Mark, the dove bird.

1.1K 107 29
                                    

// warning : keseluruhan tempat dan juga setting serta waktu di fanfiksi ini semuanya tidak benar dan akurat, hanya imajinasi author semata untuk keperluan fiksi.

Note : 'dove bird' memiliki arti sang penyampai pesan atau perantara, jaman dahulu menggunakan burung merpati untuk mengirimkan surat.

.

.

.

÷ Unknown Time arround 1932

Hari itu sedikit mendung, gumpalan awan abu abu bergerak seiring hembusan angin dengan sangat lambat. Angin pun terasa sangat dingin hingga dapat menyusup di sela sela seragam, menembus kulit dan menggetarkan seluruh tubuh. Bau segar tanah mengudara bersamaan dengan nyaring serangga di pepohonan rimbun yang berdiri menjulang mengelilingi hutan menyambut siapapun yang masih berkeliaran dan memperingati tentang hujan yang segera turun. Sepatu boots yang kotor dan juga penuh lumpur berjalan ringan, layaknya prajurit terlatih, hati hati dan juga waspada di setiap langkahnya. Dedaunan kering yang sedikit basah remuk dibawah ayunan sepatunya dengan bunyi basah, genangan air di lubang lubang yang terbentuk di tanah masih menyisakan badai besar diiringi hujan yang menerpa kemarin. Tupai berlari kesana kemari melintas di hadapannya sebelum memanjat sebuah pohon jati yang terlihat tua dan rantingnya landai, sebuah apel yang tampak sudah digigit berantakan ia angkut di antara giginya protektif, makanan yang ia temukan untuk malam nanti. 

Tanpa senjata laras panjang dan granat yang menggantung di selongsong ikat pinggang, ia bisa leluasa bergerak. Hanya berbekalkan sebuah pisau yang aman di dalam balutan sarung dan terpasang di pinggul kanannya, buku bersampul coklat yang terbuat dari kulit sapi yang juga hadiah dari sang Ayah setelah ia lulus ujian masuk militer serta pulpen yang cukup mahal disematkan di tengah buku, pemberian seseorang di hari ulang tahunnya dua hari lalu, yang menemani langkahnya menuju sebuah rumah tua bekas tempat menyimpan ransom pasukan jepang yang dibiarkan setelah mereka mundur ke utara. Ia memiliki janji, tepat pada jam lima, dimana tentara diistirahatkan setelah berjaga untuk serangan musuh, matahari tepat berada di barat dan langit mulai oranye, di gubuk bekas tersebut. Sudah lima kali, mereka bertemu di sana, setelah pasukan ditugaskan berpindah tempat. Tangannya gemetar karena gugup dan juga antusias.

Tangga serta lantai yang kesemuanya adalah kayu yang lumayan tua dan lembab serta retak di sana sini berderik setiap kakinya berpijak, menjerit akan beban yang ia berikan, namun di tengah hutan yang sangat tenang dengan suara serangga serta burung tiada yang mencoba mencari tahu, semoga. Pintu yang lepas di satu engsel dan menggantung naas di engsel terakhir dan condong hampir terjatuh menyambutnya, dengan hati hati ia mengangkat tinggi kakinya, peluru yang masih tersimpan di kantong celananya saling bergesekkan karena gerakkannya. Dentingan merdu yang pelan dan berhasil menyita perhatian seorang pria dengan seragam tentara berwarna kecoklatan yang sedikit pudar, sebuah senjata laras panjang diletakkan di lantai tepat di sebelahnya duduk bersila. Senyuman lebar terulas di wajah yang ternoda dengan debu dan lumpur yang mengering, secerah matahari di ruangan gelap yang mereka gunakan sebagai pertemuan rahasia. Rambut hitamnya yang pendek teracak dan dari bau mesiu yang tercium dari tubuhnya, ia baru saja kembali dari latihan panjang di barak yang ia jaga. Bendera yang menghiasi kain yang diikat di lengan mereka sangat berbeda namun keduanya berbagi pandangan dengan perasaan yang menyatu. 

"Yoonoh, apa kau sudah makan siang?"

Setelah pantatnya ia istirahatkan di lantai kayu yang sedikit basah oleh lembab, pria tampan itu bertanya. Tangan besar yang kasar dengan luka di sana sini mengenggam tangannya. Yoonoh menggangguk, tangannya dengan cepat merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah bungkusan dari kertas pembungkus peluru yang berisi ubi bakar yang masih hangat. Ia meletakkannya di pangkuan, melepaskan genggaman di tangan kanannya, ia membuka hati hati kertas tersebut dan menyodorkan ubi yang mengepul dengan asap itu pada lawan bicaranya.

Rewind.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang