bait ; 04

73 17 0
                                    

Suasana jalanan tak seperti biasanya, ini lebih sendu. Kehadiran rintik hujan mensunyikan keadaan trotoar. Rena memainkan jemarinya menyentuh setitik air. Halte yang ia kunjungi sama sekali tidak ada seorang pun, kecuali dia. Dia melengkungkan sudut bibirnya, ketika memandang bunga dibasahi embun.

Gadis kelahiran Jakarta menautkan badannya lesuh. Ia menutup kelopak matanya sembari mendengarkan suara hujan. Nada-nada pada ingatannya yang selalu dirinya nyanyikan, dia masih ingat. Kamu dan kenangan lagu milik Maudy Ayunda mengayun di kepalanya. Sontak Rena terkejut, selepas membuka netranya.

Rezan datang bersama pakaian yang basah. Rena menghampiri pria itu dengan kesal. "Lu, kek, anak kecil aja deh!" serunya.

Lelaki tersebut tak menggubris perkataan Rena. Dia malah memberikan helm cadangan. "Lu mau tetep di sini atau gue tinggal?" ujar Rezan mengusap wajahnya.

"Tapi, kan, masih hujan, Zan."

Rezan mendengus, "Bukannya lu suka hujan? Terus, kenapa lu gak mau ngelewatin momen indah seperti ini?" tukasnya.

"Bukan. Hujan itu nyakitin, tapi berharga bagi gue. Lu mau sakit karena hujan?" Rena memberinya penjelasan, sebab ini kali kedua hujan yang mengguyur kota.

Lagi dan lagi pria itu kekeh. "Gue udah terlanjur dibasahi sama hujan, Ren. Kalau gue sakit pun, gue bakalan bersyukur." Rezan menghela napasnya.

Rena buru-buru menarik lengan Rezan. Tapi, karena posisinya sang lelaki tetap bertengger di motornya. Perempuan tersebut tak bisa membawa sang pemuda untuk berteduh. "Zan, sini cepetan, teduh bentar." Rena masih berusaha.

"Iyaa, bawel."

Rena tersenyum ketika Rezan sudah berada di sampingnya. Mereka sama-sama duduk menepi menunggu lunturnya titik air. Sembari memandang rinai, kedua insan entah mengapa lebih memilih sendu. Keadaan yang sama sekali tidak sukai sama Rezan. Tetapi, pemuda tersebut juga ikut diam.

"Kenapa hujan selalu tau keadaan manusia yang lagi gundah?" Rena mulai menyadari kejadian yang menimpanya sedari tadi. Mulai dari perjanjian yang batal, tambahan tugas, mana lagi pekerjaan rumahnya yang dari kemarin belum ia selesaikan.

Rezan meneguk ludahnya, ia merasa bersalah tentang pagi. "Emang kenyataannya, hujan datang untuk menemani manusia yang sedang terluka." Netra keduanya berikatan menyiratkan perbedaan.

"Apa mungkin sebentar lagi akan ada luka?" tanya Rena spontan. Pertanyaan gesit melintas untuk diutarakan.

Seketika itu bibir sang pemuda keluh, dia menundukkan kepalanya. Perasaan dua manusia sama-sama berparas tak nyaman. Relung hati menyelaraskan suasana sunyi penuh kegundahan. Detak jemari tiba-tiba tergerak kaku. "Apa yang kau rasakan di saat ini?" Rezan melihat mata nanar Rena.

"Entahlah, hati gue lagi ga enak untuk diajak kompromi. Apa mungkin nanti ada keburukan yang akan terjadi?" Rena memandang bola mata teduh, namun berkaca-kaca di Rezan.

Pemuda berjaket hitam polos hanya menoleh tanpa kata. Sementara, Rena selalu penasaran dengan topik pembicaraannya. "Zan, lu harus satu ketakutan terbesar gue selama ini. Gue gak mau kehilangan orang lagi."

Entah kenapa semua perkataan sang pemudi itu ia dengar, tapi tak bisa ia laknasakan. Terlalu sulit untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Perihal kehlangan yang akan sebentar lagi akan menyapa hubungan mereka berdua. Bibir Rezan mudah gugup mengatakan tentang apa yang terjadi. Tanpa yang pria itu tahu, dia sudah berani berbohong.

"Gue gak akan ninggalin orang secantik lu kali, Ren."

"Lu janji?"

Sehabis itu pula, Rezan ingin mengutuk dirinya yang telah berani memberi sayatan kepada Rena.

***

"Mbak, genre musik jazz ada dimana, yah?"

Pujangga tampaknya resah keliling setiap sudut. Dan ternyata apa yang ia cari ada di belakang sendiri. Dia sempat meninggalkan Rena sendirian pada tempat yang paling dekat di pintu depan. Hanya ingin mendapatkan album jazz terbaru. Sementara, Rena masih asik dengan dunianya. Ia banyak mendengarkan lagu pop di alat pemutar.

You make me smile....

Entah mengapa lagu itu terngiang di pikirannya. "Lagunya pas buat kita, Ren." Rezan baru saja menghampir gadis tersebut.

"Oh iya? Bukannya, you make me crazy?" cibir Rena.

Rezan menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Netranya melihat beberapa album di hadapannya. "Ren, ada lagu terbaru yang gue suka banget. Lu mau gue nyanyiin?"

"Emangnya bisa?"

Dari banyaknya insan di dunia
Mengapa dirimu yang aku sangka
Bisa temani hari-hariku yang tak selalu indah
Walau kita tak bisa bersama....

Jemari sang pemudi tergeletak kaku saat memegang album. Rena menghela napasnya sejenak. Bagian reff yang cukup menyayat hatinya. Di saat itu juga perempuan berambut legam, akhirnya mengakui bahwa hatinya tak bisa lepas dari Rezan. Tapi, tak bisa mengungkapkan sebenarnya. Rena tersenyum, sesaat sang lelaki tersebut mendekatinya.

"Kenapa milih lagu yang artinya bisa membuat beribu manusia merasakan hal sedih?" tanyanya.

Rezan mendengus, "Karena, itu yang lagi gue rasain sekarang."

"Ke--kenapa?"

Surat penerbangan yang telah Rezan pesan kemarin jatuh tepat di depan Rena. Akibat senggolan salah satu orang yang baru saja melewatinya. Sontak perempuan tersebut memundurkan langkahnya. Rena meraih lembaran itu dan membacanya. Matanya menjadi nanar menatap pria di dekatnya. Hatinya mengkeruh merasa pilu.

"Singapura? What the fuck?!"

Rezan mengacak rambutnya frustasi. "Ren, besok sore aku akan kehilangan dua orang yang sangat aku sayang di dunia ini. Aku di sana mau ngejar cita-cita, gak ada hal lain." Pemuda itu mengambil tangan Rena untuk digenggam.

"Baru aja kamu janji gak bakal ninggalin aku, tapi kenapa? Oh shit, bodohnya aku percaya sama janji kamu, Zan!" bentak Rena dengan nada yang masih dikontrol.

"Ren, aku sayang sama kamu. Aku gak bakal ninggalin kamu selamanya juga. Setiap ada liburan pasti aku ke sini," ucap Rezan.

Rena menggeleng dan tak sangka. "Jangan lagi buat janji, aku gak mau dikasih harapan dari kamu," ujarnya.

Kalau saja semesta mengabarkan akan ada pilu dalam hari ini, pemudi itu tak akan membiarkannya. Dan kalau saja pria di hadapannya tidak memberikan sekecil harapan, Rena tak bisa pernah meluapkan amarah sekaligus kesedihannya. Rezan, seseorang yang sudah membuatnya benar-benar menyesal merasakan cinta.

"Ren, dengerin aku kali ini! Aku gak pernah bohong, aku gak bakal nyia-nyiain kamu. Kamu wanita yang sayang di dunia ini," katanya sembari memeluk Rena.

Tak ada yang lebih pedih dari kebohongan seseorang yang kita sayang. Di antara tak rela dan kecewa, pemudi itu gundah. Sementara, sang pria selalu saja ingin meyakinkan bahwa ucapannya benar. Rena meneteskan air matanya di jaket sang lelaki. Mengapa langit mengirimnya hanya untuk menyakitkan saja.

"Aku sayang kamu." Rena semakin berkaca-kaca, setelah mengucapkan perasaannya.

Rezan mengelus punggung gadis tersebut sembari melengkungkan sudut bibirnya. "Aku lebih sayang kamu, jangan khawatir. Aku akan selalu ada buat kamu."

***

Bait Terakhir [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang