Orang itu beda-beda, jadi, perlakuannya pun juga harus berbeda.
ººººº
Karena perbedaan itulah dua orang bisa saling melengkapi.
ººººº
Kicauan burung terdengan di sekitar taman sekolah. Spiza melangkahkan kakinya menuju pohon besar. Ia duduk bersandar pada batang pohon. Kedua kakinya tertekuk. Tak lupa dengan buku dan pulpen yang sengaja ia bawa. Sejenak, ia hanya membola-balikkan kertas kosong. Baru kemudian mengisinya.
13 Desember,
awal semester di tahun lampau.Satu hari penuh makna.
Waktu yang berharga, terkuras oleh untaian kepasrahan.
Satu waktu yang melibatkan lara.
Tersibak habis perkara.
Sedikit-demi sedikit menjauh.
Dan sekarang, ada dimana?Spiza menutup bukunya. Dua tahun lalu, bencana itu datang dalam satu waktu. Merenggut pusat kebahagiaannya. Spiza menenggelamkan wajahnya di atas kedua lututnya. Menangis, hari ini adalah hari yang berat baginya. Apakah sekenario Tuhan bisa dirubah? Jika iya, bolehkan aku merubahnya. Tapi itu mustahil.
Rasa sakit menikam hatinya. Menyayat secara perlahan hingga terasa ngilu. Satu orang yang masih bertahta dalam hatinya. Orang yang membuatnya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Dia yang menciptakan semua lara ini. Tiba-tiba, ia merasakan seseorang duduk di sampingnya. Spiza tak peduli. Ia tetap dalam posisinya.
"Gue tau lo sadar keberadaan gue." Ujar Leo sedelah duduk di samping Spiza. "Ngomong-ngomong, kenapa lo nangis?"
Spiza diam, lama-lama ia merasakan gerah. Ia mengangkat wajahnya, menyingkirkan rambut nakal dari wajahnya yang lepek. Kemudian menoleh pada orang yang duduk di sampingnya. "Ngapain lo?!" Tanyanya ketus.
"Nggak ada." Leo mengangkat bahu acuh. Kemudian menyodorkan rubrik yanh ia bawa. "Buat lo."
Spiza diam, tak menerima pemberian Leo. Leo sendiri menarik tangan Spiza agar menerima rubrik darinya. Setelahnya, Spiza bersuara.
"Gue pikir lo bakalan nenangin gue, dengan kasih sandaran, mungkin?" Leo menaikkan alisnya mendengan penuturan Spiza. "Dan gue udah berfikir untuk nolak lo mentah-mentah." Lanjur Spiza.
Leo tersenyum. "Orang itu bede-beda, Za. Jadi, perlakuannya pun juga harus berbeda." Entah ada dorongan apa membuat Spiza ingin bercengkrama dengan Leo. Pria di sampingnya ini hangat. Mudah mengobrol dengan topik-topik yang santai.
"Berlaku untuk?" Tanya Spiza.
"Semuanya." Jawab Leo.
"Apa yang bakal lo lakuin untuk menenangkan orang yang pemarah?" Tanya Spiza lagi. Leo menunduk. "Seperti lo, pemarah. Jadi, mungkin bisa ditenangkan dengan memberikan sesuatu yang bisa membuatnya berfikir."
"Kalau orang itu semakin marah?" Spiza. Kembali bertanya.
"Putar otak, Za. Beri dia alasan mengapa harus membuatnya berfikir," jawab Leo.
"Jadi, lo beri gue rubrik untuk berfikir?" Leo mengangguk membenarkan. "Dengan adanya rubrik, lo bisa berfikir cara menyocokkan setiap warnanya, jika menang lo akan senang. Jika gagal, lo bakal berfikir gimana cara melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
H A B L U R
Teen FictionMemperjuangkan adalah tantangan bagi laki-laki, setidaknya. Ia sadar cintanya lebih besar dibanding masalahnya. Dia adalah, Praleo. Pra yang kuat, Pra yang berbahya, Pra yang romantis, Pra yang rapuh, Pra yang ditakuti, dan Pra yang dirindukan. Tap...