Adzan subuh merdu berkumandang, bersaing dengan dinginnya malam yang membujuk untuk kembali merapatkan selimut ke badan. Kiran bangun dari tidurnya, jantungnya berdegup kencang mengingat bahwa hari ini akan jadi hari yang tak terlupakan. Saat ia telah terjaga sepenuhnya, ia pun bersiap melaksanakan sholat subuh. Selesai sholat detakan jantungnya kembali normal. Ia pun melakukan rutinitas paginya, menyiapkan sarapan.
Hari ini, Jaka dan keluarganya akan datang. Apa semua akan berjalan lancar? Atau hancur berantakan? Akankah berakhir bahagia? Atau berhiaskan air mata? Detak jantung Kiran semakin cepat dan cepat. Ia tak tahan, dihentikanlah aktivitasnya, mencari sang ibu yang ternyata baru keluar dari kamarnya. Ia segera menghambur memeluk ibunya.
"Astaghfirullah, Kiran. Ada apa, Sayang?" tanya ibu yang terkejut mendapat pelukan mendadak dari putrinya.
"Kiran takut, Bu."
"Takut kenapa, Sayang?" tanya ibu.
"Detak jantungku berdetak semakin cepat dan cepat, seakan pertanda ada sesuatu yang salah. Kiran benar-benar takut, Bu," jelas Kiran. Air matanya mengalir perlahan.
"Ayo kita duduk dulu," ajak ibu pada Kiran. Kiran patuh, mereka ke ruang keluarga duduk di sana.
"Jelaskan pada ibu, mengapa Kiran bicara seperti itu?" tanya ibu.
"Kiran benar-benar tak tahu, Bu. Seakan ada yang salah. Apa hari ini akan berjalan lancar? Atau justru hancur berantakan? Kiran takut, Bu," tutur Kiran. Air matanya mengalir semakin deras. Ibu mencoba menenangkannya, tangan kanannya memeluk Kiran, sedang tangan kirinya menggenggam tangan Kiran, mencoba memberinya kekuatan melalui genggaman.
Naya dan Rahmat yang baru keluar dari kamar mereka segera menghampiri ibu dan Kiran.
"Kak Kiran kenapa, Bu?" tanya Naya dan Rahmat hampir bersamaan. Ibu memberi gelengan kepala sebagai jawaban.
"Kak, kalau ada masalah, berbagilah. Mungkin kami bisa membantu," ucap Rahmat lembut. Kiran tak menjawab, membuat Naya bangkit lalu duduk di samping Kiran.
"Kakak kenapa?" tanya Naya. Kiran tak menjawab.
"Kak Kiran kenapa?" tanya Rahmat mengulangi pertanyaan Naya.
"Mungkin cuma karena gugup menunggu kedatangan Jaka dan keluarganya," jawab Kiran setelah menghirup napas dalam-dalam.
"Oh, itu wajar kok, Kak. Dulu aku juga begitu," sahut rahmat segera percaya penjelasan Kiran. Namun Naya dan ibu yakin, bukan itu alasan sebenarnya. Mereka hanya tak bisa menebaknya. Naya ingin mendesak Kiran, tapi dicegah ibu dengan sentuhan tangan di balik punggung Kiran. Akhirnya Naya pun mengurungkan niatnya.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa matahari pun mulai terbenam. Tak ada sesuatu yang salah. Semua berjalan lancar. Ketakutan Kiran tak terjadi. Ponselnya juga ia matikan sejak pagi agar tak mendapat gangguan. Sebentar lagi finish, semoga berjalan lancar sampai akhir, doa Kiran dalam hati.
Adzan maghrib terdengar, semua bersiap melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat, Kiran kembali merasakan apa yang ia rasakan tadi pagi, membuat wajahnya memucat.
"Kenapa, Sayang? Wajah kamu pucat, K
kamu sakit?" tanya ibu."Nggak kok, Bu. Kiran baik-baik saja," jawab Kiran lalu tersenyum. Semoga hanya perasaan gugup, bukan karena firasat sesuatu yang buruk akan terjadi, batinnya. Mereka lalu berkumpul di ruang keluarga, melakukan perbincangan ringan.
"Assalamu'alaikum," ucap beberapa orang.
"Itu sepertinya Nak Jaka sudah datang. Kiran siap-siap ya, biar Ibu dan yang lain yang menyambut mereka," perintah ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH KIRANA (SUDAH TERBIT)
Teen FictionKirana, kakak dari Kanaya adalah seorang gadis yang rela di dahului menikah oleh adiknya karena merasa bahwa jodoh untuknya masih jauh atau mungkin malah tak ada jodoh yang disediakan untuknya.