BAB 6 - Membakar Memori

854 122 52
                                    

Mei 2003. Saat itu belum malam, namun langit sudah terlihat gelap mendung ketika orang-orang berbaju hitam berjalan masuk ke dalam sebuah gedung yang sederhana dan terasa dingin. Beberapa diantaranya membawa sekuntum bunga krisan putih yang cantik. Tidak ada satupun dari mereka yang tersenyum.

Di dalam sebuah ruangan yang remang, seorang anak kecil duduk berlutut, mungkin sudah hampir dua jam lamanya. Perasaan takut dan dingin membekukannya. Orang-orang dewasa di sekitarnya menghampirinya dan memberinya banyak pesan, yang entah mengapa justru membebaninya. Akan lebih baik jika mereka pergi saja dan tidak menghiraukannya daripada menghampirinya sambil berbisik...

"Kau harus kuat."

Terkadang ada juga yang bergumam dari jauh, namun meski ia tidak mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang berbicara, ia bisa mendengar ucapan-ucapan tersebut dengan jelas;

"Kasihan sekali anak laki-laki ini..."

"Ia masih terlalu muda..."

"Kau harus tumbuh dan menjaga ibumu, kelak..."

Ucapan-ucapan tersebut mengguncangkan hatinya dan membuatnya diam membatu di dekat sebuah foto yang dihiasi lilin dan bunga putih yang cukup banyak, mungkin seratus bunga banyaknya? Ia tidak menghitungnya. Pikirannya justru bertanya-tanya, mengapa orang-orang ini harus memberi bunga ketika sosok di foto tersebut sudah tidak ada? Mengapa mereka tidak memberinya bunga jauh sebelum hari ini terjadi? Atau setidaknya hadir jauh-jauh hari sebelumnya. 'Ayahku sudah tidak bisa melihat atau mendengar kalian,' itulah isi hatinya.

Sepasang mata yang berkilau hitam mengamati tak berkedip ketika orang-orang di depannya berlalu lalang dan memberi setangkai bunga di depan foto ayahnya yang sudah tiada. Ia tidak menangis. Membuat orang-orang yang hadir di sana bertanya-tanya, apakah anak laki-laki ini baik-baik saja?

Bisikan-bisikan di ruangan tersebut membuatnya takut. Bisikan orang-orang dewasa yang bisa didengarnya dengan jelas, mengapa ia tidak menangis, apakah ia mati rasa, apakah ia baik-baik saja. Semua pertanyaan tersebut membuatnya takut. Lebih-lebih, ia sendiri tidak tahu apa alasannya mengapa ia tidak menangis. Namun sungguh, ia sangat sedih sampai-sampai air matanya tidak bisa keluar. Apakah ini yang disebut mati rasa?

Di usianya yang masih kecil, pikirannya sudah berkata: tidak baik membangun harapan pada apapun dan siapapun. Sebenarnya, harapannya pada awalnya sangat sederhana. Ia berharap ayahnya akan menemaninya setidaknya melihat nilai rapotnya yang baik di tahun kedua sekolah dasarnya. Ia sungguh ingin memamerkan pencapaian kecilnya pada sosok 'superhero' yang ia banggakan, tidak lain adalah ayahnya. Begitu seterusnya hingga ia tumbuh dewasa. Ia tidak berharap ayahnya membelikannya sepeda keren seperti teman-temannya yang lain. Ia tidak masalah jika harus berjalan kaki ke sekolah yang hanya beberapa blok dari rumahnya sambil dicemooh oleh anak laki-laki lainnya dengan sepeda keren mereka. Namun harapannya yang sederhana ini sungguh sia-sia.

Ia kehilangan sosok yang menjadi pahlawan baginya, pahlawan bagi banyak orang tentunya. Ia kehilangan suara yang berteriak memanggil namanya sambil menutup pintu, melepas sepatu dan jaketnya di malam hari kemudian berseru, 'Taehyungieee, ayah pulang!". Ia kehilangan tawanya, kehilangan kehangatan nafasnya, kehilangan aroma besi atau terkadang abu yang tidak disukainya namun ia sudah terbiasa. Biasanya ia akan berlari menghampiri ayahnya dan bergurau, "Ayah sangat bau," membuat ayahnya tertawa dan bergegas mandi. Biasanya juga ibunya akan segera menyiapkan masakan untuk ayahnya selagi mandi. Masakan sederhana yang bisa dimakan ketiganya bersama-sama untuk makan malam. Terkadang ayahnya tidak pulang, atau bisa saja dengan terburu-buru berangkat bekerja saat bulan masih berjaga. Namun sekarang, semua hal tersebut akan mulai berubah menjadi memori semu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Guess WhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang