04.

536 134 0
                                    

Kupikir, setahun tanpa hadirnya Johnny membuat hangat cinta yang mengisi hari perlahan dingin dan memudar. Rupanya itu adalah angan anak kecil yang belum tidur siang. Nyatanya hatiku masih terpaut, masih mencinta dalam diam dan tetap mengagumi dari jauh.

Kupikir, setelah Johnny menyebut namaku tempo hari aku akan menjadi lebih berani. Nyatanya, aku masih sama pengecutnya seperti pada saat pertama kali. Aku tidak berani mengikuti halaman sosial medianya dengan nama asli. Sengaja ku palsukan identitas diri hanya untuk sesekali mengetahui kabar yang dipuja. Namun, yang dipuja bukanlah mereka yang mabuk oleh arena persombongan duniawi, tidak banyak kisah yang ia bagi. Hanya sesekali membagikan gambar bunga matahari.

Bahkan, tempat membagi ilmunya juga enggan untuk ia publikasi.

Aku baru menyadari jika dia sama tertutupnya denganku.

Ah, bagaimana kisah ini bisa berlanjut ketika satu sama lain tidak ada yang cukup tahu untuk memulai langkah pertama? Aku tertawa kecil. Mungkin memang kisahku dengannya hanya ditakdirkan menjadi pengisi masa remaja.

.

.

Memulai masa remaja akhir dengan diterima oleh universitas dan jurusan yang kuingini mungkin menjadi keberuntungan besar setelah kisah cintaku yang sial. Namun tampaknya aku terlalu cepat mengumbar kata, tanpa sengaja aku bertumbuk dengan jangkung tubuh yang membawa gitar di bahu.

Tubuh kecilku sedikit tersentak, sempat aku tidak seimbang membawa diri jika saja si jangkung segera menangkap tubuh dan membuatku selamat dari cumbuan lantai marmer kampus. Aku mendongak, lantas hampir mengucapkan terima kasih jika saja tenggorokanku tidak tercekat terlebih dahulu.

Mataku melebar, kenapa dunia ini begitu lucu?

Ah, sepertinya aku akan kembali menulis buku harianku.

Kisah ini masih bersambung.

from me to you | johntenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang