Hari berganti begitu cepat. Jantungku berdebar saat mendengar riuh rendah suara penonton yang memenuhi kursi auditorium. Sebentar lagi giliranku tampil dan aku masih belum bisa menghilangkan rasa gugupku.
"Tenanglah, aku ada bersamamu. Kau tidak perlu cemas," ucapnya sambil memegang bahuku.
Aku menghirup udara bebas lalu mengembuskannya perlahan. Baiklah, aku harus siap.
Perkataannya beberapa minggu lalu sukses membuat hatiku senang dan sakit disaat yang bersamaan. Aku tidak ingin bermain lagi, tapi aku juga ingin tahu apa alasan orang itu meninggalkanku.
"Nah, sekarang giliran kita, Riri. Kau sudah siap?"
Aku mengangguk ragu. Seorang pianis yang baru saja tampil kini sudah meninggalkan panggung. Laki-laki di sebelahku melangkah maju lalu melambaikan tangannya di udara saat semua orang terlihat kebingungan. Ribuan gelembung putih terlihat keluar dari telapak tangannya dan melayang pelan ke setiap penonton yang hadir.
Senyap. Semua penonton tidak bersuara walau seluruh pasang mata tertuju ke arah kami, begitupun Chizu dan Kazue.
"Kau tidak mungkin bermain dengan piano hitam ini. Dia hanya akan menjawabmu jika aku yang kau mainkan."
Aku termenung saat laki-laki itu menyentuh piano hitam yang lantas berubah menjadi debu dan menghilang entah kemana. Dia mendekat dan berdiri di hadapanku sambil membungkuk pelan.
"Apa aku boleh memelukmu untuk yang terakhir kali, Riri?"
"A-apa yang kau bicarakan? Kenapa harus terakhir kali? Memangnya kau bisa pergi sesuka hatimu?"
Dia tertawa kecil lalu mendekapku dengan erat. Aku balas memeluknya walau ragu. Bagaimanapun juga dia adalah piano yang sudah menemaniku sejak usiaku masih menginjak 5 tahun. Dia merupakan bagian penting dalam hidupku.
Setelah menarik diri, tubuhnya perlahan berubah menjadi gelembung dan terbentuk kembali menjadi sebuah piano putih yang terlihat cantik dan mempesona di tengah panggung.
Semua penonton kembali tersadar dan langsung bertepuk tangan begitu aku membungkukkan tubuh. Dengan sisa keberanian yang ku miliki, aku langsung duduk di kursi lalu mengembuskan napas pelan.
Denting piano terdengar saat jariku menekan tuts. Irama mengalun merdu, membuat semua penonton membisu. Mataku terpejam. Memori yang selama ini berusaha ku singkirkan perlahan mulai kembali satu persatu.
"Jangan gugup, aku akan menemanimu sampai akhir nanti!"
Aku melihatnya. Dia menarikku ke atas panggung, persis seperti yang laki-laki itu lakukan padaku beberapa menit lalu.
"Membungkuklah, aku tidak akan kemana-mana."
Jariku menekan tuts dengan cepat, emosi mulai menguasai hatiku.
"Kau sudah siap? Aku akan mendampingimu sampai akhir, Ri-chan."
Ingatan itu perlahan menghilang seperti asap yang terbawa angin, lalu muncul kembali dengan memori baru. Permainan pianoku sempat kacau saat melihat dia tergeletak di depan auditorium dengan wajah yang sangat pucat.
Memori itu terhenti dan berganti kembali dengan sosok laki-laki yang baru saja memelukku. Aku membuka mata lalu mendongak. Jariku semakin cepat menekan tuts, mataku mulai berkaca-kaca.
Aku melihat laki-laki itu. Dia tersenyum lalu berubah menjadi sosok yang selama ini aku rindukan. Matanya menatap teduh ke arahku sambil memeluk bingkisan yang berisi kue kering dan puluhan lollipop di dalamnya.
"Maafkan aku Ri-chan. Aku tidak bisa melihatmu menangis di atas panggung saat melihatku tiada. Kau sangat hebat--ah tidak, kau sangat luar biasa! Maaf karena sudah membuatmu menangis dan tersiksa."
Kumohon, jangan pergi...
"Aku lega saat tahu bahwa kau tidak sepenuhnya membenciku. Aku sangat senang."
Jangan pergi!
"Terimakasih, Aikawa Riri."
Jariku berhenti menekan tuts piano. Tepuk tangan riuh dan sorak pujian terdengar menggema di seluruh ruangan. Aku menunduk sambil terisak. Air mataku menetes mengenai bilah-bilah piano.
Dia sungguh telah pergi, membawa semua perasaan yang selama ini selalu membuatku membencinya. Piano putih milikku tidak akan berubah kembali sekalipun aku mengancamnya.
"Selamat tinggal, Hokuto."
🎵🎵🎵
Prompt :
Alat musik yang kamu mainkan sejak umur 5 tahun berubah wujud menjadi manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Harmony
Fantasy"Entah bagaimana aku menyampaikannya padamu, bagaimana aku meyakinkanmu, dan menjelaskan semua hal yang selama ini tidak pernah terucap. Aku hanya bisa berharap, musik dan harmoni yang ku mainkan akan tersampaikan padamu. Mewakili semua kelu dan ras...