"Mampir bentar yah" Yedam menepikan motornya di tepi jalan yang cukup sepi. Tidak ada rumah penduduk di sana. Hanya tanah lapang yang di tumbuhi rerumputan pendek.
"Lo nggak takut kan?" Cowok jangkung itu menoleh menatap Kanaya yang mengekor di belakangnya.
Kanaya menggeleng dengan ekspresi wajah yang bingung "Takut akan apa?"
"Takut karena gue ngajak lo ke tempat kayak gini" Yedam menunjuk padang Savana yang sepi dan yang ada hanya mereka berdua. Sekali lagi Kanaya menggeleng dan tersenyum.
"Naya percaya sama kakak" ucap gadis berponi rata itu membuat Yedam tersenyum.
Mereka berjalan menyusuri padang rumput yang tampak menguning hingga mereka berhenti pada satu-satunya pohon besar yang ada di sana.
"Pemandangannya bagus ya kak"
"Hmmm gue baru tau kalau di kota ini masih ada tempat yang setenang ini"
"Kakak nggak pernah datang ke sini"
"Pertama kali"
"Naya pikir kakak udah biasa"
Yedam menggeleng "Lo kenapa nggak pindah sekolah aja?"
Kanaya refleks menoleh menatap Yedam yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya. Kanaya ikut duduk di sebelah Yedam yang bersandar di batang pohon.
"Aku nggak punya pilihan kak"
"Maksudnya?"
"Aku cuma bisa sekolah di sana. Biaya sekolah yang lain Naya nggak mampu bayar"
Yedam manggut-manggut mendengar alasan Kanaya " Sejak kapan lo di bully kayak gitu?"
"Sejak awal masuk sekolah. Katanya Naya suka ganjen sama cowok di sekolah."
"Harusnya lo lawan. Jangan diam aja"
Kanaya tersenyum kecil mendengar ucapan Yedam. "Cewek yang kamu marahin tadi, itu anak yang punya sekolah kak. Mana bisa Aku lawan"
Yedam tertawa sumbang "Selain berlindung di balik kata cewek, dia berlindung di ketek ayahnya juga."
"Tapi makasih yah. Udah nolongin"
Yedam refleks mengacak puncak kepala Kanaya "Santai aja. Mulai sekarang mereka nggak ada yang boleh gangguin lo apalagi ngerendahin lo kayak tadi"
Kanaya hanya tersenyum mendengar ucapan Yedam. Cewek itu mengambil tangan Yedam yang masih mengacak puncak kepalanya. "Kak kamu itu orang seperti apa sih?"
Pertanyaan Kanaya membuat Yedam tersentak. Debaran di dadanya bergemuruh hebat ketika cewek di hadapan menggenggam erat tangannya.
"Gue bingung Nay" jawaban Yedam membuat Kanaya mengerutkan kening seolah bertanya maksud dari perkataan cowok di hadapannya.
"Yah gue bingung sama pertanyaan lo. Karena Guee...gue juga nggak kenal diri gue sendiri"
Kali ini Yedam menghadap sepenuhnya pada Kanaya dan membalas genggaman gadis itu. "Lo lihat lebam di wajah gue?" Tanya Yedam yang membuat Kanaya mengangguk.
"Itu bogeman dari bokap karena gue kabur dari rumah" terlihat Yedam tersenyum miris pada dirinya sendiri "Keluarga gue hancur Nay. Jauh sebelum gue tinggalin rumah. Abang gue lebih dulu pergi dari rumah. Itu karena kita nggak tahan sama sifat buruk bokap"
Kanaya mengelus tangan Yedam yang ada dalam genggamannya untuk membuat cowok itu lebih tenang.
"Kadang gue mikir kalau gue nggak pantas untuk siapa pun. Keluarga gue aja nganggap gue sampah Nay...Na...Naya" Yedam tersentak saat Kanaya tiba-tiba memeluknya erat. Jantung Yedam mendadak berdetak begitu cepat hingga tangannya terangkat membalas pelukan Kanaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayo?
Teen FictionKenapa? Seandainya gue bisa di beri pilihan mau di lahirkan di keluarga yang mana. Gue pasti pilih lahir di keluarga yang paling punya kemungkinan agar kita bisa sama-sama. Bukan seperti ini hal yang kumungkinkan jadi mustahil karena latar belakang...