektor kampus yang menjadi almamater ketiganya.
Damara, gadis yang seusia dengan Amanda. Salah satu mahasiswa abadi yang hobi cuti karena harus bekerja demi mengumpulkan biaya kuliah di semester selanjutnya. Ia juga aktif sebagai senior di UKM jurnalistik.
Satu lagi sahabat Amanda. Anne, wanita yang bekerja sebagai staf HRD pada salah satu perusahaan di bidang saham. Setelah lulus kuliah, ia langsung diterima sebagai pegawai di sana karena kecakapan serta karakter yang cepat beradaptasi dengan baik membuat ia dijadikan sebagai pegawai terbaik. Namun sayangnya, Anne tidak merasakan kabahagiaan atas pujian yang ia terima.
"Anne, kamu ke rumah Manda, ya." Kata Damara, setelah ia berhasil menenangkan Amanda yang kini telah tertidur pulas di kamar.
Baterai ponselnya hampir habis. Notifikasi pesan dari berbagai akun di sosial medianya tak pernah berhenti. Terlalu banyak orang yang mengatakan jika Damara adalah mahasiswa tidak tahu malu, karena telah mencemarkan nama baik rektor kampus sendiri. Orang-orang itu, tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Woman Wants [✔️]
ChickLitCerita ini ditulis untuk mengikuti event 8 days challenge woman is a hero yang diselenggarakan oleh Wattpad Chicklit Indonesia. ------------------------- Ini adalah 8 kisah perempuan dengan ide cerita, alur, serta karakter tokoh yang berbeda. Meng...