[17] Taehyung's POV

524 120 19
                                    

Orang-orang yang percaya takdir bilang kalau semua hal di dunia terjadi karena suatu alasan. Bahkan suatu kebetulan kecil pun terjadi karena sudah digariskan seperti itu. Pada akhirnya, ada alasan-alasan nggak kasat mata yang melatarbelakangi semua hal yang kita lakukan dalam hidup.

Tapi gue nggak percaya konsep takdir. Menurut gue, nasib kita nggak ada hubungannya sama suatu garis nggak terlihat. Gue percaya kalau takdir gue adalah hasil dari keputusan-keputusan yang gue buat, baik sengaja maupun nggak sengaja. Salah satu contoh nyata yang semakin bikin gue yakin pada pandangan gue ini adalah perkenalan gue dengan Sooyoung.

Park Sooyoung dulu bukan siapa-siapa di hidup gue. Cuma anak tetangga, adiknya Bang Chanyeol. Kami nggak punya singgungan garis takdir sama sekali sampai suatu hari kehadirannya semakin nyata dalam hidup gue. Aneh kalau dipikir lagi karena tiga tahun lalu gue bahkan masih nggak ngerti alasan Jimin sesuka itu sama Sooyoung waktu SMA. Asli, satu-satunya impresi yang gue punya untuk Sooyoung sampai hari Chuseok bersejarah itu adalah ingatan soal perasaan Jimin ke Sooyoung yang nyaris di luar nalar manusia normal.

Dan pasti akan terus begitu kalau saja gue nggak memutuskan untuk randomly minta nomor ponselnya malam itu.

Apa yang bikin gue tiba-tiba minta nomor ponsel Sooyoung? Jelas bukan takdir, tapi murni keinginan gue sendiri. Gue baru tahu ternyata dia temen ngobrol yang asyik, punya pandangan yang beda dari kebanyakan cewek seumurannya, dan surprisingly sepemahaman sama gue di beberapa hal. Gue akui gue tertarik sama dia sejak obrolan pertama kami. Tapi waktu itu, gue cuma pengen jadi temannya. Nggak lebih.

Waktu pada akhirnya gue mutusin untuk melibatkan Sooyoung lebih jauh ke hidup gue, itu juga bukan kebetulan. Semua memang terjadi karena suatu alasan, tapi gue yang membuat alasan itu, gue yang ambil keputusan. Bisa aja waktu itu gue mutusin buat nggak minta Sooyoung jadi pacar pura-pura dan membiarkan Ibu coret nama gue dari KK. Tapi gue lebih milih jalan lain. Itu artinya gue menentukan takdir gue sendiri. Dan gue percaya Sooyoung juga melakukan hal yang sama dengan takdirnya.

Jadi kalau dibilang hubungan gue dan Sooyoung ini sudah digariskan, gue ragu. Karena mungkin aja gue dan dia tetap bukan siapa-siapa kalau dia nggak nyapa gue malam itu. Mungkin aja kami masih jadi tetangga yang saling sapa sesekali kalau gue nggak ajak dia untuk pacaran beneran. Dan bisa jadi hubungan kami nggak bakal sejauh ini kalau gue dan dia nggak sama-sama berkomitmen untuk serius meskipun tanpa sadar.

Kalau gue ingat-ingat awal pacaran sama Sooyoung, asli gue antara malu, geli, dan pengen marah. Bisa-bisanya gue dengan pedenya bilang kalau nggak bakal merepotkan Sooyoung. Rasanya gue pengen balik ke masa lalu dan noyor kepala sendiri sambil bilang, "Heh bodoh, yang namanya masa depan, tuh, nggak ada yang tahu. Lo bilang nggak bakal investasi lebih ke perasaan, tapi apa sekarang? Dasar bucin."

Ya. Tanpa gue sadari, semakin lama gue kenal sama Sooyoung, semakin gue tenggelam dalam pesonanya yang nggak ada ujung. Gue selalu merasa bersyukur banget karena bisa dekat sama manusia semengagumkan Sooyoung. Jimin mungkin benar, Sooyoung itu unik dan nggak membosankan. Tapi yang bikin ia menarik bukan cuma penampilan seperti yang Jimin puja, melainkan juga otak dan hatinya. Untuk hal itu, gue selangkah di depan Jimin karena bisa kenal Sooyoung lebih dalam.

Awalnya, gue bersyukur banget karena punya pasangan yang nggak ribet. Sooyoung paham kalau gue dan dia punya kesibukan dan hidup masing-masing. Pacaran bukan berarti kami harus menghabiskan 1 x 24 jam bersama. Namun, semakin ke sini, gue jadi semakin sadar kalau berhubungan sama Sooyoung, tuh, juga bikin gue belajar banyak hal. Oh, ralat. Kami sama-sama belajar. Alih-alih bikin peraturan harus ABCD dan nggak boleh EFGH, kami justru beradaptasi dan saling kompromi terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Gue sadar banget soal hal ini karena baru aja kejadian. Tugas kantor yang mengharuskan gue tinggal di luar negeri sementara waktu jadi ajang belajar hal baru bagi gue dan Sooyoung. Seumur-umur, gue nggak pernah menjalani hubungan jarak jauh. Lagi-lagi, gue sombong dan terlalu mengedepankan logika. Gue overconfident dan bodoh karena mikir kalau hubungan kami bakal baik-baik aja dengan bantuan teknologi. Gue yakin kalau chatting dan telepon video bakal cukup untuk mengobati rindu.

Naif dan bodoh memang beda tipis.

Proses hubungan jarak jauh itu bikin gue sadar kalau Sooyoung lebih lebih lebih berarti dibanding yang gue pikir sebelumnya. Mungkin nggak pernah mikir itu sebelumnya; I took her for granted, gue tahu dia penting tapi gue pikir tanpa dia gue bakal baik-baik aja. Sampai semua itu kebukti salah waktu gue lihat Sooyoung kesulitan dan gue nggak ada di sana buat bantuin. Untuk pertama kalinya, gue merasa frustrasi sama jarak dan waktu yang misahin kami sampai gue pengen pulang ke Korea saat itu juga.

Untung Sooyoung mau jelasin dan yakinin gue buat tetap kuat. "Sabar, Kak. Kalau kamu pulang sekarang, artinya kamu kalah dong sama egomu sendiri. Aku tahu ini berat, tapi kita pasti bisa ngelewatin ini." Begitu kata Sooyoung tiap kali gue udah nggak kuat didera rindu dan mengutarakan keinginan buat mengundurkan diri dari proyek.

Sooyoung mungkin nggak tahu kalau delapan bulan berjauhan sama dia bener-bener bikin gue jadi lebih menghargai hal-hal kecil dalam hubungan kami. Banyak privilese yang ternyata kami punya dan bikin hubungan kami jadi mudah. Dan gue pernah nggak menyadari itu sampai kenyataan menghantam gue.

Sekali lagi, itu bukan takdir. Semua perjalanan hubungan gue dan Sooyoung selama dua tahun setengah ini bukan kebetulan. Hubungan gue dan Sooyoung bisa sampai pada titik ini berkat keputusan, kepercayaan, kompromi, dan komunikasi yang kami bangun sampai terus bertambah kuat. Dan berkat keputusan yang dibuat berdasar pada kepercayaan, kompromi, dan komunikasi itu, gue yakin hubungan kami bertambah kuat. Gue yakin kami bisa ngelewatin semua tantangan dengan selamat dan mempertahankan kapal kami supaya nggak karam.

Inilah yang gue sebut takdir.

***

Sebentar lagi tamat, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebentar lagi tamat, ya

Kita pindah ke cerita baru ehehehe

CHUSEOK BLISS - VJOY [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang