1

262 2 3
                                    

Menjelang sore huru-hara masih belum surut dari kota metropolitan, sementara ada satu wanita lagi yang diperkosa.

Masih ada asap yang mengawan dari lubang-lubang di mall. Para 'pribumi' bolak-balik keluar masuk dari sana memboyong barang-barang. Kecil; besar, murah; mahal, baru; bekas, semua diambil selama bisa dipakai atau dijual. Mobil terbakar, pecahan kaca berserak, ruko-ruko tutup, orang Cina dipukuli, bandara dipenuhi, jadi semakin lumrah akhir-akhir ini. Tiada polisi atau tentara yang datang, seolah mereka hanya hantu yang diciptakan oleh pemerintah.

Hanya ada dua jenis orang yang boleh berkeliaran di waktu macam begini: orang sinting dan orang bangsat. Adila jelas bukan termasuk keduanya. Ia hanya mahasiswi yang baru pulang dari kampus sehabis dari ngumpul kecil bersama teman-teman satu organisasi. Sebenarnya ngumpul-ngumpul ini bisa batalkan karena kampus ditutup juga topiknya yang tidak penting-penting amat, tapi Adila yang malah memaksa untuk tetap dijalankan meski tidak di kampus.

Jam dinding di warung Mak Sutik menunjukkan pukul setengah dua. Adila berkemas dan pamit setelah pembahasan aksi yang sudah selesai tiga puluh menit yang lalu. Banyak yang menawari tumpangan cewek cantik yang lumayan populer diantara satu angkatannya ini, tetapi kebanyakan ditolak. Tentu saja, untuk jaga image sebagai anak baik yang dapat beasiswa gratis di kampus. Ia memilih untuk jalan sendiri dan meyakinkan teman-temannya kalau ia akan baik-baik saja.

"Tenang aja, yang orang-orang incar itu Cina." bilangnya menenangkan teman-temannya.

***

Waktu itu masih pagi, tapi Hong Kong sudah merebah pada kursi bambu depan rumah. Ia baru pulang sehabis semalaman main kartu domino di rumah Wai Sabat, sahabatnya. Masih terbalut singlet putih bernoda kopi di sudut kiri bawah serta celana boxer merah.

Ketika Ayu keluar dari rumah, aroma alkohol langsung menusuk hidungnya. Seketika wajahnya memerah. Ia ambil sandal Swallow milik Hong Kong dan langsung dilontarkan kepada pemiliknya.

"Bangun Kong, masih berani kau pulang, hah!?" bentak pendek wanita paruh baya itu.

Hong Kong yang tiba-tiba melompat dari rebahnya segera mengedar kemana-mana macam kena rasuk jin. Mata lelaki itu merah mendelik sebelum mendapati istrinya.

Ayu menunjuk-nunjuk tegang datangnya mentari diantara sawah-sawah dan pohon sawit tua: "Tengok itu! sudah jam berapa sekarang!?"

Alih-alih menjawab, lelaki itu malah masuk dengan langkah seperti orang linglung seraya berpegang pada dinding.

"Lelaki bangsat! tiap malam kerjanya main Domino, mau sampai kapan kau seperti ini!? Anakmu itu mau kau kasih apa kalau kerjamu tak kau seriusi!"

"Diam bangsat!" Satu tampolan langsung memalingkan wajah Ayu. "Tidak tahu orang capek apa!?" mata sipit itu menajam. Bergulirlah pertengkaran yang seperti hari-hari sebelumnya. Kebanyakan Hong Kong lah yang mengungguli pertengkaran-pertengkaran ini. Sementara dari balik gorden kamar, satu-satunya anak dari keluarga ini mengintip. Ketakutan sekaligus membenci.

Anak itu tak tahu sejak kapan mereka bertengkar. Ingatannya terlalu muda untuk mengingat peristiwa-peristiwa lama. Tetapi ia pernah diceritai oleh Wai Sabat, kawan ayahnya tentang bagaimana mereka bertemu.

Keluarga si Hong Kong adalah juragan tanah di Desa Sukasange. Mereka memiliki garis keturunan Cina yang berakar sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Konon tanah di Desa Sukasange adalah hasil perjanjian antara keluarga Hong Kong dengan orang-orang Belanda. Sebagian besar tanah keluarga itu diisi oleh persawahan dan ladang dan sebagian lagi adalah pemukiman warga. Kebanyakan dari mereka yang menggarap tanah keluarga Hong Kong.

Abdul Somat salah satunya. Ia seorang lelaki renta usia empat puluhan yang tinggal di rumah gedek bersama istri dan satu anak perempuannya. Kebanyakan harinya dihabiskan sawah. Istri dan kadang anaknya yang masih ABG juga ikut membantu. Kurang lebih hidup Abdul Somat baik, sebaik-baiknya wong cilik.

Tetapi akhir-akhir ini, Abdul Somat terus-terusan dibuat tak tenang dengan bayang-bayang Tacik Lee. Si pemilik tanah itu beberapa kali menagih utang lamanya, setelah kemarau berkepanjangan merusak hasil panennya tahun ini.

Di suatu malam yang sudah larut, Abdul Somat diminta berkumpul oleh istrinya, Nya Soma. Jendela ditutup, gorden melebar, hanya lampu minyak yang menerangi ruangan tiga kali tiga. Wanita paruh baya itu memastikan anaknya sudah tertidur.

Wajah wanita itu menampakkan kesuraman. Kerutan-kerutan di mukanya bak siluet tebal karena kena cahaya lilin.

"Mas Abdul tadi Tacik Lee datang lagi ke sini."

"Kenapa lagi Tacik Lee? Bukannya kita sudah bilang kalau bakal cicil hutang mulai bulan depan," balas malas Abdul Somat.

"Tidak, tadi malah Tacik Lee minta yang lain. Tadi pagi dia bilang utang kita bisa dilupakan-"

"Eh, yang benar kamu?" celetuk Abdul Somat yang seketika bangkit dari pinggir kasur kapuk. "Utang kita itu bukan cuman satu karung beras, Nya. Aku tahu gelagat si Tacik Lee itu bagaimana. Dia kalau masalah utang-mengutang memang tidak hitung-hitung tapi dia itu masih senang duit... senang sekali. Memangnya Tacik minta apa?" kepala Abdul Somat menyodor tepat di hadapan Nya Soma.

Wanita itu menegang kaget. Jari-jarinya saling memeluk sedikit gemetar seraya padangan menekur menghindari mata suaminya yang rada melotot.

"A-anak kita..." bilang Nya Soma pelan.

"Kenapa dengan anak kita?" Abdul Somat minta kejelasan.

"Kawin... Anak kita diminta kawin."

Abdul Somat kaget. Bibirnya beku sejenak tak berbalas, "Nya jangan ngawur kamu ngomong-"

"Aku tak bohong! tadi siang Tacik datang dan bernafsu-nafsu minta anak kita dikawinkan dengan anaknya."

Kaki Abdul Somat lantas lemas. Ia jatuh terduduk kembali ke pinggir kasur kapuk.

"Kawin katamu?" tanya pelan Abdul minta kejelasan.

Nya Soma ragu-ragu mengangguk. Takut suaminya marah. Tetapi Abdul Somat tak bilang apa-apa dan bangkit keluar dari kamar. Ia duduk di batu besar depan rumah sambil menghisap rokok yang ia linting. Somat hampir menghabiskan malamnya tanpa tidur.

Pagi pun datang menjelang. Embun masih nyaman merebah pada gulma di sudut bebatuan. Mentari belum jua bangun, sembari orang-orang kampung turun dari surau. Namun, Abdul Somat sudah berkemas untuk berangkat. Ketika ditanya kemana oleh anak perempuan semata wayangnya ia berjawab menahan-nahan air mata, "Mengurus urusan orang Cina."


Bersambung

Lu Cina ya?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang