5. Sensasi (1)

814 90 42
                                    



Kereta kemudian berhenti. Dari bunyi dan goncangannya saat berhenti, sebenarnya peristiwa biasa saja. Kereta yang berhenti di suatu stasiun kecil yang tidak ada di jadwal pemberhentian, penyebabnya cuma satu: kres. Kereta ekonomi harus mengalah dan berhenti, jika ada kereta bisnis atau eksekutif akan lewat dalam waktu hampir bersamaan—-di jalur yang sama. 

Tetapi, yang tidak bisa aku mengerti—karena ini bukan kali pertama aku alami. Goncangannya mengejutkan—seperti gempa saja. Gempa yang menghancurkan. Menghancurkan bayangan-bayangan dan sensasi aneh barusan. Aku rasa Nindi merasakan hal yang sama. Dia pasti terkejut menatap kopinya tumpah membasahi jari-jarinya yang menggenggam gelas—sesaat setelah goncangan sirna dan kereta benar-benar berhenti. Lalu menatap kopi di tanganku yang juga bertumpahan. Kemudian matanya beralih lagi pada gelas kopinya lagi.

Nindi menjilati tumpahan kopi di jari-jarinya. Otakku memerintahkan untuk memberinya selembar tisu agar ia tak perlu begitu, tetapi aku tak yakin, aku memiliki tisu. Tak ada laki-laki yang sengaja membawa tisu saat bepergian, perempuan yang melakukannya. Tapi melihatnya menjilati jari-jarinya membuat perasaanku menjadi tidak nyaman dan merasa risih, juga sedikit malu.

Aku malu karena terangsang melihat lidahnya menjilat-jilat seperti kucing.
Aku berpaling, tapi leherku kaku tak bisa menengok. Aku seperti baru saja menelan sebongkah beton dan sekarang tersangkut di leher. Kepalaku serupa arca yang membatu tak bisa digerakkan. Tegak lurus  padanya, yang sedang menjilati jemarinya.

Demi mengendalikan diri terpaksa kupejam mata.  Lacur ... Nindi masih terlihat di balik kelopak mata yang tertutup. Menjilat-jilat seperti kucing. Kelopak mataku layaknya kaca riben, gelap namun tembus pandang. O, ya Tuhan, Jantungku berhenti.

Mendadak ia berhenti menjilat jemarinya, lalu berbalik menatapku tajam, lalu perlahan tatapannya layu. Tangan kirinya mengambil alih gelas karton  dari tangan kanannya dengan jemari yang tadi dijilati. Tangan itu juga yang kini  menjulur meraih tanganku yang menggenggam gelas kopi, dan ....

Nindi menjilati jari-jariku yang menggenggam gelas kopi. Pelan-pelan, dengan segenap perasaannya. Sesuatu menjalar seperti denyutan magnet di ubun-ubun, terus berdenyut-denyut merambat turun ke belakang tengkuk, membangunkan bulu roma, lalu turun ke punggung, meliuk  ke dada dan berdenyut hebat disana.  Bukan, bukan denyut, tapi debaran hebat. Dug, dug, dug, dug ...

"Kamu kenapa, Yo?"

Seketika debaran pecah dengan bunyi yang keras, lalu semua buyar. Mataku terbangun dan Nindi tidak sedang menjilati jemariku, melainkan menatapku keheranan. Sial! Betapa mengerikan bayangan barusan. Aku kebingungan pada semua gambaran yang ganjil. Bagaimana bisa aku berhalusinasi saat kesadaran penuh. Aku seperti mimpi namun terjaga, sama sekali bukan sedang tidur.

"Memangnya aku kenapa?" ujiku.

"Kau tegang sekali. Ini kan cuma kres."

Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana atau berkelit apa, hanya bisa diam, dan menyesap sisa kopi untuk menyamarkan perasaan salah tingkah. Kemudian, memperbaiki posisi duduk dengan menghadapkan diri ke arah depan—dimana aku tak lagi harus berhadapan dengannya. Tanganku meletakan gelas kopi, melirik pada ampas yang masih tertinggal di tangan. Tidak, Nindi tidak benar-benar menjilati tanganku. Ampas kopi masih tertinggal di tangan.

"Kita keluar, Yuk, cari angin mumpung kereta berhenti," usik Nindi. Aku menggeleng.

"Lumayan bisa merokok, kan?" Dahiku mengernyit. "Aku tahu kamu merokok, tuh," tudingnya ke arah saku jaket, tempat kusimpan sekotak rokok. Detil sekali dia. Gerutuku, tapi dia benar, mulutku asam.

SEBELAS JAM (Spin Of Suryo Atmadja)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang