Beginning

12 2 0
                                    


Mulai Altair's POV


"Dia?" tanyaku setengah tidak percaya.

Murabbiku mengangguk, "Dia memenuhi kriteriamu".

"Enggak ada yang lain?" Aku bertanya setengah mendesak.

"Ada, sih. Banyak. Cuma kalau dilihat dari sifatmu, ini paling cocok".

Aku mendecak kesal dalam hati. Kupandangi kertas CV yang dipegang murabbiku, "Apanya yang cocok?"

"Coba, deh, kenalan dulu", ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku memalingkan pandangan jengah. Aku tak mau dipaksa. Aku lebih tak mau lagi berurusan dengan dia, perempuan di dalam CV yang disarankan oleh murobbiku.

"Nope. Switch", kataku. Kali ini dengan nada tegas. Menandakan this is enough. I don't want her.

Murobbiku mengangkat alisnya, "Oke kalau itu maumu. Semoga engga nyesel, ya. Dia udah ada yang ngecim sebenernya. Tapi karena menurutku kamu lebih pantas, jadi aku kasih kamu kesempatan duluan".

"Siapa?" tanyaku. Pertanyaan itu terlontar begitu saja tanpa bisa kukendalikan.

"Ada, tapi gak pakai ta'aruf kek gini", jawab murobbiku sambil mengambil beberapa bundel CV.

Aku mengangguk paham. Dia dan sifatnya. Tidak cocok dengan ta'aruf. Sejujurnya aku sedikit kaget saat murobbiku menyerahkan CV nya. Sangat bukan dia. Ok, I knew her. With underline and bold, I knew her. Dia adik kelasku saat SMA. Kami mengikuti beberapa kompetisi bersama, kami pernah tinggal bersama karena kompetisi itu. Dan selama seminggu kebersamaan kami, aku bias menilai dengan yakin : She is definitely not my type. Period.

Ditambah dengan kehidupannya sekarang. Aku tak mengerti bagaimana cara mengatakannya. She's free. Aku tahu itu, karena kami berteman di social media. Selain itu, dia juga salah satu public figure wanita yang sukses. Memulai karir di Kementerian Pertanian setelah lulus dari IPB, mendapat beasiswa ke UK, menjadi aktivis lingkungan, lalu entah apa yang terjadi, dia membintangi sebuah film Hollywood. Ya, dan filmnya sempat menjadi Box Office di bioskop-bioskop dunia. Setelah itu, dia menjadi brand ambassador UN Woman sambil menjabat sebagai komisaris organisasi ramah lingkungannya.

Dia cukup sukses, sebenarnya. Bukan. Sangat sukses.

"Altair?" Murobbiku menyenggol lenganku.

"Ya?" tanyaku senormal mungkin, agar dia tidak menyadari kalau aku telah melewati lamunan panjang.

Murobbiku tersenyum, "Ada beberapa opsi".

Ia menyodorkan kurang lebih 10 bundel CV. Aku memperhatikan dengan seksama. Semuanya sesuai dengan tipeku. Tidak se-extraordinary perempuan itu, memang. Tapi tipeku. Tipe adalah segalanya. Aku menyodorkan salah satu CV yang kupilih ke murobbiku. CV perempuan teduh bersahaja seperti mbak-mbak iklan wardah.

"Ini," ujarku mantap.

"Okay, kalian akan mulai berkenalan minggu depan. Di rumahku", kata murabbiku akhirnya.

Aku tersenyum, lalu bersalaman dengan murobbiku. Aku harus segera menghadiri rapat. Senyumku tak kunjung kuncup sampai masuk ke dalam mobil. Aku juga mendadak ramah dengan mbak-mbak resepsionis rumah sakit di tengah langkah terburu-buruku menuju ruang rapat. Wah, ternyata efek otw menikah sangat seperti ini.

Wait, tapi kan aku belum tahu calonnya ?!

Bodo amat. Yang penting otw nih, hehe.

Ngoookhey, aku akan segera mengakhiri masa lajangku. Tidak sabar rasanya bertemu dengan ukhti wardah ini. Di CVnya tertera bahwa ia adalah seorang mahasiswa kedokteran tahap akhir, fase internship. Hafal seluruh isi Al-Quran, sangat masyaallah, dan berpenampilan syar'i. Aku mengangguk-angguk puas dengan pilihanku.

NISBITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang