II. Sejengkal dari Jidat

8 0 0
                                    

Jadi, kemarin itu Kurma secara ajaib menjadi perwakilan bidang musik untuk tampil pada Anggara Pandhita sebulan lagi.

Sebulan!

Sebentar, tarik napas dulu. Hahhh... Intinya, ada acara tahunan kehormatan di keluarga besar ini. Anggara Pandhita, ya isinya cuma penampilan solo biasa. Kalau sebagai perwakilan akting ya nanti akting, kalau seni rupa ya buat pameran solo, begitulah. Memang dipilih acak. Tujuannya untuk menilai seberapa jauh seni keluarga ini berkembang dan mengevaluasi kebijakan. Ya-tapi kok harus orang kaya Kurma yang terpilih gitu lho.

Bukannya Kurma menyesal tidak pernah berlatih. Ia hanya kesal dengan beban membawa marga Sitaresmi. Berapa kali dia harus bilang,

"Aku itu nggak suka seni. Blas. Titik. Mau nyanyi kek, lompat berputar, bikin apalah, main apalah. ENGGAK!" jerit Kurma malam itu.

"Iya, emang itu fakta." Kakak laki-lakinya menyahut. "Dan terpilihnya kamu sama mereka juga fakta. Tanggung jawab."

Kurma mengangguk. "Oke, aku cuma tampil kan? Terserahku tampil kan? Pokok musik kan? Oke."

"Yak-agak dibagusin dikit gitu lho." Giliran kakak perempuannya membujuk.

Kurma mengangguk lagi. "Oke."

"Kamu harus berjuang ya, Nak." Ibunya malah ikut-ikutan. Sebagai yang lebih bakat dalam seni rupa, ia rela mau mencari siapapun yang bisa melatihnya.

"Bapak yakin kamu bisa. Main saja seperti biasa." Duh, ini nih, kalau bapaknya sudah berekspetasi. Bahaya.

"Masalahnya Al nggak pernah megang sama sekali," kata abangnya agak mengejek.

"Pokoknya bisa membuat suara nada kan? Jadi nggak harus pake yang megah ala ala harpa kayangan atau gitar ala punk kan? Intinya bermusik." Kurma bangun dari kursinya. Tepat ketika penutup makan malam baru dibawakan pelayan. "Gampang." Kurma mengedipkan sebelah matanya sambil mencolek krim kue di atas nampan. "Permisi semuanya," ujarnya melambaikan tangan.

"Malam, Mal." Hanya kakak perempuannya yang menyahut kepergiannya.

Kurma masuk ke kamarnya yang bernuansa biru. Baik, ia akan tanggung jawab. Ia akan tampil dengan luar biasa di Anggara Pandhita. Sendirian memang tidak bisa, tapi ada yang bisa membantunya.

"Oi, kamu nggak mau berubah wujud apalah gitu? Biar aku nggak kelihatan gila ngomong sendiri."

Kurma tiduran di atas kasur. Menunggu beberapa saat sambil merasakan angin dingin yang tiba-tiba berhembus mengelus wajahnya. Kepala gadis, dengan rupa persis seperti dirinya, langsung nongol tepat sejengkal dari jidatnya. 99,99% mirip. Bedanya? Senyumnya dia jauh lebih lebar. Kalau Kurma punya tampang pemalas, Kurma 2.0 ini punya tampang hantu sumur.

"Katanya kalau habis makan jangan tidur." Bahkan suaranya persis sepertinya.

Kurma akhirnya duduk bersandar. Sambil memeluk boneka cumi-cumi ungu ia berkata, "Aku akan tampil bermain musik. Jadi aku akan memainkanmu."

"Wow!" Dia menjerit. Langsung melompat dan berdiri di depannya. Benar-benar mirip dengan hantu sumur. Apalagi dengan gaun kecoklatan yang kusam, hiasan bunga-bunga dan manik-manik buluk, juga tidak pernah menampakkan kakinya seolah dia memang selalu melayang meski roknya menyentuh alas.

"Aku terakhir memainkanmu itu kan-umur 5 atau 6 kan ya? Pokoknya sebelum Kakek meninggal. Nah, masalahnya aku agak lupa. Dan yang bisa mainin kamu cuma Kakek."

"Mau coba dulu?"

Kurma diam sebentar. "Besok deh, sudah malam." Kemudian ia melihat wajah cemberutnya sendiri. Tidak tahu ya, tapi melihatnya berdiri di depannya dengan tampang begitu benar-benar horor. "Coba, kalau benar-benar lupa kita lanjut besok."

Kurma menutup matanya. Hawa horornya semakin terasa ketika angin dingin berhembus lagi. Kurma bukan penakut, tapi siapapun, jujur, kalau merasakan anginnya pasti menutup mata. Tidak mau tahu apa yang terjadi.

Sebagai orang yang sangat percaya pada ilmiah, awalnya Kurma merasa gila begitu melihat alat musik peninggalan kakeknya hidup. Ia memang dekat sekali dengan kakek, meski bukan dari pihak ayah atau ibu. Mereka sama-sama bermarga Sitaresmi, masih seperti keluarga. 14 tahun lalu, kakek meninggal dan mewariskan alat musik itu padanya dalam wasiat. Karena sejak pubertas Kurma langsung beralih jadi ilmuwan, bukan seniman, iapun meninggalkan warisan itu sampai waktunya bersih-bersih, acara sakral pribadinya dalam puluhan tahun sekali.

Kurma tidak keberatan. Dia ternyata tidak menyusahkan. Mau cerita juga sepertinya tidak penting. Jadi kadang-kadang, sejak tiga bulan terakhir, Kurma menjadikannya teman mengobrol kalau ada yang penting.

Alat musik itu berupa papan kayu, mungkin 0.6m x 0.5m. Permukaannya tidak rata, halus kasar, bergelombang, cekung, datar, berlubang-lubang kecil. Di beberapa sisi dan ujung ada besi yang terikat senar, melintang tanpa pola di papan. Tidak banyak, hanya 7 benang yang membentang. Memainkannya dengan batu segitiga seibu jarinya yang halus.

Kurma memangku alat itu. Diam lama sekali sebelum kedua tangannya menyentuh permukaan. Dipukul sambil memetik? Kanan kiri atau kiri kanan? 7 benang dikira 7 melodi, tapi dipetik manapun kok sumbang? Digesek pakai batu? Apa? Apa!?

Selama tiga jam hanya terdengar suara ketukan, getaran senar, dan desahan jengkel. Kurma 1000‰ lupa. Kakeknya yang ansos itu masa punya kenalan yang bisa. Kalau mau mencari, cukupkah sebulan plus latihan?

Sebentar.

Kenapa dia harus memainkan benda ini?

Kurma bisa kok lempar-lempar galon, genteng, dan panci sambil dipukul-pukul untuk genre rock. Bisa menjerit kesurupan untuk genre sejarah kematian. Atau menghancurkan barang untuk genre disaster.

Karena sudah tiga bulan mereka dekat dan sebagai alat musik sudah fitrahnya dimainkan?

Mungkin.

Kurma meletakkan benda itu di atas mejanya. Merebahkan diri lagi dalam gulungan selimut. Begini saja rencananya, dalam dua minggu ini dia harus mencari tahu cara memainkannya. Kalau tidak ketemu, fix, dia harus memilih genre; rock; sejarah kematian; atau disaster. Titik.

Kurma menarik selimutnya menutupi leher saat merasakan angin dingin kembali menerpanya. "Masa kamu sendiri nggak ingat gimana mainnya?"

"Aku kan baru punya otak sejak jadi manusia waktu bungkusnya kebuka."

Oh iya, bungkus. Kurma langsung bangun. "Dengan otakmu itu, kok bisa kamu jadi manusia?" tanya Kurma sambil mencari.

"Tanya kakek, aku buatannya."

"Sebentar, kamu secara harfiah buatannya-manusia atau alat musiknya?"

Dia tersenyum lebar lagi dengan menyeramkan. Pelan-pelan bahunya mengangkat yang membuat Kurma merinding. Kembali fokus mencari bungkusnya. Setelah dapat, mereka duduk bersama di atas kasur dan memeriksa karung buluk dan berjamur, tapi tidak berdebu itu.

Tidak ada apa-apa.

Kurma merebahkan diri lagi. Menghela napas dengan malas. Enak sekali kalau tidak terpilih. "Kalau aku nggak jadi main kamu gimana?"

Dia meletakkan kepalanya lagi, sejengkal dari jidatnya dengan raut cemberut. "Jangan dong." Lalu tersenyum tiba-tiba. "Ya?"

Mungkin, alasan sebenarnya Kurma mau memainkannya adalah karena dia takut padanya.

Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang