Suara denting piano terdengar merdu di tengah rerumputan hijau. Hembusan angin sepoi menerbangkan beberapa helai rambut hitam si pianis cilik berumur 7 tahun yang tengah menekan tuts menggunakan jemari kecilnya. Melodi mengalun lembut di telinga semua orang yang menyaksikan.
Mata bulat dan meneduhkan miliknya terpejam begitu permainan berakhir. Tepuk tangan riuh langsung terdengar dari berbagai kalangan usia yang menonton. Pertunjukkan resital bertema suasana alam sukses menjadi sorotan semua pasang mata baik yang melihat secara langsung maupun dari balik layar kaca televisi.
Pianis cilik membungkukkan tubuhnya lalu berdiri tegap kembali. Dia tersenyum sambil menatap ribuan orang yang masih bertepuk tangan. Peluh membanjiri jas putihnya, namun dia tidak peduli. Rasa letih yang dirasakannya langsung menguap. Perasaan lega sekaligus bahagia kini menyelimuti hatinya.
Namun mata bulat teduh itu seketika terpaku pada seorang gadis kecil berumur 5 tahun yang tengah memeluk bingkisan di luar pagar pembatas. Matanya terlihat berkaca-kaca dan setetes air mata langsung turun membasahi pipinya. Sangat kontras dengan senyum lebar dan seruan pujian dari para penonton lain.
Senyum lebar si pianis cilik perlahan pudar, tergantikan dengan raut khawatir sekaligus bingung. Kakinya refleks melangkah namun para petugas yang berjaga langsung menggiringnya keluar dari tempat pertunjukkan. Kepalanya terus menoleh ke belakang. Sosok gadis kecil itu perlahan terlihat memburam lalu menghilang saat dirinya masuk ke dalam tenda. Menyisakan sebuah tanda tanya besar di hatinya.
Waktu berjalan cepat tidak terasa. Cahaya jingga kemerahan kini memancar indah dibalik awan kelabu, menandakan bahwa pertunjukkan resital sudah resmi berakhir.
Si pianis cilik terlihat menyendiri bersama piano putih kesayangannya disaat semua orang sedang sibuk berkemas. Pikirannya terus mengingat seorang gadis kecil yang tiba-tiba menangis setelah dirinya selesai bermain. Beberapa pertanyaan yang tidak kunjung terjawab terus mengusik hatinya.
Suara gemeresik dari balik semak tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunan mengenai gadis kecil yang masih belum diketahui identitasnya.
Si pianis cilik turun dari kursi dan memberanikan diri untuk mendekat."Uwaaaa!!"
Gadis kecil yang baru saja dipikirkannya, tiba-tiba jatuh tersungkur di depannya. Dia mengeluh pelan sambil mengusap bokongnya yang terasa berdenyut. Bibirnya maju beberapa centi dengan pipi yang mengembung.
"K-kau? Kenapa kau muncul dari balik semak-semak?" tanya si pianis cilik.
Gadis kecil itu mendongak lalu tersenyum sangat lebar dan segera berdiri. Melupakan begitu saja rasa sakit yang sempat dirasakannya. Dia mendekat ke arah anak laki-laki itu sambil menyodorkan bingkisan yang dibawanya. "Untukmu! Kau tadi sangat hebat saat menekan tombol-tombol itu!"
Kening si pianis cilik mengernyit. "Tombol? Maksudmu tuts?"
"Tu-tut? Apa itu tu-tut?"
Anak laki-laki itu tertawa sambil mengambil bingkisan yang masih tersodor di depannya. "Tombol yang kau maksud itu namanya tuts. Tuts piano. Kemarilah, aku akan menunjukkannya padamu."
Gadis kecil itu mengangguk senang lalu membuntutinya dengan semangat. Matanya langsung berbinar saat melihat piano putih besar kini benar-benar berada di hadapannya.
"Tuts yang aku maksud adalah ini. Kalau kau menekannya, maka suara dari piano akan terdengar," ucap si pianis cilik sambil menunjuk bilah-bilah panjang berwarna putih dan hitam.
"Piano? Jadi benda besar berwarna putih ini namanya piano?"
"Iya. Apa kau baru tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Harmony
Fantasy"Entah bagaimana aku menyampaikannya padamu, bagaimana aku meyakinkanmu, dan menjelaskan semua hal yang selama ini tidak pernah terucap. Aku hanya bisa berharap, musik dan harmoni yang ku mainkan akan tersampaikan padamu. Mewakili semua kelu dan ras...