Agustus 2020
Seseorang tampak memandang senja dari pelataran atap gedung. Matanya tampak kosong kala menanti hilangnya sang fajar dibalik awan. Ia merasakan kehangatan yang merambat, perlahan berganti dengan dingin yang sudah kebal ia rasakan. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya ke udara. Wajah murungnya semakin terlihat seiring kegelapan mulai melingkupinya.
Tidak ada penerangan berarti diatas gedung ini. ia hanya bertemankan dengan cahaya bulan dan lampu dari beberapa gedung di sekitarnya. Ia mengusap wajahnya kasar. Kali ini, ia harus pergi lebih cepat. Ia sudah tidak mampu membendung tangisannya. Hari ini adalah hari kesekian dimana hatinya harus teremas kala sebuah ingatan kembali menderanya.
Ingatan yang menghantui setiap malamnya dan menjadikan dirinya semakin terpuruk dari waktu ke waktu.
Bukan satu dua orang yang mengatakan padanya, bahwa ada sebuah proses hukum dunia yang berlaku untuk kehidupan setiap umatnya. Dimana pasti akan selalu ada perpisahan di setiap pertemuan. Dimana selalu ada kematian dibalik sebuah kelahiran. Namun, manusiawi rasanya jika seseorang merasakan pedih yang sama meskipun tahu akan kenyataannya.
Manusiawi rasanya, jika seseorang dapat menangis terisak begitu mengingat seseorang yang dicintai harus pergi meninggalkan tanpa sebuah kalimat perpisahan.
“Sekejam itu kamu, Rey. Sekejam itu…”
Isakannya semakin terdengar. Ia sudah tidak peduli jika seseorang akan mendengar suaranya, ataupun keberadaannya diketahui oleh seseorang dan justru melarang dirinya untuk berada di gedung yang menjadi saksi sejarah hidupnya di masa silam.
Bukan tanpa alasan, ia berdiri disini untuk menyaksikan senja di tempat yang sama pada tanggal dan bulan yang sama di setiap tahunnya. Ada sebuah kenangan yang tidak dapat ia ceritakan pada siapapun dan tentunya selalu membekas di otaknya meskipun kenangan itu sudah 12 tahun berlalu.
Kenangan inilah yang menjadi alasan dirinya tidak dapat mencintai orang lain lagi. Kenangan inilah yang menyakiti relungnya dari waktu ke waktu.
Ia putuskan untuk pergi. langit sudah menggelap dan senja sudah menghilang. Tidak ada alasan untuk dirinya bertahan disana lebih lama lagi.
Namun, pergerakannya terhenti.
Ia kembali berbalik dan mengarah ke tempat sebelumnya sebelum berjongkok dan melihat ke bawah drum yang ia desain menjadi kursi. Sebuah kotak tertinggal disana. kotak berwarna cokelat itu mengundang perhatiannya. Ia tahu apa isinya karena kotak itu adalah miliknya.
Namun, ia tidak menyangka jika kotak itu sudah demikian ringan. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah membiarkan orang lain menyentuh kotak itu.
“Apakah itu kamu, Rey? Apakah itu kamu?”
ucapnya sembari mendekap erat kotak itu seolah di hadapannya adalah orang yang ia rindukan.
***
Juni 2009
“Reyna Amanda.”
Perempuan dengan rambut yang dipenuhi pita itu maju dan keluar dari barisannya untuk bergabung menjadi satu dengan gugus MOS-nya. gugusnya sudah terbagi menjadi 10 orang yang masing-masing anggotanya 5 siswa dan 5 siswi. Perempuan itu tidak mengenal rekan satu gugusnya dan itu semakin membuatnya enggan untuk melanjutkan acara tahunan untuk menyambut siswa baru ini.
Ia pikir dengan memilih sekolah swasta, maka ia dapat terhindar dari acara yang unjuk senioritas pada anak baru ini. ia benci keramaian. Terlebih, ia membenci ada di sekeliling orang yang bersikap bossy. Karena itulah, sejak tadi gadis ini hanya diam tanpa mau memperhatikan sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA KATA (Oneshoot)
Teen FictionKetika semua janji terucap tanpa kita sadari lalu berlalu seiring berjalannya waktu maka hanya takdir yang dapat menjadi pengiring pada akhir manusia yang masih penuh misteri.