Alisia Febrina, gadis yang baru saja diantar pulang oleh Andre ketika malam telah beranjak larut, ditemani oleh embusan angin yang kian menusuk kerasnya tulang–tulang. Gadis berambut kucir kuda itu sama sekali tak dapat menyembunyikan raut bahagianya. Tiada henti bibir tipisnya menyunggingkan bulan sabit yang begitu menawan. Bagaimana tidak? Meskipun ini bukan kali perdana Alisia diajak jalan oleh Andre, tetapi saat–saat seperti inilah yang selalu ia harapkan. Menghabiskan waktu berdua dengan seorang murid baru yang merupakan penyabet gelar siswa terpopuler di sekolah adalah sesuatu yang amat mengesankan, seolah mukjizat bagi siswi biasa seperti Alisia.
“Hai, Daf!!” seru Alisia pada seseorang yang berada di balik layar handphone sembari menempatkan diri terduduk di atas empuknya kasur bermotif bebungaan. Lagi dan lagi senyuman itu masih betah menempel di kedua bibir mungilnya.
“Baru pulang? Gimana tadi? Seru?”
“Serulah! Aku bisa ngobrol banyak sama dia. Terus, dia juga traktir aku, beli ini, beli itu, ajak aku jalan–jalan.”
“Aku rasa, dia bukan laki-laki yang baik deh, Al. Harusnya, dia bisa jagain kamu, bukan justru bawa kamu ke hal yang nggak baik.”
“Maksud kamu?”
“Kamu, ‘kan perempuan, nggak baik pulang selarut ini. Kalau emang dia laki-laki yang baik, harusnya dia bisa anterin kamu pulang lebih awal.”
“Daf, orang tua aku tuh lagi di luar kota. Jadi nggak akan ada yang marah.”
“Bukan masalah itu ....”
“Udah deh! Daffa, jangan rusak kebahagiaan aku hari ini! Please!”
“Ok! Terserah kamu, yang penting aku udah omongin kamu. Oh iya, video yang kemarin, udah ditonton?”
Alisia terdiam beberapa detik, memaksa ingatannya untuk bekerja sedikit keras, mengingat sebuah kepingan CD yang dikirimkan Daffa beberapa hari yang lalu.
“Oh ... itu? Astaga!!!! Aku lupa!!! Sorry! Akhir-akhir ini aku lagi sibuk, banyak tugas yang numpuk.”
“Sibuk sama tugas sekolah atau sibuk sama Andre?”
“Jangan mulai lagi deh! Janji besok bakalan nonton!”
“Ya udah, sekarang kamu tidur gih! Jangan begadang! Besok, ‘kan harus sekolah. Aku mattin, ya! Good night.”
“Good night too.”
***
Hari–hari berikutnya, semua terasa berwarna. Kuncup bebungaan di hati Alisia semakin bermekaran. Mungkin keinginannya untuk bertahta di singgasana milik Andre akan segera terwujud. Ia sangat optimis sekali. Kian hari, hubungan mereka semakin dekat, sedekat nadi.
“Man, besok Andre ngajak aku dinner. Katanya, mau ada yang diomongin,” ujar Alisia pada sosok yang kini duduk di bangku sebelahnya. Amanda Pratiwi, seorang gadis berambut panjang yang saat ini menjabat sebagai sahabat dekat Alisia sejak dua tahun silam, ketika mereka sama–sama memasuki dunia abu–abu.
“Serius?” tanyanya memastikan. Alisia mengangguk antusias. “Hmmm ... kamu, ‘kan akhir–akhir ini sering banget jalan sama Andre, pulang sampai larut malam, ‘kan? Kamu juga harus ingat, kamu perlu istirahat. Menurut aku, kayaknya besok kamu free aja dulu, deh! Kamu juga perlu ingat, lusa kita ada ulangan loh!” Alisia mengangguk–angguk pelan.
***
Alisia mengambil langkah, perlahan meninggalkan bingkai pintu toilet selesai bel tanda istirahat berbunyi beberapa waktu yang lalu. Sesekali ia meliarkan pandangannya, menyaksikan siswa–siswi yang berhamburan ke tempat tujuannya masing–masing. Hingga akhirnya, tatapannya fokus pada satu hal. Langkahnya seketika memelan. Dengan sigap, ia berlindung di balik pohon yang berukuran cukup besar. Dua remaja berbalut putih abu–abu tampak tengah terlibat suatu perdebatan.
“Kamu ngapain ngajakin Alisia dinner juga? Mau ngancurin persahabatan aku?”
“Aku capek sandiwara terus, Man, pura-pura suka sama Alisia. Aku udah lakuin semua yang kamu minta, deketin dia, jalan sama dia. Aku itu sukanya sama kamu, bukan Alisia. Aku pengen semua orang tahu kalau kamu itu pacar aku. Mau sampai kapan kita kayak gini?”
Alisia sangat terkejut menangkap pernyataan itu. Yang ia tahu, selama Manda selalu mendukungnya, membantunya untuk bisa dekat dengan Andre. Nama Amanda Pratiwi yang terbilang lumayan populer, membuatnya cukup mudah untuk bisa mengenal sosok Andre. Berbeda dengan Alisia. Gadis yang akrab dengan buku itu sangat susah untuk memulai perkenalan dengan sosok yang baru.
“Tega ya kamu, Man?” Alisia memutuskan keluar dari persembunyiannya, tentu saja dengan pipi yang telah dibanjiri oleh bulir air mata.
“Al?” lirih Manda.
“Aku salah apa sama kamu? Aku udah anggap kamu kayak saudari aku sendiri. Aku percaya sama kamu. Tapi ternyata aku salah. Kamu udah bikin aku kecewa. Aku benci sama kamu, Man!” Alisia melangkah pergi, meninggalkan dua insan yang merupakan sepasang pelaku asmara tersebut.
***
Menangis, itulah yang hanya bisa dilakukan oleh Alisia selama sehari penuh. Tak ada yang lain. Ia benar–benar terpuruk. Bahkan, rasanya kurungan diri pun belum juga cukup untuk meredakan sendunya. Ia tak ingin bertemu siapa pun, kecuali ... satu nama.
Diraihnya handphone itu dengan cepat dari atas meja belajar. Ia terus menggulir ke bawah layar ponsel pintarnya itu. Anita. Bunga. Caca. Chicko. Hingga akhirnya, pencariannya berakhir. Daffa.
Satu kali, dua kali, bahkan hingga sepuluh kali simbol telepon telah ia tekan. Namun, itu sia–sia. Chat yang dilayangkan pun sama sekali tidak dibalas, bahkan masih berstatus centang satu abu–abu. Ke mana dia?
Kamu ke mana sih, Daf? Kenapa kamu nggak ada saat aku butuh kamu? Alisia benar–benar putus asa. Tiba–tiba, kakinya beranjak, teringat sesuatu yang belum sempat ia tonton.
Jejeran kaset CD milik Alisia sudah tak beraturan letak–letaknya. Kedua tangannya begitu kasar memberantakkan kaset–kaset tersebut. Hingga pilihannya jatuh pada sebuah kaset yang masih berbalut box bening.
“Sebelumnya, aku mau cerita bentar. Lagu ini emang bukan aku yang nyiptain, tapi aku pengen nyanyiin khusus buat seseorang yang spesial. Orang yang udah nemenin aku selama dua tahun belakangan ini. Orang yang udah buat kepalaku hampir pecah, karena pikiranku hanya untuk dia, My Sunshine, Alisia Febrina,” ucap lelaki yang tampak terduduk dengan sebuah gitar di tangannya. Ia begitu manis dan rapi dengan kemeja panjangnya. Bagaimana mungkin Alisia tak menyadarinya selama ini? Lelaki dari Bandung yang selama ini hanya ia kenal melalui daring, rupanya memiliki perasaan yang lebih terhadapnya. Ia begitu bodoh. Matanya dibutakan oleh Andre.
Jari–jemari Daffa mulai bekerja, memetik senar demi senar yang tertaut pada gitarnya, menyanyikan lirik–lirik lagu dari Can’t Take My Eyes off You. Alisia begitu terpana melihatnya.
***
Menjelang kelulusan, sosialisasi–sosialisasi perguruan tinggi sering diadakan. Tujuannya agar siswa dan siswi dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi jenjang pendidikan berikutnya. Tak terkecuali Alisia, yang kini memilih tak lagi sebangku dengan siswi yang dulu pernah ia anggap sebagai sahabat. Ia berbenah diri, merapikan meja belajarnya yang terletak di urutan nomor tiga dari depan.
Beberapa orang dengan almamater mulai memasuki ruang kelas, menyapa siswa–siswi dengan hangat nan ramah. Tiba–tiba, netra Alisia dikejutkan oleh seorang mahasiswa yang melangkah paling terakhir melewati bingkai pintu. Pun dengan mahasiswa tersebut. Daffa.
Sosialisasi berakhir, hampir bersamaan dengan dibunyikan bel tanda telah berakhirnya kegiatan belajar di sekolah. Sebelum melangkah keluar menyusul teman–temannya, lelaki itu sempat mendekati Alisia, kemudian membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Aku tunggu di cafe depan sekolah.”
***
Sampai. Alisia sampai di cafe depan sekolah, memenuhi janji bersama lelaki beralmamater tersebut. Didapatinya lelaki itu tengah menaruh almamaternya di sebuah sandaran kursi setibanya Alisia di sana, menyisakan sebuah kemeja yang ia kenakan.
“Kamu ke mana aja? Nggak ngasih kabar.”
“Hp ketinggalan di Bandung.”
“Bisa pinjam, ‘kan?”
“Sibuk, banyak tugas, sosialisasi sana–sini.”
“Emang dasar cowok! Seneng banget bikin cewek khawatir.” Daffa tersenyum.
“Gimana? Ada apa selama nggak ada aku?”
“Andre sama Manda udah bikin aku kecewa. Mereka punya hubungan di belakang aku. Aku menyesal nggak dengerin omongan kamu. Maafin aku, ya! Mungkin kalau aku lebih dulu nonton video itu, aku nggak akan jatuh ke Andre,” pungkas Alisia.
“Kamu sih ngeyel. Aku suka kamu dari dulu, Al, tapi baru sekarang aku berani ungkapin langsung ke kamu.”
“Aku mau jadi pacar kamu. Aku mau hubungan kita lebih dari sekadar sahabat online.” Daffa tersenyum amat manis, menimbulkan lekuk di pipinya.
TAMAT ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumcer: Random Love
Teen FictionIni merupakan kumpulan cerita pendek bergenre romance karya R.E. Jasmin. Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan jejak:-)