kilatan kamera saling bergantian menyorot wajahku dan keluargaku saat keluar dari rumah sakit setelah aku sebulan di rawat di sana. banyak wartawan mengarahkan kameranya tepat di depan hidungku sendiri dan ayahku. mereka melontarkan banyak pertanyaan mengapa aku bisa terjatuh? apa yang terjadi? apakah aku mengalami stress berlebih? dan ada desas desus bahwa aku pemakai narkoba yang sedang high.
namun ayahku menepis semua itu ia mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan semua ia mengatakan bahwa malam itu aku dan kakakku pergi ke atas untuk melihat bintang namun malam itu ternyata hujan deras dan kami memutuskan untuk dare devil disana. ia mengatakan bahwa kamo bermain hingga aku terpeleset dan jatuh ke kolam berenang.
tentu saja ia tidak menyebutkan bahwa aku berusaha membunuh diriku sendiri karena kelakuan mereka.
aku tidak bicara, aku tidak berkespresi dan aku tidak bisa merasakan apapun, bahkan saat pers bertanya padaku aku tidak menjawab.
aku sudah muak melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi. ayahku bersikap seperti pahlawan di depan pers dan dengan dukunganku yang diam mereka semakin yakin dengan cerita itu.
setelah para pers tenang dan tidak menyebarkan gossip sembarangan tentang aku. mereka mulai bertanya macam hal padaku. seperti, apa yang kupikirkan ssehingga aku melompat, terjun bebas ke dasar kolam? apa yang sebenarnya merasukiku? sama seperti pertanyaan para pers.
namun aku hanya diam, tidak bergeming, tatapan kosong yang mereka dapat dariku. wajah mereka semakin cemas namun disisi lain kakakku tau aku sebenarnya bisa bicara, mendengar, bahkan berjalan jika aku mau, hanya saja aku tidak mau.
ibuku mulai menangis lagi dan ditenangkan oleh ayahku mereka berdua mengira ada kelainan yang kudapat setelah aku melewati kejadian itu. mereka berspekulasi bahwa ada syarafku yang rusak sehingga mereka memutuskan memanggil dokter terbaik yang mereka tau.
namun kakakku berbeda dengan mereka, ia terduduk di depanku yang menggunakan kursi roda untuk sementara. ia menggenggam tanganku. dan mulai berbicara betapa kecewa ia padaku.
ia tidak menyangka bahwa aku akan melakukan itu, ia bilang kalau ia tau bahwa aku bisa mendengar, bicara, dan berjalan jika aku mau, tapi kenapa aku tidak mau? ia terus bertanya namun tak ada pertanyaannya yang terjawab olehku. ia kemudian menarik nafas panjang dan menatap mataku seolah olah ia peduli padaku. namun jujur saja sejak kecil ia bahkan barely talked to me.
setiap pagi aku akan bangkit sendiri dan menuju kursi rodaku duduk di tepi jendela kamarku melihat orang orang yang lulu lalang di jalan. aroma basah dari hujan yang turun malam tadi membuat otakku setidaknya lebih tenang. namun itu semua buyar ketika aku melihat mobil lambo putih masuk ke dalam halaman rumah kami.
mobil itu adalah milik instruktur tennis ibu, dan baru aku ingat ayah pergi perjalanan bisnis dan akan pulang seminggu lagi dan kakakku ia pergi bersama temannya. aku tau kalau ibu pasti memanggilnya karena ia kesepian, dan mobil itu pasti dibeli oleh ibu karena instruktur mana yang dalam seminggu bisa membeli lambo? dia bahkan tak sehebat itu.
aku hanya terdiam karena aku tidak peduli lagi, aku tidak bisa menghubungi ayah ataupun kakak karena ponselku juga sudah dihancurkan olehnya. namun, tak lama seseorang mengetuk kamarku dan saat pintu itu terbuka aku melihat ibu dan instruktuknya yang membawa bingkisan itu masuk.
aku melengos dan kembali melihat jendela. pria itu menarik sedikit kursi rodaku seakan akan memaksa agar aku melihatnya.
ia bertanya padaku apakah aku mengingatnya namun aku diam saja tak bergeming dan melengos kembali melihat jendela. ia kembali menarik wajahku dan menyuruhku untuk melihat wajahnya.ia kembali bertanya padaku apakah aku mengingatnya dan ia juga mengatakan siapa namanya. aku hanya diam tak menjawab apa yang ditanyakannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECLINE
Teen Fictionibunya terlalu fokus pergi bersama instruktur tennisnya ke dalam hotel. ayahnya bekerja terlalu keras hingga tak memperdulikan dunia lain selain kerjanya. kakak laki lakinya terlalu fokus untuk masuk kuliah kedokteran sehingga tak ada waktu untuk m...