dua

6 0 0
                                    

Walau waktu berubah, dan disetiap perubahannya memiliki rasa sakit beragam, perasaan tidak merasa apa-apa, juga sedikit senang. Aku sangat bersyukur ragaku masih didunia, karena perasaan takut Tuhan tetap ada.

Aku tidak baik-baik saja. Sudah empat bulan berlalu aku menjadi siswa kelas delapan, berarti mungkin sudah hampir satu setengah tahun aku dilupakan.

Berbulan-bulan aku bolak-balik setiap hari ke rumah rahasia, tapi selalu ngga ada dia, bahkan satu lembar kertas yang aku harapkan pun ngga ada, aku pikir dia malu atas kepergiannya yang mengingkari janji, dan mencoba menjelaskan lewat tulisan kerena, mungkin dia tidak sanggup menemuiku langsung, aku cari selembaran itu, sampai semua isi rumah rahasia berantakan, nihil. Ternyata akhirnya aku menangis sejadi-jadinya, cape akan semua kenyataan yang terjadi di hari itu, yang parahnya aku yakin semuanya bisa diatasi dengan hanya bertemu dia.

"Ibu harus sekali tinggal dulu ke rumah nenek dan kamu sama ayah, karena adik ikut ibu, ibu ngga bisa menjelaskan ke sahy, tapi ibu ngga mau bohong ibu ngga tahu kapan ibu pulang, kamu disini yaa, ibu harus jalan sekarang" aku hanya mengangguk, tidak mau  mempersulit ibu karena aku tidak mau ibu tambah sakit karena aku, padahal aku berharap ayah segera pulang untuk menjegal kepergian ibu.

Ibu pergi, Hazim pergi, dan aku pergi ke rumah rahasia mencari selembar kertas sialan itu.

Saat langit berwarna merah muda keunguan, ku tinggalkan rumah rahasia yang dibiarkan berantakan, sumpah aku tidak akan kembali untuk merapikan.

Dalam perjalanan pulang hari itu, aku merasa makhluk bumi hanya aku, tidak ada siapa-siapa, sepi, sendiri, siapa yang bisa menjawab pertanyaan dikepalaku, aku saja bingung siapa yang bisa kutanyai, tidak mengerti kenapa hal ini terjadi kepadaku, bertanya-tanya kenapa harus aku, kenapa tuhan ambil dua kebahagiaan sekaligus, padahal Tuhan tahu aku cuma punya itu.

Tidak ada yang mengharapkan aku pulang, dalam pikiran ku aku mau pulang ketempat yang aku percaya, tapi ntah dimana, bukan kemampuan ku untuk menembus ruang itu, aku menangis, berjalan, berharap melayang.

Sampai di tempat menyeramkan, tempat aku tumbuh besar, Tuhan menampakkan kesedihan yang membuat hatiku paling sakit, aku tidak merasakan arti cinta pertama anak perempuan adalah laki laki yang menemani dan mengajak bermain gadisnya sewaktu kecil, ayah bukan cinta pertama ku, kurasa begitu.

"ASAHYY!!, DARI MANA SAJA KAMU!?," Dia terbangun dari duduknya  berjalan gontai ke arah ku, terlihat hancur, "IBU PERGI, HARUSNYA KAMU DIRUMAH JANGAN BIARKAN DIA PERGI!!!" Tangan kasar itu memegang bahuku erat sekali, dia ingin aku ikut hancur juga, aku menatap wajahnya yang marah dengan rasa sakit, teringat ibu, air mataku keluar menggumpal dikelopak, kemudian kupalingkan ke arah lain, bersembunyi menunduk, terlihat kaki ku yang tanpa alas, juga ujung dress putih yang kupakai kotor dengan tanah, lalu melirik ke lantai yang berserakan pecahan piring. Aku tahu itu ulahnya.

Hatiku menangis

°°°
"Sahy, duluan ke kantin ya."

"Oke li" teman sebangku ku masih sama seperti awal aku bersekolah di saat kelas tujuh, Liya namanya, kelas ku memang tidak diubah karena tidak ada yang pindah atau keluar karena hal-hal lain.

Aku tidak pernah mengenal Liya jauh, hanya sebatas teman yang tahu nama dan tahu makanan favorit nya dikantin, hanya sebatas itu.

Mereka, teman sekelas berpikir bawa aku dan Liya satu spesies dan cocok, padahal tidak, Liya memang pendiam dan suka menyendiri.

°°°

Setelah jam istirahat akan berakhir, mungkin dalam sepuluh menit lagi, aku keluar dari kelas untuk ke kantin yang sudah tidak ramai, membeli satu botol air.

"Ashahy, gue minta pin BBM kamu waktu itu, sekarang bisa kasih?" Makhluk satu ini selalu ada dimana saja

"Ngga bisa"

"Hah, kenapa?"

"Harusnya ngga usah dijawab ya?!" Nadaku sedikit emosi, kenapa dia tidak bisa simple

'Iya iya ngga nanya lagi"

"Jangan marah ya sahy"

"Sahy..., Jangn marah nanti tambah cantik, nanti aku tambah suka, tambah kamu merasa keganggu, ngga mau kan?" Aku menarik nafas sambil menutup mata menahan rasa kesal, dia memegang tanganku, digerakkan dengan dua tangannya seperti anak merengek pada ibunya

"Sahy jangan maraaah, sahiyang" refleks ku melirik mendengar kata itu

"Iya, lepasin"

"Oke, dah belajar yang semangat"

Dia melakukan hal memalukan tadi dari kantin sampai depan kelas, dimana aku harus tidak kesal, semua memperhatikanku kerena ulahnya. Radika pernah sangat menyebalkan waktu itu ketika dia memberi tahu pada kawan ekskul paskibranya bahwa aku wanita tercantik katanya, ketika aku jalan di pinggir lapangan untuk ke kamar mandi, mereka sedang istirahat dari latihan paskibra.

Aku tidak nyaman ketika banyak mata memperhatikanku, ketika guyonan atau siulan menjijikan membuat ku takut dan kadang membuat ku membenci dan berpikir mereka semua sama.
Yang aku usahakan ketika itu terjadi, aku menaruh nama Hanan dikepala, bahwa ada dari sekelompok mereka yang bisa menghilangkan pikiran buruk itu, bahwa dia bisa kupercaya menjagaku,

Tapi dia hilang,

Lalu siapa?

Siapa yang ...

KERINGG!!! KRINNG..!!! KRINNGG...!!!

Bel nya berbunyi, semua bersemangat pulang, senangnya terlihat seperti dapat lotre, tadi ku perhatikan wajahnya bengong lesu mendengarkan materi matematika, aku tersenyum, tadi aku juga bengong, tapi lalu merasa sedikit kesal, kenapa Hanan masih bisa mengisi bengongku.

°°°

Lorong sekolah ramai aku keluar gerbang sekolah, panas nya sangat terik, warung es penuh sampai Abang penjual nya tidak terlihat, padahal aku mau susu coklat blender, kepingin punya sayap juga.

Aku kemana ya, pulang kemana ya

Helaan nafas aku lakukan, aku akan mencari angkutan umum dan menyebrang untuk pulang.

Saat aku berjalan "Ashahy" Itu Radika, aku pura-pura tidak dengar, memang dia tidak berteriak jadi terdengar kecil.

"Ashahy" ku biarkan, gerak kakinya kupercepat, dia mengikuti aku.

"Ashahy!"

"Warna gelap!!"

Langkahku berhenti, kenapa dia tahu itu, dari mana?. Hanan, cuma Hanan yang tahu itu, hatiku, hatiku aneh, berdebar dan takut. Rasanya tidak mungkin dia, Tapi Radika juga tidak mungkin memanggil ku dengan nama itu, Hanan, apa Hanan

Aku berbalik, terlihat semuanya, hatiku semakin tidak karuan aku merasa semua perasaan di dalamnya Sangat buat berdebar

Aku berlari memeluk bagian kebahagiaan ku yang lama hilang, kini kembali, aku tidak mengingat surat sialan atau tangisan malam dan pagi  yang ku lakukan, aku merasa terisi, sedih yang dirasa, tertutup dengan aku yang akhirnya tersenyum sempurna.
Semuanya terasa kembali baik, sangat baik.

Hanan aku tahu bedanya aku ada kamu dan aku tanpamu.

"Kenapa kamu masih suka dipanggil warna gelap?"

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang