"Nih minumannya. Lain kali beli sendiri dong!"
Ten memutar badannya ke samping, tersenyum ke arah gadis yang baru saja memposisikan duduk dengan nyaman di pinggiran lapangan basket itu, "makasihh."
"Besok-besok beli sendiri ya, bukannya aku gak mau beliin, tapi aku nggak mau nganter!"
"Emang kenapa sih?" tanya Ten gemas. Lelaki itu memposisikan duduk di depan Shéa yang menggembungkan pipi kesal. "Temenin gue lah latihan basket, pokoknya waktu kita masuk SMA gue harus bisa lancar lagi main basket."
Ten dan basket, sebenarnya sedikit mengejutkan jika membahas fakta tentang Ten yang menyukai olahraga basket. Dulu waktu kelas lima saat Ten bercerita tentang permainan basketnya dengan ayahnya di kantin, Shéa benar-benar terkejut kalau Ten bisa bermain basket. Tidak usah ditanya mengapa Shéa terkejut, kalian fikir saja dengan tubuh letoy macam kerupuk seblak yang jikalau Shéa pukul langsung nabrak tembok, ternyata bisa olahraga basket. Apalagi saat Ten menunjukkan keahliannya itu ternyata anak itu mahir juga, Shéa benar-benar tercengang.
Ini tahun kedua mereka masuk sekolah menengah pertama, satu tahun belakangan dihabiskan Ten untuk mencari teman-teman baru yang ternyata jauh cukup baik dari pada teman sekolah dasarnya. Ten mempunyai geng, ikut klub menari dan juga jadi anggota klub basket. Bicara tentang penampilan, blasteran Thailand itu memang sejak dulu tak pernah gagal memberikan visual menawan, apalagi di antara teman-teman sekolahnya harus Shéa akui bahwa hanya Ten yang paling tampan. Opini Shéa ternyata mewakili opini para perempuan di sekolah mereka, alhasil Ten dinobatkan menjadi prince sekolah mereka.
Sedangkan Shéa, malah sebaliknya..
"Kamu nggak lihat, mereka lihatin kamu. Mereka nggak suka kalau aku disini, Ten. Aku di kelas aja ya." cicitnya pelan sembari mencengkeram ujung jaket.
Ten berlutut di depan Shéa, "gak boleh. Lo harus temenin gue, gak boleh pergi."
"Aku kembali aja ke kelas, nanti kalau kamu butuh minum lagi, aku anterin deh. Chat aja."
"Ga boleh, pokoknya waktu gue main gue harus lihat lo di sini."
"Ten, please.." pintanya dengan mata berkaca-kaca.
Saat itu Ten sadar, ada yang berbeda dari Shéa. Aura percaya diri yang disalurkan kepada Ten dulu, perlahan meredup hingga akhirnya hilang. Saat ini yang Ten lihat hanyalah aura tak percaya diri. Ten panik, lelaki itu meletakkan bola basketnya lalu menangkup kedua pipi Shéa.
"Ada yang jahatin lo?" Shéa menggeleng, tapi air matanya jatuh.
"Ada yang kasar sama lo, Shé? Bilang gue!" Shéa masih keukuh menggeleng.
Ten terdiam sebentar menarik nafas panjang, "ada yang ngejek lo apa lagi, Shé?" dan akhirnya Shéa memeluk Ten yang mandi keringat dengan penuh air mata.
Ten menghela nafas kasar, menepuk punggung Shéa dengan penuh kasih sayang sesekali mengusap kepalanya. "Shé, udah jangan di dengerin perkataan mereka. Inget kata gue kemarin? Lo itu cantik, Shé."
"Kayak babi guling gini kamu katain cantik, kayaknya mata kamu burem kebanyakan main basket."
"Bagi gue cantik kok." Shéa mendongakkan kepala, menatap Ten yang menampilkan raut serius. "Gue bilangin nih ya, sebagaimana bentukan lo, gue tetep bilang lo cantik, Shé. Lo itu sahabat gue satu-satunya, jadi bilang sama gue siapa yang jahatin lo?"
"Ten..." Shéa memukul bahu Ten pelan.
Ten tertawa, "udah gak usah sedih lagi, temenin gue duduk disini. Kalau ada yang hina lo jawab aja, gue duduk disini karena diminta Ten buat jadi semangat, sedangkan lo pada cuma jadi mood Ten hancur."
KAMU SEDANG MEMBACA
10.10
Short Story❝ Ten, what your favorite number? ❞ ❝ read my name. ❞ - - - Tepat pada dini hari tanggal 10 di bulan Oktober, Ten sama sekali tidak percaya saat dia mendapati kabar bahwa sahabat kecilnya meninggal atas percobaan bunuh diri jatuh dari jembatan. Rasa...