V. Sisi Lain

6 0 0
                                    

Inti cerita kakeknya, ia membenci Keluarga Prabangkara yang mulai buta akan ketenaran dan melupakan seni sesungguhnya. Mengenai diusirnya Tuan Tolken, perintis seni sastra, adalah karena ide gilanya membuat dunia kayangan seni. Hidup abadi di dalamnya seperti surga pada umumnya beserta keindahan segala seni.

Tidak masuk akal? Jelas tidak.

Tapi ada!

Kurma duduk di dalamnya. Tangannya masih menutupi telinganya yang nyaris tuli gegara lonceng. Namun pemandangan di dalamnya berubah. Tidak lagi panggung kosong. Sementara alat musik di depannya terus bermain oleh tangan khayal, surga benar-benar muncul di depan mata Kurma.

Karya terindah yang pernah ia lihat. Yang tak pernah ia temukan dalam pertemuan keluarga. Saat suara lonceng mereda, ia mendengar alunan musik terbaik yang pernah ia dengar. Inikah yang disebut Keindahan yang Hilang dari Prabangkara? Sampai akhirnya keluarga ini betulan terkutuk.

Kurma masih terkagum-kagum. Saat ia hendak berdiri, keindahan yang ia lihat hilang. Berganti kabut dan dentingan lonceng lagi. Refleks Kurma menutup telinganya. Namun lonceng hanya berdenting sekali, diikuti suara langkah mendekat.

Genre-nya tidak sedang jadi horor kan? Perlahan Kurma membuka matanya. Postur tubuh yang tidak asing. Rambut putih ikal menutupi mata coklatnya dengan kerutan di muka kotak. Tinggi dan kurus kering bagai tiang.

"Kakek!" Kurma menjerit girang dan segera berdiri. Kakinya langsung berlari mendekat-lalu berhenti mendadak.

"Kurmalalita Sitaresmi."

Ah. Dia yang diusir oleh kelima orang lain. Dia yang dalam halusinasinya waktu itu. Senyum Kurma mengembang. "Tuan Talken." Punggungnya membungkuk rendah dengan tangan di dada.

"Jangan kaku, kamu sudah pernah pipis di pangkuanku."

Senyum Kurma tambah lebar. Kalau dia sadar, ia sudah mirip dengan makhluk itu. Kurma berdiri. "Aku sudah mati? Ini surga betulan? Atau semacam guna-guna keabadian Tuan Talken sampai jadi kakek terbaik di marga Sitaresmi?" Kurma bertanya tanpa jeda.

"Tenang. Satu-satu. Ini hanya persinggahan para Bathara. Aku cuma pinjam." Dia terkekeh. "Sisi yang kuinginkan. Sisi lain dari kakunya Prabangkara yang buta. Tempat dimana semua keindahan bernilai sama. Estetika Prabangkara yang hilang, kuletakkan semuanya di sini."

"Wewew~" Percuma dia belajar sains selama ini.

Orang itu, Tuan Talken—kakeknya, mengulurkan tangan. "Kamu orang pertama yang bisa melihat kutukan Prabangkara. Dengan segala hormat, aku meminta tempatmu di sini."

Fix, Kurma sekarang betulan mirip makhluk itu. Dengan senyum sampai matanya, ia meraih tangan keriput itu. Apapun. Asal ia bisa meninggalkan keluarga ini.

Begitu tangannya bergandengan, kabutnya menghilang. Mereka berdua ada di acara Anggara Pandhita. Berdiri di tepi panggung yang tidak disadari siapapun. Kurma yang lain berdiri di sana, dengan meja dan alat musik itu, memainkan dengan fasih sampai ingatan pada Kurma yang asli kembali menampilkan bagaimana ia memainkannya di umur 5 tahun.

"Untuk Prabangkara." Kurma terkejut mendengar dirinya yang lain itu mulai berteriak. "Telah datang kutukanmu atas kedudukan! Tidak lain dari sampah karya agung kalian! Teruslah buta kalau tidak mau melihat!"

Kurma tergelak. Tertawa ngakak melihat reaksi keluarganya. Apalagi kakak perempuannya yang suka mindblowing. Puff~ makan itu.

Sekali lagi. Kabutnya muncul. Semua yang ada di tempat itu bisa melihatnya. Menoleh kesana kemari dengan bingung. Lalu Kurma dan Tuan Talken berdiri lagi di surga itu.

"Tidak apa kamu pergi?"

Kurma mengangguk. Kembali tersenyum lebar. "Sudah sejak lama aku mau pergi." Dia tersenyum. Tahu kalau tidak perlu repot membujuknya kalau sudah tahu tabiatnya. "Terus apa?"

Tuan Talken masih menggandeng tangannya. Menuju ke sebuah patung. Itu Kurmalalita, berdiri dengan cantiknya. Kurma tahu dia cantik, tapi tidak pernah merasa secantik ini. Patung yang dengan anggunnya dalam balutan gaun bermanik-manik dan bunga sambil memainkan alat musik aneh itu.

"Sisi lain ini adalah yang sesungguhnya." Lalu ia menunjuk pada tatakan patung lain yang kosong. "Akan ada yang datang lagi." Tangan keriputnya mengangkat lonceng yang pernah Kurma temukan. "Kita hanya perlu menggoda yang lain bergabung." Ia kemudian menyimpan lonceng itu dalam genggaman Kurma.

Kurma tertawa lagi. "Macam setan saja." Senyumnya melebar lagi.

Tapi ia tidak lihat senyum Tuan Talken yang lebih lebar dengan matanya yang perlahan memerah.

Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang