Suara sirine ambulan dan polisi beradu menjadi satu, para pelari pagi yang biasanya disuguhkan dengan pemandangan indah dekat sungai kini saling berkumpul menatap kejadian apa yang menjadi pusat perhatian pagi ini. Ten ada di sana, di antara salah satu ibu-ibu yang ingin tau, memakai kaos oversize abu-abu yang dipadu dengan jaket lusuh pemberian Shéa saat awal kelas dua belas dan masih ia pakai hingga sekarang.
"Maaf mas jangan menerobos garis polisi!" seorang polisi muda menghentikan langkahnya, mendorong dada Ten untuk mundur beberapa langkah.
Alis Ten menukik tajam, menunjuk sungai dengan emosional, "TAPI DIA TEMEN SAYA, PAK!!"
"Iya saya tau, tapi jangan melewati garis polisi, toh, lagi pula apa yang mau kamu lihat? Temen kamu udah nggak bernyawa."
Rahang Ten langsung terjatuh, tenaganya yang sebelumnya sangat kuat hendak menerobos benteng yang dibangun oleh tubuh para polisi itu seketika tak memiliki tenaga.
"Nggak mungkin."
"Subuh tadi kami menemukan mayat sudah mengambang di atas permukaan, dengan banyak bekas lebam dan luka. Kemungkinan kejadian bunuh diri sekitar pukul 10-11 malam kemarin."
Ingatan Ten segera ditarik ke belakang. Pukul sepuluh mungkin tepat Ten membalas pesan Shéa kemarin malam. Tubuh Ten limbung seketika, mungkin akan menghantam paving keras jika saja Taeyong dan Doy tidak memeganginya dari belakang.
Tadi tepat pukul jam tujuh pagi, teleponnya berbunyi dengan sangat keras dan saat satu panggilan mati, akan muncul lagi hingga ratusan kali—mungkin, akhirnya Ten bangun dengan frustasi. Padahal jam masuknya pukul sembilan. Berdecak kesal akhirnya Ten menerima panggilan dari Johnny pada pagi-pagi Ten yang damai. Setelahnya, Ten langsung di boyong oleh Doy dan Taeyong untuk ke tempat kejadian perkara.
Ia masih ingat suara Johnny yang bergetar tadi pagi saat memberitahunya.
"Omg, Ten! Akhirnya lo jawab juga, anjing!"
Ten menggaruk kepalanya yang sedikit gatal lalu bergantian menggaruk perut, "apasih pagi-pagi juga udah ngatain!"
"Lo bangun tidur?"
"Yakali gue bangun dari mati."
"Anjing, Ten. Bangsat, anjing, anjing!! Bisa-bisanya lo santuy, anjing!" mata Ten langsung terbuka dengan emosi sedikit tertarik saat bukan lagi suara Johnny yang terdengar melainkan suara Kun yang biasanya kalem kini memakinya dengan penuh kekesalan.
"Biasa aja anjing, masih pagi heboh banget kayak mami arisan panci!"
"Kun tenang, calm. Dia belum tau."
"Lo kabarin aja temen bangsat lo, sialan emosi gue."
"Lo sama Jeff dulu, okay? Gue bilangin pelan-pelan sama Ten."
Alis Ten kian tertaut saat mendengar emosi Kun murni tidak dibuat-buat, yang artinya saat Kun sudah bersumpah serapah artinya dunia sedang tidak baik-baik saja. "Ada apasih, John? Perasaan gue kaga ngehamilin anak orang dah, kenape Kun sewot banget."
Terdengar suara tarik nafas berat dari Johnny, "Ten, lo udah buka sosmed?"
"Ya belum lah, bangun aja gegara telepon berisik lo. Ada apaan dah?"
"Ini tentang Shéa." katanya serius.
"Kenapa? Dia menang lotre vidcall sama ensiti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
10.10
Short Story❝ Ten, what your favorite number? ❞ ❝ read my name. ❞ - - - Tepat pada dini hari tanggal 10 di bulan Oktober, Ten sama sekali tidak percaya saat dia mendapati kabar bahwa sahabat kecilnya meninggal atas percobaan bunuh diri jatuh dari jembatan. Rasa...