[2] Di Khitbah?

9 2 0
                                    

Happy Reading 💜

***
"Ifa," panggil Andin kepada putrinya.

Alifah yang merasa dirinya terpanggil langsung menolehkan kepalanya, menatap Andin. "Iya, Nda," jawabnya.

"Tadi Alifa udah kenalan sama Tante Rania juga sama Om Adit, 'kan? Terus tadi Ifa juga bilang kalau Ifa mau jadi anaknya Tante Rania, 'kan?" tanya Andin yang di angguki putrinya.

"Ifa boleh, kok, jadi anaknya Tante Rania, tapi, ada syaratnya," kata Andin berhati-hati, jujur ia sendiri bingung harus memberitahu putrinya mulai dari mana.

"Ya Allah, Bunda. Ifa tadi cuma bercanda, kok. Ifa mau jadi anaknya Bunda aja," jawab Alifah.

"Tapi sekarang Bunda sedang serius,"

"Ma-maksud Bunda gimana? Bunda marah, ya, sama Ifa?" tanya Alifah dengan perasaan yang kini sudah berubah menjadi sedikit tegang.

"Enggak. Bunda nggak marah sama Alifa. Bunda malah seneng kalau Ifa mau jadi anaknya Papa Adit sama Mama Rani," ujar Andin dengan menatap serius putrinya.

"Mama? Papa? Maksudnya gimana, Nda? Ifa nggak paham," kata gadis itu yang di akhiri dengan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Maksud Bunda, Om Adit sama Tante Rania itu calon orangtua kedua Alifa,"

"Bunda ... Demi Allah, Ifa bercanda. Ifa mau jadi anaknya Bunda," kata gadis itu dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca.

Calon Mama? Calon baru? Orangtua baru? Ya Allah, ini sebenarnya ada apa? Kenapa jadi aneh gini? Padahal Ifa tadi cuma bercanda.

Seketika kepala Alifah di buat berdenyut nyeri karena pertanyaan-pertanyaan yang melintas di kepalanya. Tuhan, Ada apa sih ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba saja semuanya berubah menjadi aneh.

"Ma-maksudnya, Bunda sama Ayah mau kasih Ifa untuk Tante Rania sama Om Adit, gitu? Bunda sama Ayah udah nggak sayang lagi, ya, sama Alifa? Emangnya Alifa nakal banget, ya, Nda? Sampai Bunda mau kasih Alifa ke Om Adit sama Tante Rania?" Dengan suara bergetar Alifah menyampaikan kalimat itu. Dua tetes buliran bening sudah berhasil jatuh tanpa di komando.

"Enggak gitu, Nak," ujar Andin dengan suara bergetar, tangannya terulur untuk menghapus jejak air mata putrinya, "Ifa jangan salah paham dulu. Ifa juga jangan nangis, Bunda jadi makin bingung gimana mau nyampaikannya ke Ifa, kalau Ifa nangis gini." Andin yang melihat putrinya menitikkan air mata, kini matanyapun jadi ikut-ikutan berkaca-kaca.

"Yaudah gini, biar saya saja yang menjelaskan secara langsung, ya, Nak Ifa. Biar semuanya jelas, dan sekalian saya mau mengutarakan niat kami berdua berkunjung di rumah ini. Bagaimana, Nak?" kata Aditya, meminta izin untuk menjelaskan semuanya.

Sejurus kemudian Alifah menganggukkan kepalanya, tanda ia menyetujui jika ia mengizinkan Aditya untuk menjelaskan semuanya.

"Bismillahirrahmanirrahim. Jadi gini, yang pertama, pasti kalian berdua bingung, Om Adit dan Tante Rani ini siapa? kenapa tiba-tiba datang ke rumah? Om yakin, pertanyaan seperti itu berputar di kepala kalian berdua, iya, 'kan?" tanya Aditya yang reflek membuat Alifah dan Alvin menganggukkan kepalanya.

Aditya menampilkan senyum tipisnya. "Jadi, Tante Rania dan juga Om Adit ini teman lamanya Ayah sama Bundanya, Alvin sama Alifah. Sebelum ini, kita pernah ketemu kok, tapi mungkin waktu itu kalian berdua masih terlalu muda, jadi mungkin agak susah untuk mengingat di usia yang masih balita. Om Adit sama Ayah Zaidan itu sahabat sedari kecil, dulu kita berdua sekolah dari masa Paud sampai menyandang status sebagai sarjana selalu satu sekolah dan satu kampus. Tapi karena penempatan pekerjaan, Om Adit harus pergi ke luar pulau, cukup lama di situ, sampai pada akhirnya ketemu sama Tante Rania dan menikah, hingga di karuniai seorang putra. Tepat di saat anak pertama kamu berusia dua tahun, Om pindah tugas lagi, di sini, satu kantor sama Ayah kalian, dulu Alvin juga udah seumuran anak sulung Om, dan waktu itu Alifa masih bayi, tapi qodarullah setengah tahun setelah kembali ke sini, Om di pindahkan tugas lagi di pulau Jawa. Akhirnya, Om, Tante, sama anak sulung Om harus pindah lagi ke pulau Jawa," jelas Aditya yang di simak dengan baik oleh kedua anak berseragam abu putih itu.

Imam Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang