IV. Duh, Enaknya~

5 0 0
                                    

Waktu itu Kurma bilang apa? Dua minggu mencari tahu cara kerja alatnya kan? Tapi sekarang dia malah asyik belajar sejarah.

Keluarga Prabangkara. Keluarga yang terkenal bakat seninya. Awalnya hanya kelompok orang pecinta seni. Saling menikah dan membentuk keluarga untuk mewariskan semua yang mereka punya. Oleh lima orang dari tiap bidangnya; Nona Terpa, penari lemah gemulai; Tuan Hamia yang menciptakan nada dari apapun; Tuan Hafai bertangan dingin, pencipta mahakarya; Nyonya Def yang tak pernah tertebak air mukanya; dan Tuan Melusai bersuara emas.

Satu lagi. Cerita tabu di keluarga ini, Tuan Talken, yang kata-katanya menghipnotis siapapun tanpa kecuali. Seharusnya ada satu bidang lagi, sastra. Namun ia dibuang, terusir, karena hal tabu yang ia lakukan. Tidak tahu apa. Tapi kakeknya mencatatnya.

Lebih seperti buku harian sih. Kakeknya marah-marah. Merasa kalau Keluarga Prabangkara secara harfiah memang terkutuk.

Kan, hinaan Kurma tidak salah.

Keluarga ini salah menilai arti seni. Menjunjung estetika tapi tidak tahu maknanya. Sikap mereka sudah jauh dari tujuan para pendiri mulai dekat dan menjadi keluarga.

Kan, memang tidak guna belajar begini.

Kutukannya nyata. Melihat dengan mata kepalanya sendiri, mereka (yang lain) akan datang. Menggunakan kemampuan yang sama seperti ketika mereka bersatu, tapi untuk memecah.

Gimana? Gimana?

Pintu terketuk. "Nona Muda, makan malam sudah siap."

Sekarang genre-nya jadi misteri!? Luar biasa. Kurma sampai ketawa sendiri waktu makan malam

"Jangan meninggalkan kelas privatmu, Lita." Ibunya mulai ceramah. "Kelas menari, melukis, banyak yang harus dikerjakan."

"Satu bulan." Kurma minta nego. "Satu bulan penuh ini, aku ingin seratus persen fokus ke Anggara Pandhita."

"Kok aku curiga ya?" Abangnya menyahut.

"Bagus itu." Tak disangka ayahnya mendukung. "Aku akan jadi yang terdepan untuk menonton."

Senyum Kurma mengembang. "Oke."

"Wah, ini jelas ada yang nggak beres!"

Kakak perempuannya tertawa. "Mal, aku suka yang mindblowing. Puff~ Buatlah yang begitu."

Abangnya menyahut lagi. "Jangan membuatku hilang muka."

"Ya bagus. Muka dua gitu mending hilang satu," balas Kurma tidak mau kalah.

Makan malam diakhiri dengan saling hina yang dianggap candaan. Kurma kembali ke kamarnya dengan perut kenyang dan setengah jengkel. Selain ocehan abangnya, yang membuat Kurma kepikiran adalah, alasan ia diikutkan Anggara Pandhita karena kakeknya memasukkan namanya dalam lotre dulu. Kakek yang sama dengan yang menulis kebencian pada Prabangkara.

Kakeknya itu memang penyendiri. Kurma tahunya dia ke desa itu agar bisa tenang membuat musik. Namun sepertinya agar ia jauh dari keluarga ini. Hubungannya dengan marga Sitaresmi juga biasa saja. Memang tidak akrab benar, mungkin cuma Kurma yang suka ngoceh di depannya. Bisa jadi karena ketidakakraban ini yang membuat peninggalan setelah kematiannya terabaikan, termasuk rumah.

Kurma kembali ke meja belajarnya. Ia menata kertas-kertas temuannya dalam map. Bagian yang hilang ia pisahkan dengan potongan kertas buffalo. Mencatat inti pokok dan bagian terpenting di sampul dan stiker. Persis seperti buku pelajarannya. Bagian yang luntur itu yang jadi masalah. Sepertinya, semua hal terpenting ada di sana.

Mata Kurma masih menatap pada kertas luntur. Tiba-tiba merasakan angin dingin menusuk lehernya. Membuat bulu kuduknya merinding dan jantungnya melompat bersamaan dengan pantatnya yang refleks terangkat dari kursi. Setelah otaknya paham apa yang terjadi, Kurma kembali duduk sambil menghembuskan napas jengkel.

"Serem, Anjing."

Dia terkekeh. Tidak. Jangan lihat mukanya. "Dapat sesuatu?" tanyanya mendekat dengan hawa dingin.

Kurma mencoba diam di tempat, meski rasa merindingnya membuatnya ingin lari. "Cuma cerita kenapa Kakek benci keluarga ini."

"Kenapa?"

"Kaya sok-sokan jenius di seni gitu. Nggak paham apa-apa, cuma sekedar belajar, nggak ngerasain makna atau semacamnya. Jadi Kakek nganggep keluarga ini terkutuk, dengan titel keluarga paling jenius dalam seni. Sampai mereka buta."

Tidak tahu kenapa, senyumnya makin lebar. "Berarti kamu dikutuk?"

"Memang. Buat apa gitu lho aku harus mati-matian belajar ginian?" Akhirnya Kurma ngomel sendiri, menumpahkan kekesalan yang biasa ia lakukan sejak tiga bulan lalu.

Di tengah ocehan Kurma, makhluk itu menyela, "Dia dikutuk juga?" tanyanya menunjuk kertas.

Ya—sebentar, Kurma tidak mau ngomong hal jelek soalnya. "Bisa jadi sih."

"Mati dikutuk?"

"Mati—" eh? Kakeknya mati kenapa? "Mati usia tua paling." Kurma melipat tangannya. Gimana kakeknya meninggal? Kurma cuma ingat pemakamannya, bukan alasannya.

Sekarang Kurma bingung sendiri. Ia tahu fokus utamanya seharusnya pada alat musiknya. Dari pada memecahkan masala, pikiran Kurma malah mengeluh. Kalau saja ia tidak di sini. Kalau saja ia lahir di keluarga biasa. Umur segini dia pasti kuliah di kampus yang asyik. Jalan-jalan ke mall, kafe, beli boneka lucu-lucu, makan burger dan minum soda di restoran fastfood sambil gosip cowok terganteng di dunia. Bisa dandan sendiri, ke pesta hura-hura, bareng cowok dengan bunga-bunga—duh, enaknya.

Karena dari awal sudah tidak niat, alhasil sebulan waktu Kurma terbuang sia-sia. Anggara Pandhita dilaksanakan tiga hari lagi. Kurma sudah yakin mengambil genre rock. Alat masak gampang, tinggal ambil di dapur. Sehari sebelum acara, ia harus datang gladi bersih. Sekaligus menyiapkan apa yang ia butuhkan. Kurma santai, toh, bukan dia yang repot-repot bawa panci dan ember.

Masalahnya ini nih. Si makhluk jadi-jadian ini. Sebulan ini, Kurma mencermati benar catatan-catatan kakeknya. Berniat kembali ke rumahnya, tapi tidak ada waktu. Kurma paham ceritanya, tapi banyak pertanyaan karena tidak lengkap dan ambigu. Dan makhluk itu masih terus membujuknya untuk memainkannya dengan horor sambil mengganggu konsentrasi bacaannya.

Akhirnya, pada hari gladi bersih, Kurma membawa alat itu ke aula acara. Para pelayan dan buruh angkutnya sibuk mengeluarkan alat-alat masak dan barang-barang lain ke belakang panggung. Sambil geleng-geleng kepala dan senyum-senyum kecil, tidak tahu lagi apa maunya si majikan.

Kurma sih santai. Sudah tabiatnya begini. Persetan sama acaranya. Pikiran negatif mempermalukan keluarga ataupun tampil gila sama sekali tidak menghampiri pikiran Kurma. Jadi dia berkeliling panggung menghabiskan waktu sambil memeluk alatnya.

Di tengah panggung, ia menatap ke arah pekerja yang bersih-bersih. Kurma membungkuk untuk duduk bersila sambil menjatuhkan alatnya perlahan. Saat itulah ia mendengar suara lonceng. Terdengar tidak asing. Kurma membuka bungkus alatnya. Baru sadar, mungkin lonceng yang kemarin terbawa masuk ke bungkus alat musiknya.

Oke. Kurma duduk di depan alatnya itu. Dengan lonceng dalam genggamannya, Kurma memperhatikan lagi bagaimana alat ini bekerja.

Eh.

Tadi loncengnya bunyi?

Sekali lagi, Kurma menggoyangkan lonceng di telinganya. Tidak terdengar apa-apa. Begitu terus. Kurma menutup mata. Berharap ia mendengarnya secara tiba-tiba seperti waktu itu.

Benar saja.

Kabut putih samar muncul. Menutupi tangannya dan alatnya. Namun perlahan menghilang. Masih dalam pandangan yang samar, Kurma nyaris menjerit ketika kedua lengan muncul dari pinggangnya. Rasanya seperti tergelitik tiba-tiba yang membuatnya lemas. Kurma tetap duduk di sana. Membungkuk sambil merasakan detak jantungnya sendiri. Melihat kedua tangan itu memainkan alat musiknya.

*KRINCING!

Suara lonceng berbunyi bersamaan dengan ketukan papan kayu. Lalu petikan senar dan goresan batu di permukaan kayu tidak rata itu. Bagus. Jadi begini cara mainnya.

Kurma menikmatinya. Sampai loncengnya berdentang makin berisik seperti akan membuatnya tuli.

Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang