•Prolog•

46 10 6
                                    

Seorang gadis duduk tersungkur dengan tatapan jatuh ke bawah, setelah ia menerima tamparan keras di pipi kanannya. Di hadapannya seorang wanita berdiri dan memandangnya penuh  kebencian, tanpa peduli bahwa gadis yang ia tampar itu adalah putri yang ia dilahirkan dari rahimnya sendiri.

"Jangan keterlaluan sama Ansa! Sadarlah, dia anakmu!!" Laki - laki berumur 40 tahun dengan pakaian kantornya, berlari dan dengan cepat menahan tangan wanita yang ingin menampar Ansa.

"Aku nggak akan pernah menganggapnya sebagai anakku! Aku tidak sudi membesarkan seorang pembunuh!!"

"Sudah berapa kali Mas bilang, Ansa juga korban dari kecelakaan itu dan bukan dia pelakunya!!"

Sang Istri tersenyum dingin, melihat gadis yang masih duduk membisu di tengah mereka, dirinya memejamkan mata sambil menggigit bibirnya menahan suara tangisnya.

"Kamu merasa sakit hati, An. Sudah tidak sanggup hidup lagi, tinggal bilang saja. Saya dengan senang hati bantu kamu untuk bunuh diri!!"

Hancur sudah pertahanannya, suara tangis gadis itu tidak dapat ditahan lagi. Ia merasa sakit dan hancur, mendengar penuturan tinggi dari Ibunya.

Entah apa yang membuat Astri begitu kejam mengeluarkan kata - kata yang menyakitkan, ia tidak peduli, asalkan dirinya merasa puas melihat gadis di hadapannya menangis dengan malang.

"Jaga bicaramu, Astri!!"

Astri yang sedang tersenyum puas menatap Ansa, tersentak dan mendapati Ramaz yang menatapnya dengan penuh amarah.

Astri yang tidak terima, suaminya memilih gadis itu daripada keluarganya, mengangkat tangannya tinggi, bersiap  menampar Ansa untuk kesekian kalinya.

"Sudah cukup, kamu ikut Mas. Ayo kita bicarakan baik - baik." Ramaz dengan cepat menahan tangan Astri dan menariknya untuk ikut ke lantai atas.

"Lepas, aku harus beri pelajaran buat anak yang enggak tau diri, seorang pembu-"

PLAKK!

Ramaz menampar Astri dengan keras, kesabarannya sudah habis. Ia tidak terima Ansa di sebut sebagai pembunuh. Wanita di hadapannya masih mematung dan membulatkan matanya, ia masih memegang pipinya yang memerah bekas tamparan Ramaz.

Setelahnya, lelaki itu kembali menarik Astri dan membawanya ke kamar, meninggalkan Ansa yang duduk meringkuk dan menangis. Kepalanya terasa berat dan ingin meledak, ketika semua kata-kata itu, kembali menghantuinya.

Kamu pembunuh!!

Aku tidak sudi membesarkan seorang pembunuh!!

Jangan panggil gue kakak, gue nggak mau jadi kakak seorang pembunuh!!

Pembunuh!!

"Bukan aku pembunuhnya, hiks, bukan aku," lirih Ansa, kedua tangannya menutup telinganya.

"Gue udah bilang, bukan? Jangan ganggu ketenangan keluarga ini. Gara - gara lo, Ibu ditampar ayah."

Ansa yang menunduk dalam, mengadahkan kepalanya dan mendapati seseorang yang juga membencinya, Rava. "Kak, tolong dengerin penjelasan-"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Steadfast Heart [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang