PART 18

6 3 2
                                    

Ibu dan Naya terus menunggui Kiran, tak mau meninggalkannya sendirian. Ayah berada di luar ruangan, siap siaga bila bantuannya dibutuhkan, sedangkan Rahmat diminta ayah untuk kembali ke rumah agar rumah tak kosong.

"Assalamu'alaikum," terdengar seseorang menjawab salam.

"Wa'alaikumsalam, ya sebentar," jawab Rahmat yang sedang berada di ruang keluarga.

"Aldo, silahkan masuk," ucap Rahmat.

"Terima kasih, bisakah saya mau bertemu Kiran?" ucap Aldo setelah mereka duduk di ruang tamu.

"Sepertinya tak bisa. Kak Kiran tak berada di rumah sekarang," jawab Rahmat.

Bukankah ini masih terlalu pagi, dia ke mana? Main? Tak mungkin, tapi ke mana pagi-pagi dia tak berda di rumah? Pikir Aldo. Wajahnya berubah murung.

"Kak Kiran masuk rumah sakit kemarin, sepulangnya kamu dari sini," ucap Rahmat menjelaskan.

"Rumah sakit? Kenapa? Kok bisa?" tanya Aldo beruntun. Aldo panik, bukankah semalam ia baik-baik saja? Kenapa bisa sampai ke rumah sakit?

"Kak Kiran kemarin demam tinggi jadi segera dibawa ke rumah sakit. Jadi maaf bukannya mengusir, tapi saya mau ke sana menjenguknya," ucap Rahmat.

"Bolehkah saya ikut?" tanya Aldo. Rahmat tampak berpikir. "Saya mohon, izinkan saya ikut," ucap Aldo lagi.

"Baiklah, tapi bisakah tidak membuat keributan di sana?" pinta Rahmat.

"Saya janji nggak akan membuat keributan di sana," ucap Aldo. Akhirnya mereka pun ke rumah sakit bersama.

Sementara di rumah sakit, saat Kiran membuka mata, wajah ibulah yang pertama kali ia lihat sedang tertidur. Gerakan pelannya membangunkan sang ibu.

"Ibu …" panggillnya lemah.

"Alhamdulillah," ucap ibu.

"Bu …"

"Ya, Sayang," sahut ibu. Tangannya menyentuh dahi Kiran, demamnya sudah turun.

"Ini di mana, Bu?" tanya Kiran

"Di rumah sakit, Sayang," jawab ibu.

Rumah sakit? Seingat dia kemarin ia tidur di kamarnya. Kenapa sekarang di sini? Pikir Kiran.

"Kamu demam tinggi kemarin, Ibu panik jadi membawamu ke sini," tutur ibu menjelaskan. Kiran hanya diam mendengarkan.

"Sarapan dulu ya, Sayang," ucap ibu sembari mendekatkan sendok berisi bubur pada Kiran. Baru saja aromanya tercium, Kiran sudah mual dan ingin muntah. Namun melihat ibunya, Kiran memaksakan diri membuka mulut menerima suapan dari sang ibu, hingga ibu tersenyum. Tiga kali suapan, Kiran tak tahan, ia memuntahkan kembali semuanya.

Naya baru kembali membeli air mineral saat mendapati kakaknya sedang memuntahkan makanannya. Tak tega melihat kakanya tersiksa, Naya menangis sambil membersihkan muntahan Kiran.

Kiran lemas, bahkan untuk sekedar membenarkan posisi tidurnya hingga sang ibu membantunya. Terlihat sekali kesedihan dan kekhawatiran di wajah ibu.

"Ibu," panggil Kiran lirih.

"Iya, Sayang," sahut ibu tersenyum lembut, meski Kiran tahu senyum itu senyum yang dipaksakan. Mata ibu sarat akan kecemasan.

"Maaf ya, Bu," ucap Kiran.

"Nggak apa-apa, Sayang," sahut ibu.

"Ade jangan sedih ya, kakak nggak apa-apa kok," ucap Kiran pelan.

Seorang dokter datang bersama susternya ke ruangan di mana Kiran berada.

"Bagaimana keadaanmu, Kiran?" tanya dokter.

JODOH KIRANA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang