prolog

9 1 0
                                    

Bocah itu mengetuk jendela kamarku, dia Hazim teman di sekolah dasar selain Siti teman sebangkuku. Aku dengan Hazim sempat terpisah di kelas empat, dia dapat kelas B sedangkan aku dengan Siti kelas A. Ketika saat kenaikan kelas lima ke kelas enam, Siti harus pindah keluar kota. Hazim menawarkan untuk duduk sebangku bersama karena dia tahu temanku hanya dia dan Siti, namun aku menolak, karena aku tidak mau buat teman yang berada di kelas cepuin aku, aku duduk di barisan paling belakang, di sudut ruang kelas yang memiliki jendela mengarah ke taman sekolah, dekat lapangan yang biasa dipakai upacara. Pagi itu wali kelas masuk kelasku dengan baju merah hatinya, dia perempuan. Ibu guru menyapa kami setelah itu menyebutkan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi, ada satu peraturan yang membuatku kesal saat itu, yaitu; kami harus duduk sebangku dengan lawan jenis dan dipilihkan oleh wali kelas. Ayolah! Aku tidak bisa bolos setiap hari. Tapi ternyata setelahnya aku senang, ibu guru tidak salah pilih teman sebangku untuk ku, Hazim ada di sebelahku.

Aku tadi berdoa agar kamu tidak sedih hari ini Asahy.

Ku bukakan jendelanya, aku melihat senyum saat dia melihatku, sebelum dia bicara, aku mendahului, ku bilang padanya tidak akan bermain karena ingin tidur. Dia tidak terima terlihat sekali dari raut wajahnya, akhirnya merengek memaksaku untuk main di hari minggu, dan ini baru jam sepuluh pagi!.

"Asahy Bangun bukan untuk tidur lagi!" Katanya, aku tidak mengiyakan atau bilang tidak.

"Kita main ke rumah rahasia"

"Sudah bukan rahasia, anak komplek tahu Hazim!"

"Yang penting kunci gemboknya ada diaku"

"Tetap saja mereka main dihalamannya!"

"Aku akan panggil kamu warna gelap selama tiga hari mulai besok kalau kamu ikut aku ke rumah rahasia hari ini, bagaimana?"

Kenapa kamu tersenyum?

Kenapa kamu sangat senang dipanggil gelap?

Asahy, arti namamu benar, warna-warni.

Setuju, aku setuju, segera ku masukan semua barang yang ingin dibawa, termasuk peralatan lukis yang aku punya kedalam ransel berwarna ungu muda, dan segera bergegas menuju rumah rahasia dengan berjalan kaki. Sepeda yang dipakai Hazim untuk ke rumahku ditinggal. Karena tidak ada tempat duduk untuk memboncengku.

Rumah rahasia jauh dari rumahku tapi lumayan dekat dengan rumah Hazim, letaknya di dalam hutan dan ada sungai kecil yang membatasi, jadi harus melewati sungai untuk bisa masuk hutan. Ini bagian yang paling seru, tidak ada jembatan, tidak mungkin juga bila loncat, hanya ada satu tali sebagai alat bantu, tali itu terikat pada pohon besar di pinggir sungai, aku akan berpegang erat pada tali dan mengayun tubuhku. Hazim selalu melakukannya duluan. Aku sebal soal itu.

"Aku berjaga-jaga takut kamu jatuh, takut kakinya luka karena ranting, batu, atau daun tajam itu."

"Kamu selalu melihatku kecil!, itu cuma alang-alang!."

Tidak tahu bagaimana caranya dia menemukan tempat seindah ini, sudah kutanya tapi dijawab dengan nama rumah ini "rahasia", tidak pernah dia ganti bahkan satu huruf saja, mungkin misalnya menjadi "sahasia?", entah, itu yang muncul diotakku. Aku pernah berharap ayah membuatkan rumah pohon, tapi ternyata Hazim memberiku rumah rahasia. Percayalah hidup aku pasti akan sedih semua jika kamu tidak bisa menjadi temanku.

Bagus sekali rumahnya azim, tapi kita bisa dimarahi sama yang punya kalo ketahuan main disini.

Sudah ku bilang ini punya kita!

Ko bisa?

Ya, ini buktinya

Caranya?

Rahasia.

Bagaimana caranya?

Rahasia.

Satu kali lagi ku tanya, akan aku anggap ini buatan papa mu kalau jawabannya masi rahasia.

Rahasia.

"Azim aku nulis cerita di buku, kamu harus baca"

"Aku tidak suka cerita pangeran dan kekasihnya sahy, ceritanya bagus pasti, tapi aku pengennya kamu main sama aku sesering mungkin, bukan nulis."

"Kita mau main apa?"

"Begini saja, kamu jadi puteri--"

"Kamu pangeran!"

"Aku prajurit yang akan menjaga kamu, aku buatkan mahkota dulu untuk tuan puteri...."

"Aku yang buat pedangnya"

"Tidak, aku saja, tuan puteri tunggu disini sambil duduk santai!" Kedua tangannya memegang bahuku, menggerakan tubuh membuat aku menjadi duduk di bawah pohon yang berada di depan rumah rahasia, lalu dia pergi lebih masuk ke dalam hutan sendiri.

Memangnya ada menunggu dengan santai? Memangnya aku butuh prajurit? Memangnya aku mau main denganmu?. Detik itu aku berhenti menunggu, berhenti bersantai juga, yang sebenarnya tidak santai.
Aku menggendong ransel lalu pergi ke pinggir sungai.

"Sahy!, kenapa melukis di sungai?"

"Sungainya jadi bagus ya? Warna-warni."

Nafasnya tersengal aku tahu dia lari mencariku. Hazim mengikut terlungkup di rumput tanpa alas, di sebelah kanan aku. memperhatikan sungai yang berwarna karena cat lukisku.

Hazim selalu bisa mengganti emosinya dengan cepat, aku sirik dengan itu, tidak pernah kesal walau aku buat dia khawatir dan takut.

"Kenapa lukis sungai?"

"Lari-lari ya, Kenapa harus lari?"

"Takut kamu ngga ada"

"Capek pasti, marah dong sama aku"

"Cuma ayah yang boleh marahin kamu, tapi ayah sayang sama sahy"

"Sayangkan ngga harus marah-marah"

"Bukan gitu Asahy"

Hazim sayang aku, dia ngga suka marah, selalu kabulkan apa yang aku mau sekalipun itu racun, dia punya banyak stok penawar, diubah sampai racunnya menjadi segelas minuman yang bisa aku teguk.

"Sebentar lagi aku harus pilih sekolah."

"Aku akan minta mamam satu sekolah bersamamu."

Senyum, ya, dia tersenyum, senyumnya itu membuatku tersenyum.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang