Tidak seperti mereka yang membubuhi kata 'Sep' pada penamaan diri bagi setiap insan yang lahir pada bulan September, saya justru dibubuhi kata 'Nov' yang membuat ratusan kenalan menjadi sok akrab dengan "Lo Capricorn atau Sagitarius?", kemudian dilanjut pada tebak-tebakan kepribadian omong kosong.
Bulan kelahiran saya berturut-turut menjadi fase 30 hari yang paling saya benci dan sebisa mungkin tak merasakan pernah hidup di dalamnya. Agaknya sejak beberapa tahun lalu, saat saya menginjak kelas 2 SMA, saya mulai membenci bulan september. Dimulai dari jumlah anggota kelas yang ganjil dan saya yang terpaksa duduk sendiri, ibunda yang dipanggil oleh Tuhan, kehidupan yang ternyata telah berjalan selama 17 tahun, beban pundak yang semakin berat untuk dipikul, dan masalah-masalah lain yang silih berganti datang.
Kemudian saya mendapatkan serangan mental mendekati depresi pertama pada umur selanjutnya, gagal lulus dimana-mana, harus menganggur, pembicaraan kasar tetangga dan saudara, yang entah mengapa seperti hujan peluru yang jatuh pada 30 hari itu. Padat dan jelas. Dan kepada saya yang telah bersusah payah merahasiakan tanggal ulang tahun agar tidak terlalu berharap yang manis-manis kepada manusia lainnya, terima kasih.
Tahun-tahun berikutnya september tetap menjadi bulan yang saya selalu semogakan hanya berjalan selama 5 hari saja, yang siapapun tau tidak akan pernah terkabul. Meskipun sejak kecil telinga saya selalu dicekoki oleh musik era kejayaan dinasti Heidy Diana, tapi nampaknya lagu berjudul 'Wake Me Up When September Ends' milik Green Day lebih cocok menjadi soundtrack hidup saya ketimbang lagu bernada ceria 'September' milik Earth, Wind & Fire atau 'September Ceria' milik Vina Panduwinata.
Bicara tentang awan mendung, hari ini untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan dirundung cuaca panas, akhirnya bumi kami kembali dibasahi oleh tetesan air yang tampaknya tak mampu lagi dibendung oleh awan. Dan bau tanah yang basah adalah satu-satunya penghibur diantara hari-hari yang kejam ini.
Saya duduk di meja paling ujung sebuah warung makan bebek goreng yang cukup pamor di kota ini. Sembari menatap langit kelabu dengan air yang mengandung zat asam jahat, saya merapatkan cardigan tanpa kancing dengan kedua tangan. Berencana mengusir lebih jauh hawa dingin.
Di depan saya terpatung seonggok manusia yang sama tak bergunanya, tengah melamun diantara kesibukannya menyesap batang nikotin sambil sesekali menjentikkan abunya ke dalam asbak. Dia Danang, mahasiswa Sosiologi sekaligus teman sekelas yang menghabiskan empat tahunnya memahami dasar-dasar manusia tanpa pernah memahami dirinya sendiri. Agaknya ia memiliki aura yang sama dengan saya, ditambah lagi kami adalah manusia tak kasat mata di kelas kami sendiri. Atau lebih kasarnya Sisa. Buangan. Sampah.
"Lo mau dateng ke acara angkatan?" Tanyanya, yang tentu saja langsung saya tepis dengan gelengan. Lalu ia mengangguk paham dengan bibir yang melengkung kebawah, nampaknya tanda "iya gue juga".
Kami tau, kami adalah satu diantara puluhan manusia lain yang terdampar di tempat antah berantah ini dan ditakdirkan menjadi kacung bagi para sapiens ambisius itu. Yang jujur sebetulnya satu tingkat lebih baik ketimbang beberapa sisa manusia yang betul-betul tak berguna karena tak memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Blah-bloh, kami sebut.
Danang mengangkat kameranya, bersiap membidik apapun yang menarik netranya untuk di potret. Salah satu keunggulan Danang ketimbang saya adalah, ia memiliki hobi fotografi yang setidaknya membuat dirinya selangkah lebih menarik. Ia memiliki sesuatu untuk dibicarakan dengan excited dan tak terlalu terlihat lempeng-lempeng amat.
Cekrek! Suara kamera tepat di depan wajah membuat saya terhenyak dari buai lamunan. Danang mengeluarkan kamera berisiknya untuk memotret wajahku yang pikirannya sedang melayang entah kemana, di dalam wajah yang penuh minyak dan rambut yang kusut setelah diikat asal sekian kali.
"Kebiasaan dah" ucap saya setengah kesal. Pun mau protes bagaimana caranya juga tidak akan ia dengar. Ia akan tetap memotret apapun sesuka hatinya. Pernah sekali saya kesal dan meminta untuk menghapusnya, namun sayang benda yang ia pakai untuk memotret adalah kamera lawas dengan tenaga film untuk mengabadikannya.
"Gue lagi pake Fujicolor Pro 400H, kayaknya bakal bagus kalo di cahaya segini" ucapnya aneh. Danang selalu nampak seperti alien jika sudah berbicara tentang hobinya yang satu itu, karena saya tidak mengerti sama sekali apa yang ia katakan. Pentax, cannister, develop, iso, klise, dan apalah itu namanya.
Saya kembali menatap langit kosong, berangan-angan bisa berubah menjadi angin agar dapat hilir mudik kesana kemari, bebas, tanpa perlu merasakan sakit ataupun sedih. Kemudian saya berangan-angan tentang dosen pembimbing yang tiba-tiba menjadi murah hati, atau perusahaan internasional yang menawari saya sebuah pekerjaan yang mudah namun bergaji besar tanpa tes seleksi, atau saya yang berubah menjadi cantik hingga cukup menarik untuk dianggap dalam sebuah forum, atau saya yang tanpa diduga ternyata memiliki setengah dari jumlah kekayaan keluarga cendana. Oh, ternyata saya masih memiliki mimpi dan angan-angan. Satu-satunya hal positif dalam diri saya selain berusaha menjadi manusia yang baik. Perihal hamba yang taat atau warga negara yang patuh dapat kita diskusikan kembali nanti.
"Udah abis?" Tanya saya kepada benda yang ia lepaskan dari bagian belakang kamera, yang berbentuk tabung kecil.
"Udah" jawabnya singkat. Lahun-lahun saya jadi cukup hafal sepersekian kebiasaan Danang beserta beberapa kesukaannya, seperti warung pecel lele di pinggir jalan, Janitra Satriani dan musisi independen lainnya, waktu senggang yang acap kali ia gunakan untuk bermain drum, kucing kampus dengan hobi berbaring di selasar yang ia beri nama Hosun, dan alasan tersiratnya mengajak makan siang di tempat ini.
Begitu pula saya, Danang tidak menanggap rumah sebagai tempat 'aman dan nyaman' sebagai alasan untuk berpulang setelah kegiatan padat seharian penuh. Tak ayal jalanan padat beserta bangunan di sekelilingnya terasa jauh lebih familiar nan menghangatkan ketimbang apa yang disebut rumah itu. Pun manusia di dalamnya, pun kenangan tersimpannya.
Saya dan Danang saling mengerti satu sama lain. Seperti ia yang tak pernah memanggil saya dengan 'Nov' karena aku memang tidak suka, atau ucapan "Mau nebeng ga?" karena saya yang selalu malas menyetir, atau ia yang nyaris selalu mengantarkan saya hingga pintu terdepan karena saya malas berjalan.
"Ra" panggilnya. Saya pun menoleh sebagai jawaban.
"Besok, ya?" Tanyanya kecil, membuat saya tersenyum getir. Besok. Hari terburuk dalam periode 30 hari bulan september. Hari yang paling saya hindari. Hari yang andai saja dapat dilewati dalam sekejap mata. Hari yang andai saja tak pernah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan kaki langit
Short Storycatatan-catatan kaki milik langit beserta peristiwa kecil didalamnya