2

192 2 0
                                    

Suatu siang Tacik Lee tidak datang melihat sawah seperti biasa. Lelaki uzur itu pergi ke rumah sobatnya, Ching Chong di desa sebelah. Keduanya duduk di balkon belakang rumah. Setumpuk gorengan hangat masih mengandung minyak. Uap terus melayang di atas sepasang cangkir kopi.

"Kau kabur lagi dari anak bungsumu itu." tanya Ching Chong selagi duduk merebah di kursi dari bonggol jati.

Sobatnya tak berjawab; menatapi hamparan pedesaan dan sawah di bawah terik matahari pukul sebelas.

Ching Chong buang napas, "Mau sampai kapan kau diam?"

Masih diam juga Tacik Lee.

"Kalau mau pakai rumah ini sebagai tempat pelarian, sudah tidak bisa lagi Lee. Lelah aku menungguimu selama ini. Sekarang kalau mau datang ke sini kau harus bayar!" Ching Chong melipat tangan dengan cemberut.

"Berapa?" tanya Tacik Lee tiba-tiba selagi tetap tidak menoleh.

"Hah?"

"Minta berapa? bakal kubayar."

Sekali lagi Ching Chong buang napas, tapi lebih panjang.

"Mau sampai kapan kau begini?"

Lagi-lagi tidak berjawab.

"Sudah kuduga tidak dijawab. Dengar Lee, kalau mau anakmu itu berubah, ganti strategimu. Jelas marah-marah tidak mempan. Si bungsu sudah tembus umur dua puluh, bukan? Dia tidak cocok dimarahi seperti bocah. Dia harus diganti cara menanganinya. Tapi jelas anakmu itu tidak berubah kalau bapaknya lari terus ke sini."

"Caranya?"

"Tanyanya sama yang di atas," ia menunjuk ke langit, "bukan duda lapuk yang tidak punya anak macam saya."

Tacik Lee menaruh kepala di atas pagar balkon, "Ya sudah di sini sejamnya berapa, Duda?"

Menjelang sore Tacik Lee pulang. Ia mengendarai mobil pick up tua menembus jalan berbatu ditumbuhi rerumput kering di di kedua sisinya. Sepeda ontel biasanya melewati jalan kecil yang dibentuk antara rerumputan itu dengan pinggir jalan karena jalannya lebih halus.

Tacik Lee melongo. Ia terus dihantui bogeman Hong Kong tadi pagi. Ia masih bertanya-tanya, bagaimana bocah yang dulunya pendiam dan tidak punya tingkah itu bisa jadi lelaki bajingan yang suka mabuk tiap malam? Sementara benaknya mengabur ke masa lalu. Ia teringat salah satu bocah sejenis anaknya dari Desa Sukasange, Mat Suep.

Ia dikenal sebagai berandal dari segala berandal. Dulu sewaktu Tacik Lee masih bocah ia sering mabuk-mabukan, sering dipergoki warga ngewe di sawah atau sekadar adu balap motor butut dengan berandal lain. Ia sering bolak-balik masuk kantor polisi, entah itu karena membacok orang atau mencoba memperkosa wanita.

Sampai suatu hari Mat Suep memutuskan untuk merantau ke kota karena keluarganya susah uang dan bapak ibu sudah sakit-sakitan. Bertahun-tahun berlalu, Mat Suep berubah menjadi lelaki baik yang seolah tak pernah jadi berandal. Punya istri, kerja yang mapan, juga rumah yang mewah.

Sekali pernah Ayah Tacik Lee bertanya kepada Mat Suep, "Kau bisa jadi begini bagaimana caranya?"

"Ah tak ada lah, semua orang pasti nanti berubah kalau punya bini sama butuh duit."

Tacik Lee mendadak mengerem mobil. Juragan tanah Cina itu bengong sejenak dan akhirnya melonjak senang, "Nah itu! Kawin dan kerja!"

***

Malam itu Hong Kong berlari menembus jalanan gelap desa. Lampu jalan jarang menghujani tubuh pemuda itu. Ia melompat ke sudut sawah, menjejak gesit menyusuri pematang meski sekali-kali kakinya merosok jatuh ke selokan sawah. Sepatu sandal berlapis lumpur terus ia langkahkan memasuki gumuk yang dikelilingi perkebunan. Ia mengikuti arah suara tawa yang tiba-tiba terdengar. Napasnya tersenggal-sengal, pandangannya kabur, kepalanya pusing; hampir-hampir ia pingsan. Hingga ia temukan gubuk di bawah sinar bulan. Beberapa pemuda asik bergurau mengelilingi api unggun.

Lu Cina ya?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang