01 : sky cottage

134 19 12
                                    

"Yah, Bunda sedang sakit, kapan kita pulang?" Berat membalut suara si gadis dengan nada menyerah, menatap piring kosong di meja makan dengan mangkuk bekas sup di hadapannya dan menggenggam ponsel di telinganya.

"Kamu sedang bosan atau bagaimana? Minggu lalu Ayah beli Nintendo Switch coba buka di laci bufet TV sebelah-"

"Yah..." Suara paraunya memotong pembicaraan seseorang yang terhubung di seberang sana.

"Kamu mau apa? Novel baru atau-"

"Pulang Yah, pulang..."

"Tunggu ya, sebentar lagi Ayah selesai. Tadi malam kamu makan sama apa?"

Menghembuskan nafas berat, gadis itu menggenggam sendok kotornya lamat-lamat. Pandangannya mengedar ke langit-langit rumahnya,
memandangi lampu kaca yang menggantung diatasnya dengan hampa.

"Makan mie instan. Yah, jangan membahas hal lain dulu. Pulang ke Bali, Yah. Bunda sakit."

Lama sekali jeda kosong di telepon. Si gadis hanya diam, meletakkan sendoknya perlahan dan meraih mangkuk untuk ditumpuk dengan piring, menunggu sampai ayahnya melontarkan balasan.

"Kamu diberi tahu siapa? Bundamu sendiri atau-"

"Mas Yanuar, Yah. Emangnya Bunda pernah Ayah izinin buat ngehubungin aku? Bunda itu-"

"Nanti Ayah suruh pegawai Ayah menjenguk Bundamu kesana, lagipula Yanuar kan masih sering pulang. Tunggu sebentar ya, Ayah nunggu pegawai Ayah membelikan cardigan baru buat kamu untuk pertemuan makan siang dengan rekan Ayah sebentar lagi. Kamu siap-siap ya?"

Tercekat. Suaranya tertahan atas respon ayahnya. Bisa-bisanya malah menomorduakan hal yang seharusnya nomor satu bagi ayahnya. Tanpa basa-basi, gadis itu langsung memutus sambungan panggilan secara sepihak. Meletakkan alat makan ke wastafel, kemudian buru buru mengambil jaket dan topi miliknya. Ia tak ingin bertemu ayahnya dulu, apalagi pertemuan tanpa arti seperti itu. Semuanya sama-sama menyebalkan. Saat ini yang ia butuhkan adalah udara segar dan perjalanan tanpa tujuan.

ㅡㅇㅡ

Hari itu mentari sedang panas-panasnya. Entah murka kepada siapa, hanya penghuni langit yang pirsa. Sebagai lampias murka, sorot sinarnya seolah memelototi sesiapa yang ada di bawah bumantara, menjilat bulu badan hingga membakar kulit tanpa permisi.

Tanpa permisi memang, seperti halnya sosok pemuda yang menyelinap keluar melalui gerbang sempit berkarat dengan berjangkit, meredam suara bentrok antara sepatu dan hamparan daun kering di sekitarnya, takut sekiranya ada mata yang mengintai eksekusi pelariannya.

Hari Senin, pukul satu, selalu begitu. Semacam ritual rutin permulaan pekan bagi pemuda dengan anasir angin itu untuk lari dari pelajaran siang bolong yang baginya hukuman pembuka minggu.

Mengendap dan sebisa mungkin tidak membuat jejak, ia semakin berada di tengah pekarangan belakang sekolah. Netranya seolah berkacamata peta, seirama dengan langkah kakinya yang seperti bersepatu mata angin. Setapak demi setapak mengikuti celoteh dalam kepala tanpa mengindahkan bel pergantian jam pelajaran sekolah yang terdengar jelas menggaung di telinganya meski terdengar lumayan jauh.

Tujuannya selalu satu, yakni pohon lengkeng dengan susunan papan kayu yang terletak di pekarangan kosong, tak jauh dari sekolahnya. Semacam pondok melayang dari balok-balok kayu dengan lubang ditengahnya sebagai tempat batang pohon.

Pemuda itu bisa bertaruh bahwa dialah yang selalu memakai tempat itu, sampai-sampai mengakui bahwa pondok lengkeng itu adalah markasnya seorang. Padahal dia sendiri menemukan tempat itu hanya modal tersesat ketika jelajah malam saat pramuka kelas 10 dua tahun lalu. Entahlah, siapa peduli dengan empunya, yang jelas sejauh ini, dirinya masih belum menemui seseorang yang berdiam disini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EndwiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang