Kamu tidak akan tau betapa saya sudah benar-benar merencanakan dengan matang seluruh hari yang akan kamu lalu bersama saya hari ini. Bagaimana saya dengan impulsif pergi ke salon dan memotong rambut, atau mengendarai motor sejauh 30 km kemudian berkeliling hingga patah tulang hanya untuk mencari baju layak pakai dari sebuah pasar induk Gede Bage. Semua hanya karena kamu, yang pada akhirnya datang ke Bandung setelah sekian hujan yang telah kamu janjikan untuk kita terjangi bersama harus berakhir dusta.
Bahkan hingga menit-menit sebelum akhirnya kamu datang ke rumah saya dan pamit kepada ibu, saya masih gelisah. Mengenai seluruh skenario beserta percakapan palsu yang saya buat dalam kepala saya, seluruh ekspektasi saya kepada kamu, seluruh harapan saya akan lancarnya hari ini.
"Tumben macet" ucapmu ditengah antrian kendaraan yang berdesakkan. Cahaya mentari bersinar seikhlasnya, menyiratkan pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
"Namanya juga malem minggu" ucap saya, tak menghibur dan tak menenangkan. Tapi setidaknya kamu tak terlalu merasa seperti berbicara sendiri.
Saya masih ingat betul bagaimana kamu dengan SIM C yang hampir habis menyalip meliuk-liuk diantara barisan mobil yang mengantri menuju tujuan yang sama. Saya masih ingat pula bagaimana jaket hitam yang selalu kamu gunakan dan biasanya bau matahari bercampur obat nyamuk, kini sedikit lebih harum dengan campuran parfum dan rokok. Meskipun masih ada sisa-sisa bau matahari.
Detik detik selanjutnya kamu habiskan dengan menghisap batang nikotin sambil menatap takjub hamparan lampu kota diantara gelapnya malam. Kamu dan obrolanmu yang membawa hangat suasana, kamu dan senyummu yang kotak, kamu dan filosofimu, kamu dan bau tanah yang menyeruak setelah prajurit air dari kerajaan langit serentak membasahi tanah.
Hujan terlanjur jatuh, dan kamu terlanjur membawa saya turun. Saya bahkan belum sempat memperhatikan langit, apakah malam itu banyak bintang yang bertaburan atau tidak, apakah malam itu tergantung bulan sabit yang menggemaskan atau tidak. Sejak semula, atensi saya hanya tertarik oleh gravitasi seorang tukang panah yang hobinya berlatih di tengah siang bolong.
"Gua punya impian pengen bikin buku sendiri" katamu, diantara roti bakar dan susu kental manis kebanyakan gula, diantara deru motor modifikasi yang beradu cepat dengan angin di jalan Dago yang lengang.
Saya ingat jelas, saat itu pukul 10 lebih 39 menit. Kamu baru saja menanyakan 'jam berapa sekarang' sebelum memutuskan untuk menculik saya beberapa detik lebih lama daripada perjanjian kamu dengan ibu saya di rumah.
"Jam 10 udah pulang ya"
"Siap Tante"
Kamu memutuskan untuk singgah di salah satu deretan warung jagung bakar pinggir jalan yang masih buka, setelah berbasah-basah kecil sehabis menyusuri jalan kecil, becek, nan berliku khas Punclut kemudian memaksakan diri melewati jembatan Pasopati dengan rintik hujan yang ternyata banyak.
"Serius? Lu bisa nulis?" tanya saya cukup terkesiap. Sebuah pernyataan yang cukup aneh dari seorang pria yang bahkan membaca petunjuk cara memasak mie instan di bungkusnya saja malas.
"Gak bisa" ucapmu polos, spontan, dan tanpa ragu. Sukses membuat dahi saya berkerut bingung.
Kamu melahap potongan roti bakar dari piring yang ke dua. Perawakan yangkurus dan tinggi, tapi porsinya seperti titan yang belum makan selama dua abad. Titan, sebuah karakter dalam anime yang sama-sama kita gemari.
"Lah, terus?" tanya saya penasaran.
"Gua pengen aja cerita di buku itu. Kepikiran nama judulnya 'Pada Akhirnya Aku Sendiri'".
Saya menatap mata itu, mata yang selalu meneduhkan saya di setiap badai yang saya buat sendiri ributnya. Mata kecil yang kalau tersenyum langsung hilang eksistensinya. Mata yang kalau sedang bermain game membesar 200x lipat.
Otak saya butuh waktu lebih lama untuk mencerna kata-katamu. Perihal semua masa lalu yang dengan ragu kamu ceritakan kepada saya, perihal kamu yang selalu memposisikan diri dengan 'baik-baik saja', perihal kamu yang menyukai Nadin Amizah dan kamu yang tidak ingin menjadi anak kecil kembali.
Saya tidak akan pernah lupa bagaimana kamu, pada suatu pagi di kelas yang jenuh, datang kepada saya dan meminta bantuan. Katamu anggota kelompok mu terlalu tak acuh, dan kamu sendiri tidak terlalu paham dengan mata kuliah yang satu itu.
Saya ingat betul, sebuah buku yang kamu sodorkan kepada saya dengan tiba-tiba. Katamu buku itu adalah pemberian seorang teman yang sangat kamu percaya untuk kamu bercerita, dan menjadi satu-satunya buku non-pelajaran yang kamu baca. Meskipun kamu baru membacanya sampai bab 1.
"Terus isinya tentang apa?" tanya saya iseng. Menerka-nerka, apakah kamu akan menulis sebuah buku motivasi seperti buku karangan Napoleon Hill yang kamu baca, ataukah sebuah pengalaman hidup. Kamu sempat terdiam sejenak, memandangi roti bakarnya yang tinggal satu potong, sebelum akhirnya menjawab,
"Gak tau, kosong aja kali"
Kemudian tawa kecil keluar dari mulutnya yang telah diisi oleh potongan terakhir dari roti bakar. Saya tak bergeming, kerut di dahi saya semakin dalam. Tetapi itu tidak menepis fakta bahwa saya benar-benar ingin memukul kepala mahluk aneh yang kini sedang menghabiskan sisa-sisa keju dan coklat yang menempel di piring.
Saya benar-benar ingin memukul kepalamu, bahkan setelah tiga bulan kamu menghilang tanpa kabar. Membiarkan memori tetap menjadi memori, rasa manis yang diam-diam disusupi kesal dan marah. Faktanya, saya akan tetap membencimu seperti biasanya, seperti hilangmu tak ada arti. Seperti saat ini, saat saya kembali menyusuri jalan dengan ingatan didalamnya, layaknya sebuah kaset pita yang diputar kembali dan kamu akan tetap menjadi lagu lama favorit saya. Semoga untuk sepanjang masa.
KAMU SEDANG MEMBACA
catatan kaki langit
Short Storycatatan-catatan kaki milik langit beserta peristiwa kecil didalamnya