Nagano Prefecture, Japan
9.15 amMatahari bersinar lembut pagi ini. Awan tipis menyerupai kapas terlihat menggantung di langit biru yang cerah. Angin berhembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambutku yang tidak terikat dengan rapi. Aku berhenti tepat di depan jalanan besar saat lampu penyeberangan menunjukkan tanda berhenti untuk para pejalan kaki.
Melirik jam yang ada di pergelangan tangan, membuat rasa gelisah semakin menyelimuti perasaanku. 3 menit lagi perlombaan akan dimulai dan aku masih berada di luar gedung.
Aku terus melihat lampu penyeberangan jalan sambil mengetuk-ngetukkan sepatu ke aspal. Satu menit berlalu akhirnya warna hijau muncul di lampu itu. Aku langsung berjalan dengan tergesa sambil terus melihat jam. Semoga aku tidak terlambat.
🎵🎵🎵
Lambaian tangan Kazue menyelamatkanku dari kebingungan saat aku baru menapakkan kaki di dalam auditorium. Aku mengangguk dan segera berjalan cepat ke arahnya lalu tersenyum tipis begitu duduk di sebelah gadis tomboi itu.
"Aku tidak terlambat kan? Apa Chizu-chan sudah tampil?" tanyaku panik. Kazue menggeleng pelan lalu tersenyum seraya berkata, "Chizu mendapat urutan nomor 5, dan kau baru saja melewatkan penampilan dari peserta nomor 4 sekarang."
Aku mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan punggung dengan perasaan lega. Kazue yang melihat ekspresiku langsung tertawa kecil. "Kau sepertinya tidak bersemangat, Riri. Apa kau hampir lupa dengan perlombaan ini?"
"Tentu saja tidak!" bantahku yang membuat beberapa pasang mata langsung menatap ke arah bangkuku. Kazue menahan tawanya sambil memegangi perut. Aku hanya meringis pelan lalu merutuki diriku sendiri.
"Maaf-maaf. Wajahmu sangat lucu tadi, aku jadi tidak bisa menahan tawaku," ucap Kazue sambil menepuk-nepuk bahuku dengan sisa tawanya.
Aku menatap sebal ke arahnya. "Aku tidak mungkin melupakan perlombaan ini. Chizu-chan sudah berusaha sangat keras untuk bisa tampil di sini bukan? Aku tidak boleh melewatkannya begitu saja."
Kazue mengangguk-angguk setuju. "Kau benar. Semoga saja dia lolos di babak ini. Aku tidak sanggup mendengar ocehannya lagi setelah pulang dari sini, apalagi....."
Aku menatap lurus ke arah panggung dan mengabaikan Kazue yang terus berbicara. Piano berwarna hitam yang tersorot lampu lebih menarik untukku. Terlihat mengkilap dan menawan di tengah panggung.
"Hei, sebentar lagi giliran Chizu. Bertepuk tanganlah yang kencang saat dia sudah berada di atas panggung. Aku yakin dia pasti bisa melihatmu dari sana," titah Kazue. Aku mengerjap lalu segera menganggukan kepala.
Pasti. Aku pasti akan memberikan tepuk tangan paling kencang untuk Chizu!
Tidak butuh waktu lama, tepuk tangan riuh langsung terdengar saat Chizu dan pianis pendampingnya naik ke atas panggung. Keduanya terlihat sangat cantik dan manis.
Chizu mengenakan gaun putih selutut dengan rambut cokelat ikalnya yang digerai indah sepunggung. Sementara sang pianis mengenakan gaun selutut berwarna biru muda dengan rambut hitam lurus sebahu dan poni yang menutup dahi.
Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil terus bertepuk tangan dengan keras. Chizu melihat ke arahku lalu tersenyum dengan lebar.
Berjuanglah!
"Ne, Riri. Apa kau masih mengingatku?"
Seluruh tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Tanganku langsung turun lalu menggenggam erat baju sampai buku jariku memutih. Ruangan terasa dingin namun entah kenapa keringat mengalir di pelipisku. Napasku menderu tidak teratur sampai kedua bahuku naik turun. Udara terasa menipis, aku merasa sesak. Pandanganku memburam.
"Riri!"
Aku mengerjap saat tepukan yang lumayan keras mendarat di punggung. Setetes air mata berhasil lolos keluar tanpa aku sadari.
"Apa kau baik-baik saja?"
"E-eh?"
"Kenapa kau menangis? Wajahmu juga sangat pucat. Apa kau sedang sakit?" tanya Kazue khawatir.
Aku terdiam sebentar lalu menggeleng pelan sambil mengusap mata. "Tidak. Maaf Kazue, aku hanya teringat sesuatu tadi," ujarku sambil mencoba tersenyum, meyakinkannya yang masih menatap ragu ke arahku.
Aku tidak mengerti kenapa suara itu tiba-tiba terdengar lagi. Suara yang terdengar begitu lembut dan selalu membuat candu. Suara yang selalu ingin ku dengar.
Aku memejamkan mata sambil menghirup napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.
Kendalikan dirimu Riri. Chizu sedang berjuang di atas panggung sekarang. Kazue pun ada bersamamu di sini. Lupakan semua hal yang hanya membuat hatimu lemah dan rapuh.
Aku menarik napas dalam sekali lagi lalu mengembuskannya perlahan melalui mulut. Mataku terbuka dan langsung menatap Chizu yang terlihat menakjubkan di atas panggung.
Rambut ikal cokelatnya bergerak mengikuti gerakan tubuhnya yang lincah. Melodi yang dihasilkan dari gesekan biolanya terdengar mengalun merdu dan syahdu. Dentingan tuts piano yang mengiringi permainan biola Chizu menghasilkan perpaduan harmoni yang indah. Semua pasang mata terpaku ke atas panggung, seperti tersihir oleh permainan musik mereka.
Mata Chizu menyorot tegas saat menghentakkan tongkat pada senar biola dan menggeseknya dengan cepat, lalu terpejam begitu menariknya dengan lembut. Pianis kini terdiam, menunggu melodi biola Chizu yang terdengar menggema dan menyentuh hati.
Air mataku kembali menitik. Entah kenapa rasa rindu kembali menyergapku. Suasana ini, aroma musik ini, semua hal yang membuatku melupakannya kini kembali lagi tanpa bisa ku cegah.
Kau ada dimana?
🎵🎵🎵
"RI-CHAN!"
Aku terhuyung ke belakang saat Chizu tiba-tiba memelukku. Beruntung Kazue menahan punggungku. Jika tidak, aku pasti sudah menjadi pusat perhatian seluruh manusia di sini.
"Akhirnya kau datang! Bagaimana penampilanku tadi? Hebat kan?" tanyanya dengan mata yang berbinar-binar. Aku tersenyum lebar lalu mengangguk. "Sangat sangat sangat hebat! Kau sungguh luar biasa!"
Chizu melompat-lompat senang lalu memelukku lagi. Kazue yang melihat hanya menggeleng pelan. "Hei Chizu, tulang Riri bisa remuk kalau kau memeluknya seperti itu."
"Bilang saja kau ingin dipeluk juga. Mau ku peluk?" tanya Chizu seraya membuka kedua tangannya lebar sambil tersenyum. Kazue yang melihat violinis itu mendekat langsung bergidig dan segera melarikan diri.
"HEI TUNGGU AKU!"
Aku tertawa melihat kedua temanku yang kini sudah saling mengejar. Kazue terus mendumal dan mengucap sumpah serapah pada Chizu jika dia berhasil memeluknya. Mereka memang seperti anjing dan kucing jika sudah bertemu.
Aku menoleh ke dalam auditorium yang perlahan mulai kosong. Menyisakan ruangan sunyi dan beberapa petugas yang sudah menggenggam peralatan kebersihan. Piano besar hitam dan mengkilap masih terlihat di tengah-tengah panggung.
"Kau sangat hebat Riri!"
Ah, aku mendengarnya lagi. Telingaku masih belum terbiasa dengan suara lembut yang terasa familiar itu. Tanganku bergetar saat mengingatnya. Aku memejamkan mata, mencoba untuk meredam kembali semua keping memori yang mulai menyatu di dalam pikiran.
Sangat menyakitkan.
🎵🎵🎵
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Harmony
Fantasy"Entah bagaimana aku menyampaikannya padamu, bagaimana aku meyakinkanmu, dan menjelaskan semua hal yang selama ini tidak pernah terucap. Aku hanya bisa berharap, musik dan harmoni yang ku mainkan akan tersampaikan padamu. Mewakili semua kelu dan ras...