19. Sidang

205 32 20
                                    

Mohon baca pelan-pelan saja
*
**
*

Aku marah bukan untuk perkara bodoh karena Nindi mengelabuiku dengan sewadah permen. Lebih besar dari itu, aku menyadari sekarang, bahwa aku dikerjai sejak awal. Entah bagaimana cara Nindi memanipulasi, tetapi aku marah kelancangan dia. Siapa dia sebenarnya, biar aku korek nanti, sekarang aku perlu menentramkan kemarahan, atau aku akan melakukan sesuatu yang melampaui batas dan bakal kusesali.

Aku tak ingat kapan terakhir marah, tetapi rasanya itu sudah lama sekali dan aku tahu, setiap kemarahan adalah sia-sia. Kemarahan, entah bagaimana selalu membawa pada keburukan, tindakan gegabah dan berakhir penyesalan. Aku tidak seperti Bagas, atau Pesong yang menyelesaikan masalah dengan kemarahan atau kekerasan. Pesong pernah bilang padaku, 'kau perlu marah bahkan memukul jika berhadapan dengan orang yang tidak punya otak, kata-kata sebagus apapun tak akan mempan untuk kasih pelajaran pada orang macam itu. Kau harus paksa keluarkan rasa takutnya untuk membuatnya mengerti: jika kau orang yang tak bisa dipermainkan dan kalau dia takut, mana mungkin lagi punya keberanian mengulanginya.' Dan ketika aku mendebatnya Pesong menaikkan nadanya: 'Sudahlah, kau urus yang punya otak, yang tak punya otak, biar jadi bagianku. Bisakah otak kau yang pandai itu mengerti?'

Apakah Nindi punya otak? Biar kutimbang dulu, sekarang aku butuh diam sejenak, kuharap dia tak buru-buru menyusul, bisa runyam nanti. Setidaknya aku perlu waktu mengendalikan perasaan dibodohi, karena rasanya tidak enak dan kacau sekali.

Begitulah manusia, merasa superior bahkan kepada sesama manusia lainnya. Jika kamu menyadari dirimu tidak bodoh, maka orang lain tidak boleh membodohimu dan kau pantas marah. Albert Camus memang menentang prinsip ini mati-matian dengan menganggap semua hal adalah setara: pintar setara bodoh, bahagia setara menderita ... baginya semuanya ekuivalen walau ada dua unsur saling bertentangan, mungkin karena itu orang-orang menjulukinya sang maestro absurditas. Aku tidak pernah punya kesempatan menjadi sahabat seorang Camus, karena dia lahir dan mati lebih dulu. Aku tidak bisa mengujinya: bagaimana orang secerdas dia bereaksi ketika dibodohi seperti yang Nindi lakukan terhadapku. Kata-kata bagus tak serta merta ekuivalen dengan emosi dan reaksi yang sama bagusnya.

Aku ingin merokok!

Dan kesempatan itu datang sekitar sepuluh menit kemudian, ketika kereta berhenti di stasiun ... mungkin Purwokerto. Aku berdiri, saat kereta berjalan melambat--sebelum berhenti. Sewaktu benar-benar berhenti kakiku sudah menginjak selasar rel dan jariku sudah menjepit rokok dan menyalakan korek.

Cahaya terang lampu dengan deretan kursi-kursi, berjarak cukup jauh dari tempatku berdiri, aku tak bisa melihat dimana papan nama stasiun berada, tapi ini stasiun besar. Aku tak peduli, lah. Aku cukup senang bisa membakar rokok di depan pintu gerbong dengan udara malam yang menyegarkan. Kupikir, di luar gerbong lebih hangat daripada di dalam. Aku tak sendirian di luar, beberapa penumpang melakukan hal yang sama denganku, merokok. Hanya beberapa menit, tapi asap rokok membantu banyak hal. Tak penting diungkapkan nikmatnya, sensasi apa pun, selalu sulit dijelaskan.

Tak ada bintang malam ini, tak apa, aku merasa beruntung ternyata keretaku berhenti lebih lama karena harus menunggu kereta lainnya lewat. Kereta yang lebih bagus. Tak selamanya menjadi bagian yang dikalahkan oleh kelas superior menimbulkan rasa tidak nyaman atau perasaan tidak adil, jika sedang merokok. Dalam hal ini aku sepakat dengan Camus, kalau kelas ekonomi setara dengan kelas eksekutif dengan asumsi ... sebatang rokok membayar unsur lainnya. Halah, Mus, Mus, tak ada yang benar-benar ekuivalen. Loh, aku baru saja menyempurnakan teori Albert Camus! Menyenangkan sekali. Aku baru saja tersenyum dan merasa tak peduli ada orang lain melihat.

Kembali ke bangku kelas ekonomi, setelah merasa ekuivalen dengan kelas eksekutif yang menindas perjalanan waktuku, barusan: adalah perasaan puas yang absurd. Tetapi, hey, Camus tak mungkin mengklim perasaan ini sama dengan teori persamaannya, dia terhalang unsur sebatang rokok. Memang sama-sama absurd, namun bukan absurd milik Camus, melainkan milikku: Suryo Atmadja.

SEBELAS JAM (Spin Of Suryo Atmadja)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang