Sebuah Mimpi

5 2 1
                                    

Pagi.
Sinar matahari yang menerobos kamar lewat celah ventilasi menerpa tepat wajah Dewa.
Dengan malas, Dewa mengubah posisi tidurnya membelakangi sumber cahaya, lantas mencoba untuk kembali terlelap.

Sial, meski sudah berusaha keras, namun matanya enggan untuk kembali terpejam. Rasa kantuk itu telah lenyap tak bersisa menyisakan rasa pusing yang teramat sangat. Sepertinya Dewa masih kurang tidur. Banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepala, membuatnya kesulitan tidur.

Dengan tangan kanan, Dewa mengusap wajahnya, sementara tangan kirinya meraih ponsel yang terletak di atas nakas.
Jam delapan. Pantas saja matahari terasa terik.

Dewa beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi dengan sempoyongan menahan pusing.

Baru berjalan beberapa langkah, pandangan Dewa mendadak gelap.

Bruk!

Dewa kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk ke lantai.

**

“Selamat pagi. Apa benar, ini kediaman saudara Dewa Arga Nanda?”

“I-iya, saya sendiri. A-ada apa, ya, Pak?” tanya Dewa sedikit gugup.
Kedatangan dua orang pria dengan mengenakan seragam lengkap kepolisian, membuat Dewa bingung. Apalagi, ini masih pagi.

‘Tak bisakah mereka datang lebih siang sedikit? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertamu,' sungut Dewa di dalam hati.
Kepalanya masih terasa berat dan pusing.

“Maaf. Saudara terpaksa kami tahan atas tuduhan pembunuhan berencana. Ini surat perintah penangkapan Saudara.” Salah satu dari pria itu memperlihatkan selembar kertas berisi perintah penangkapan Dewa.

“A-apa? Ditahan? Pembunuhan berencana? Maksud Bapak apa? Saya tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap siapa-siapa.”

“Sebaiknya Saudara jelaskan di kantor polisi. Sekarang Saudara Dewa silakan ikut dengan kami!”

Tanpa memberi kesempatan kepada Dewa untuk membela diri, pria yang tadi memperlihatkan surat perintah penahanan, langsung memborgol kedua tangan Dewa dan menggiringnya menuju mobil.

Selama perjalanan menuju kantor polisi, Dewa lebih banyak bungkam. Pikirannya terlalu sibuk mencari cara untuk melepaskan diri dari jerat hukum yang mungkin menanti di depan mata, meski dia sendiri masih belum mengerti, apa alasan pihak kepolisian menuduhnya sebagai pembunuh.

“Turun!” perintah pria yang tadi menggiring Dewa menuju mobil, setelah membukakan pintu.

Dewa hanya bisa pasrah. Menuruti perintah yang diberikan oleh orang-orang berbadan tegap itu.

Sebelum memasuki sebuah ruangan, Dewa berdiri di depan pintu. Memindai seisi ruangan berukuran empat kali lima meter itu.

Di sana, tampak dua orang duduk saling berhadapan dipisahkan sebuah meja. Wajah mereka terlihat sangat serius.

Sepertinya, pria yang mengenakan seragam kepolisian sedang menginterogasi lawan bicaranya.
HERMAWAN.
Sebuah nama tertulis pada bagian dada pria itu.

Sadar dirinya kedatangan tamu, pria yang sedari tadi menginterogasi, refleks menoleh ke arah pintu tempat Dewa berdiri.

“Masuk!” perintahnya singkat.

Pria di hadapannya ikut menoleh, sehingga Dewa dapat melihat wajah pria itu dengan jelas.

Dewa hendak melangkah. Namun, gerakan kakinya terhenti setelah melihat wajah pria itu.

“Dia pelakunya! Dia yang harus bertanggung jawab atas kematian Riska dan Reva!” Tiba-tiba saja pria itu berteriak sambil menunjuk Dewa.

“Diam! Jangan membuat keributan di sini. Ini kantor polisi!” Pria bernama Hermawan itu membentak sambil memukul meja. “Bawa dia masuk,” titahnya pada dua orang polisi yang berdiri di kanan dan kiri Dewa.

Catatan KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang