Seorang anak lelaki dengan rambut menutupi matanya tengah berjalan sempoyongan menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari perempatan tempat ia meninggalkan motornya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suasana kafe sudah begitu sepi. Bahkan pelayan disana sudah bersiap-siap untuk pulang.
Pemuda itu tidak peduli, ia ke tempat ini bukan untuk makan atau minum namun untuk melarikan diri dan ingin menyendiri. Tidak peduli pelayan disana akan mengusirnya nanti.
"Maaf Kak. Kafe ini sudah mau tutup" ucap seorang gadis yang menghampirinya dengan takut-takut.
Cowok itu tak menanggapi. Ia meletakkan kepalanya diatas meja yang terasa begitu dingin. Dengan samar-samar ia masih bisa melihat seorang gadis berponi rata dengan pipi cabi tengah berdiri dihadapannya sedang menatapnya.
"Kak.....kafe ini sudah mau tutup. Kakak jangan di sini" belum menyerah. Dengan melawan rasa takut cewek itu masih berusaha memberitahu cowok dihadapannya.
"Gue nggak tau mau pulang dimana? Jangan dekat-dekat gue nanti lo dapat sial. Kalau lo mau pulang tinggal pulang aja nggak usah di sini" ucap cowok itu dengan setengah sadar.
Pengaruh alkohol sudah mengurangi tingkat kesadarannya."Aku nggak bisa pulang kalau kakak masih disini. Soalnya Aku nggak bisa nutup kafenya kalau masih ada pengunjung"
Cowok itu berdecak "Gue nggak bakal nyuri apa-apa"
"Kak baru hari ini Aku masuk kerja masa udah teledor ngebiarin orang lain nginap di sini" Cewek itu terlihat sudah hampir menangis.
"Gue cape dan gue nggak tau mau kemana. Ini satu-satunya tempat yang bisa nampung gue setidaknya untuk malam ini"
"Tapi....."
Suara kursi digeser membuat cewek itu menghentikan ucapannya. Cowok dihadapanya berusaha berdiri dengan tangan kanan yang memijit pelipisnya sedangkan tangan kanannya bertumpu di kursi di hadapannya.
"Ya udah gue pergi kalau gue nggak boleh di sini. Emang dunia ini nggak menginginkan gue ada di mana-mana" cowok itu berusaha melangkah dengan tubuh yang sempoyongan. Wajah putus asa dan senyum menyedihkan tercetak jelas di wajahnya.
"Di manapun gue berada. Gue nggak pernah di inginkan" ucap owok itu sebelum terjerembab jatuh kelantai yang dingin karena tidak sanggup menahan tubuhnya sendiri.
Alkohol benar-benar sudah mengambil alih semua kesadarannya.
Dengan melawan rasa takut cewek dengan pipi cabi itu berusaha mendekat dan berjongkok di sebelah cowok itu.
"Aku harus ngapain?" Tanyanya sambil menyentuh dahi cowok itu yang terasa hangat.
Dengan susah payah cewek itu mengangkat tubuh cowok bertubuh jangkung itu dan menyeretnya hingga ke sofa yang ada di sudut ruangan. Tubuh si cewek yang terbilang mungil dan tubuh si cowok yang jangkung tentu bukan hal mudah untuk membawanya apalagi si cowok sedang tidak sadarkan diri.
"Gue benci sama semua orang"
"Gue benci diri gue sendiri"
"Gue benci papah"
"Pembunuh"
"Diktator"
"Bejat"
Kalimat demi kalimat dikeluarkan cowok itu sepanjang malam. Dalam tidurnya ia selalu mengingau dan mengucapkan beberapa kata secara berulang-ulang dengan suhu badan yang semakin menghangat. Membuatnya terlihat begitu tersiksa.
***
Cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela jendela kafetaria membuat cowok yang tengah berbaring di sofa dengan handuk kecil diatas kepalanya yang sudah mengering itu membuka matanya.
Mengernyit saat merasakan kepalanya begitu pening. Refleks ia memijit pelipisnya. Mengumpulkan seluruh kesadarannya sembari melihat-lihat sekitarnya.
Ia berada di sebuah kafe modern dengan interior yang begitu aesteutik. Namun bukan itu yang menarik perhatiannya melainkan seorang gadis yang sedang duduk di kursi tidak jauh dari sofa tempatnya berbaring.
Cewek itu menumpukam kepalanya di atas lipatan tangannya yang ia letakkan diatas meja.
"Kenapa lo nolongin gue?" Gumam cowok itu . Mengambil handuk kecil yang ada di atas dahinya dan membuka sweater pink yang menutupi setengah tubuhnya.
Ia berjalan di meja kasir dan mengambil polpen dan secarik kertas disana. Menulis beberapa kata dan meletakkannya diatas sweater yang sudah ia lipat.
Setelahnya cowok itu keluar dari kafe tanpa membangunkan si cewek.
***
"Kanaya"
"Kanaya bangun. Kafe udah mau buka"
"KANAYA...BANGUN"
Sontak Kanaya mengangkat kepalanya dengan mata yang mengerjab kaget
"Kak Ekiii" ucap Kanaya sambil memegang pelipisnya.
"Kenapa tidur di sini?"
Kanaya langsung mengingat kejadian semalam dimana ia mengompres kepala seorang cowok yang sedang mabok berat dengan suhu tubuh yang tinggi. Tanpa menjawab pertanyaan Eki. Kanaya malah menoleh ke sofa tempat cowok itu semalam berbaring.
"Dia udah pergi. Syurkurlah"
Kanaya menghembuskan nafas lega.
"Kenapa Kanaya? Jangan ngelamun masih pagi"
Kanaya lagi-lagi tidak menanggapi. Ia masih mengumpulkan seluruh kesadarannya.
"Itu jaket siapa?" Tanya Eki lagi membuat Kanaya tersadar bahwa ada jaket jeans yang tersampir di bahunya.
"Punya Aku" jawabnya membuat Eki mengerutkan kening
"Bukannya kemarin kamu pake sweater pink?"
"Aku bawa dua. Sengaja soalnya dingin" jawab Kanaya cepat membuat Eki manggut-manggut terlihat percaya.
"Terus kenapa kamu nginap di kafe. Sendirian?"
"Nggak sengaja" kali ini Eki membulatkan matanya tidak percaya dengan jawaban Kanaya.
"Maksud Aku...mungkin karena baru kerja jadi Aku kecapean terus ketiduran" alibinya lagi.
Eki berdecak "Jangan di biasain. Bahaya tau"
"Siap kak" ucap Kanaya sambil hormat. Eki geleng-geleng kepala melihat tingkah Kanaya
"Yaudah pulang gih. Mau sekolah kan?"
Kanaya refleks memukul jidatnya. Cewek itu lupa kalau ia harus masuk sekolah.
"Hati-hati pulangnya" ucap Eki sebelum meninggalkan Kanaya dan pergi bersiap-siap untuk bekerja.
Kanaya berjalan ke arah sofa hendak mengambil sweaternya. Ia mendapati robekan kertas diatas lipatan sweaternya
"Thanks untuk tumpangan, handuk, dan air hangatnya. Semoga kita bisa ketemu lagi dalam situasi yang baik"
Yedam:)
***
Holaaa....bagaimana dengan cerita ini.?
Beberapa orang dalam cerita ini juga pernah muncul di cerita Pelangi dan ceritanya Warning yah.
Huhu semoga kalian suka dengan semua cerita-ceritaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayo?
Teen FictionKenapa? Seandainya gue bisa di beri pilihan mau di lahirkan di keluarga yang mana. Gue pasti pilih lahir di keluarga yang paling punya kemungkinan agar kita bisa sama-sama. Bukan seperti ini hal yang kumungkinkan jadi mustahil karena latar belakang...