Chapter 1

41 1 1
                                    

Sekolah menjadi salah satu siklus hidup manusia yang harus dijalani oleh setiap orang. Tujuannya adalah agar bisa mendapatkan pekerjaan untuk mendapatkan uang sebagai cara bertahan hidup. Lalu setelah semua yang dilalui untuk bertahan hidup semua akan mati dan sia-sia. Padahal manusia seringkali menjatuhkan satu sama lain, berbuat jahat hingga membunuh satu sama lain demi bertahan hidup, sungguh tidak berguna.

Hidup sangatlah tidak berguna, begitu menurut seseorang yang sedang tertidur dengan menenggelamkan kepalanya pada kedua tangannya yang terlipat di bangku pojok paling belakang dekat jendela. Koo Jena, 17 tahun dan sudah menyerah untuk hidup bersungguh-sungguh.

Awal bulan maret ketika udara mulai sedikit menghangat, para pelajar memulai tahun ajaran baru. Ini hari pertama Jena dan seisi kelasnya menjalani kehidupan sebagai siswa kelas tiga di sekolah menengah, setengah di antaranya sudah membaca-baca buku pelajaran yang baru mereka dapatkan hari ini, setengah lainnya hanya berisik berbincang, dan satu murid yang tidur setelah memilih bangku barunya yang memiliki posisi sama dengan bangku di kelas lamanya.

Ruangan menjadi sedikit tenang ketika pintu terbuka menampilkan seorang pria dewasa membawa penggaris panjang dan seorang pemuda yang memakai seragam seperti mereka. Wajahnya asing, membuat semua menyimpulkan bahwa itu adalah murid pindahan. Beberapa siswa mengeluh karena melihat sosok guru yang akan menjadi wali kelas mereka.

"Kenapa Yunho saem yang jadi wali kelas kita?" Celetuk salah satunya.

Seorang guru yang terkenal penuh semangat itu sedikit kecewa, "Tidak suka? Kau bisa pindah sekolah kalau begitu."

"Kalau begitu sekolah ini akan kehilangan 30 murid." Jawab seorang murid laki-laki pria berkulit kecoklatan dan berpipi tembam, ia tertawa mendengar celotehnya sendiri.

Jung Yunho hanya menjawabnya dengan menghentakkan penggaris besarnya pada meja tempatnya berdiri, membuat murid yang bernama Lee Haechan tersebut menggigit bibirnya. Mata Yunho berkeliling, menemukan kepala yang meringkuk di meja belakang pojok tepat berada di sebelah jendela, yang dia tahu pasti itu Koo Jena. "Renjun, bangunkan Jena," Perintahnya pada murid yang duduk tepat di depan Jena.

Pemilik nama Hwang Renjun tersebut mengeluh dengan menghela nafasnya kasar sebagai tanda jika ia memprotes apa yang diminta oleh guru berkepala tiga tersebut, tapi tidak bisa menolaknya.

"Jeno, bisakah kau saja yang membangunkannya?" Renjun berbisik memelas pada teman sebangkunya yang bermarga Lee. Dia sangat menyesal tidak berangkat pagi-pagi agar bisa memilih bangku yang jauh dengan Jena.

Jeno menampilkan senyumnya yang lebar. "Tentu saja tidak."

Renjun mengumpati Jeno dengan matanya. Ketika membalikkan diri ke belakang untuk membangunkan teman sekelasnya itu tangannya sedikit meragu.

"Hei, hei Koo Jena." Tangan Renjun menusuk-nusuk pundak Jena.

Jena menggeram, mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang yang berani membangunkannya. Si pelaku tersentak mundur dan menundukan kepalanya.

Mata Jena memicing, "Sialan."

"Siapa yang sialan?"

Suara berat tersebut membuat Jena merapatkan bibirnya, dirinya mulai merutuki sistem pendidikan yang mengharuskan para orang tua atau wali seorang pemuda menghabiskan uang untuk diatur-atur oleh orang dewasa asing. Sedangkan Renjun merasa lega karena ada tameng yang melindunginya kali ini.

Kesadaran Jena mulai berangsur kembali setelah melihat guru matematika berdiri di depan kelasnya, Jena mengumpat lagi dalam hatinya bagaimana guru yang terlalu banyak semangat itu menjadi wali kelasnya. Hidupnya akan berat di tahun terakhirnya bersekolah. Matanya menemukan orang lain berseragam yang berada tidak jauh di sebelah guru tersebut.

The Moon of MoonflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang