Azka Rasyafa, siswa kelas XII SMA yang menjabat sebagai pengurus OSIS dan saat ini menjadi panitia penerimaan siswa baru. Memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh enam, berkacamata, dan memiliki kulit cukup bersih di antara anak laki-laki lain.
Setelah Rein masuk dalam barisan, Azka menghampirinya, samar-samar memastikan benarkah dia orang yang sama, ternyata benar, ini pertemuan ketiga Azka dengan Rein, masih diingatnya, manis senyum gadis itu serta tas Anello berwarna navy dengan gantungan kunci yang sama, yang ia gunakan saat di perpustakaan kota.
"Eh halo adik kecil, masih ingat saya kah?" sapa Azka dengan nada sedikit sinis dan sok
"Halo kak, maaf kak, siap besok saya pakai tali hitam kak" tanpa menjawab pertanyaan Azka sebelumnya, Rein terus menatap ke bawah, mengingat kembali mengapa tali sepatunya tidak ia ganti terlebih dahulu
"Ck, yaudah gapapa, tunggu di lapangan sampai bel masuk baru boleh bubar" kali ini Azka menjawabnya dengan suara yang halus, karena ia tau, pasti sangat menakutkan jika membuat masalah di hari pertama masuk sekolah
"Iya Kak" jawab Rein kembali sambil mengangkat wajahnya, setelah itu ia tersadar, ya Rein mengingatnya, laki laki yang menghampirinya tadi ialah laki-laki yang ia temui di perpustakaan kota
"Lucu" tanpa sadar kata itu keluar dari mulut Azka, cepat-cepat ia menutup mulut sembari menjauh dari barisan Rein
Hari pertama masuk sekolah diwarnai dengan berbagai macam kegiatan, mulai dari sambutan oleh para guru, perkenalan antar siswa, hingga tugas berat untuk berkenalan dengan kakak kelas yang aturannya bertele-tele. Target hari pertama, tanda tangan tujuh orang anak OSIS dari kelas XII harus diselesaikan sebelum pulang sekolah. Maka benar saja, suasana kelas X semakin riuh, berlarian kesana kemari mencari kakak kelas yang bersedia untuk diajak berkenalan dan dimintai tanda tangan.
"Permisi kak"
Secara sadar Rein telah mentargetkan seseorang yang ingin ia ajak kenalan, laki-laki itu adalah Azka yang dari tadi hanya duduk sendirian di depan laboratorium kimia sambil membaca buku, kebetulan ruang kelas X dan laboratorium berdekatan, di ujung lorong.
"Gimana?" jawab Azka sambil membenarkan kacamatanya
"Boleh kenalan dengan kakak?" tanya Rein ragu ragu
"Boleh. Kamu Rein kan? Aku Azka" jawabnya singkat, disambut dengan anggukan Rein samar samar, tersipu malu karena ternyata Azka masih mengingat namanya
"Iya halo kak Azka, kakak lagi ngapain? aku ganggu ya?""Sedikit sih, tapi gapapa. Lagi nunggu guru kimia, mau ada ketemuan rutin buat lomba" Azka memiringkan posisi duduknya, menatap Rein
"Ah gitu ya Kak, maaf ya sebelumnya, ini ada tugas dari kakak panitia, aku rasa kakak juga anak OSIS kan?"
"Jadi, kalau aku bukan anak OSIS, kamu ngga bakal kenalan sama aku, gitu?" jawaban Azka membuat Rein menatap lebih lama, memikirkan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu
"Ah bukan gitu kak, aku ga bermaksud pilih pilih, misal bukan karena tugas, aku pun secara pribadi ingin kenalan dengan kakak"
"Wah gitu ya, menarik. Sini bukumu, mau minta tanda tangan kan?" Azka mengambil buku yang dibawa Rein, kemudian ia menuliskan sesuatu di buku itu dan meninggalkan tanda tangan untuk tugas Rein
"Eh kak" Rein tidak bisa berkata apa-apa, ia masih bingung harus bagaimana, takut jika menurunkan mood Azka
"Udah ya, aku cabut, gurunya dah dateng" Azka berdiri dan meninggalkan Rein duduk sendirian, ia buru buru masuk laboratorium karena pertemuan rutin segera dimulai
Rein yang dari sedari tadi gagu akhirnya segera bangkit, mengucapkan terimakasih dan ia berbalik badan untuk kembali ke kelasnya, ia melihat buku yang sudah terisi satu tanda tangan, dengan tulisan yang ditinggalkan Azka "Kapan kapan kita harus ngobrol yang lebih lama lagi"
---
Setelah berhari-hari sejak kejadian itu, Rein menebak-nebak arti kalimat yang ditinggalkan oleh kakak kelasnya, Azka, untuk apa ngobrol dengan ia lagi, ada perlu apa memang?. Atau jangan jangan ia hanya menggombal?. Menurut Rein itu tidak mungkin, dari wajahnya saja terlihat dengan jelas bahwa ia orang yang serius, pasti tidak akan macam-macam. Ditambah dengan kejadian di perpustakaan kota, kepala Rein selalu diisi dengan pertanyaan, siapa sebenarnya Azka, mengapa ia tahu namanya juga dari awal, mengingat Rein di hari pertama masuk sekolah. Rein tidak ingin cepat menyimpulkan apakah Azka menaruh perasaan padanya. Namun untuk berjaga-jaga, dengan segera Rein meyakinkan, semua itu hanya kebetulan, kebetulan yang selalu membuat perasaannya berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded
Teen FictionAku menyukainya, alasannya sederhana, di awal pertemuan kami dia lebih dulu tau namaku tanpa kuberitahu. Dan ternyata alasan itu salah, dia tidak benar benar tau namaku, hanya tidak sengaja menyebut namaku dengan benar. Setelah aku tau alasan itu...