-Tentang sebuah hubungan-
"Hey, bisa bertemu?" Ujar seorang pria bersuara bariton dari balik telepon.
"bisa," Balas sang surai hitam menahan isak dengan tubuhnya yang bergetar hebat.
"ditempat biasa ya," lanjutnya berucap.
tut tut tut . . .
Belum sempat ia menjawab, Sang Akhir telah mematikan telepon tersebut. Suara candunya yang membekas di telinga, meninggalkan kehangatan dalam dada yang seakan mulai meredup.
"apakah semuanya harus berakhir sekarang?" Helaan napas terdengar berat. Ia belum bisa menerima retaknya hubungan mereka.
Sang surai hitam menunduk dalam-dalam ditemani dengan dentingan jam yang berirama. Hujan mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarnya yang gelap bagai harapannya yang pupus ditelan kenyataan. Ah, ingin sekali ia berteriak, namun apalah daya tercekat di pangkalnya. Ia hanya bisa meraung dan menangis dalam diam, ribuan tetes air mata terbuang sia-sia hanya untuk menangisi insan yang sama sekali tidak peduli apa arti dari menjaga dan mencintai.
"ah ini gila, aku belum ingin ini berakhir," Ujarnya sekali lagi dengan air yang masih terus mengalir dari kedua sudut matanya. Kepalanya ia pukul keras-keras dengan telapak tangannya hingga muncul kemerahan. Ia merasa bahwa dirinya lah yang paling bodoh diantara yang lain.
Semua harap menggantung dalam awangnya, tak bisa digapai karena semuanya akan berakhir. Tidak ada lagi kata kita di sini, sebentar lagi semua itu akan kembali menjadi aku dan kamu. Masih dengan sesenggukan, ia mulai berdiri dan bersiap menemui sang Akhir. Memakai jaket dan mulai menenteng tasnya, jangan lupa payung untuk menjaga tubuhnya agar tidak basah terkena tetes hujan.
Hanya perlu berjalan beberapa menit menembus hujan ia sudah sampai di tempat itu, cafe minimalis yang selalu dijadikan tempat kencan mereka dulu. Lonceng berbunyi tanda seseorang memasuki cafe. Netranya mencari eksistensi sang penelpon. Setelah keduanya bertemu pandang ia pun segera menuju meja tersebut dan mulai menduduki kursi yang disediakan.
"mau ngomongin apa kak?" tanya surai hitam sembari menahan getarannya, ia tidak ingin di pandang lemah.
"ayo putus," ujarnya santai sebelum kembali diredam oleh ramainya para pengunjung.
"iya kak?" tanyanya sekali lagi memastikan.
"ayo putus. Hubungan kita gak ada jalan tengahnya," jelas lelaki dengan surai merah muda dan mata rubynya yang semerah darah itu sekali lagi. Matanya sudah tak memancarkan ketertarikan, berbeda sekali saat mereka pertama kali bersua.
"baiklah kalau memang itu yang terbaik buat kita aku gak masalah sama sekali," Ucapnya pasrah dengan suara yang mulai bergetar, penglihatannya mengabur akibat tangisnya yang mendesak ingin keluar. Ia segera berdiri dan pergi dari situ, meninggalkan sosok yang dipanggil kakak olehnya.
Air yang turun membasahi tubuhnya sudah ia hiraukan sendari tadi. Berjalan tanpa arah menuju rumah sambil memeluk tubuhnya yang mulai menggigil. Tangisnya sudah reda meninggalkan sembab di sepasang mata indahnya yang terlihat lesu. Langkahnya gontai akibat kaki yang mulai melemas, rasanya ingin sekali ia tenggelam dalam palung Mariana dan beristirahat disana.
tap tap tap..
suara langkah kaki terdengar cepat dari arah belakang seperti sedang mengejar sesuatu. Belum sempat dirinya menoleh, sepasang tangan kekar telah melingkar apik di pinggangnya untuk menahan tubuh surai hitam yang lemas. Netra keduanya yang saling bertemu pun mulai menyelami keindahan manik masing-masing, menyalurkan emosi yang tersirat tanpa henti, namun tidak dapat ditangkap oleh manik zamrudnya. Lelaki itu bersurai putih dengan mata biru langit yang indah, hampir tenggelam, si surai hitam mulai gelagapan.
"hati-hati," ujarnya seraya menahan tubuh surai hitam. Tangan satunya ia pakai untuk memayungi tubuh keduanya.
"eh?" manik zamrudnya melebar dihiasi dengan rona di pipi yang kian memanas.
"kamu gapapa?" tanya si surai putih khawatir.
"gapapa kok, makasih ya," balasnya sembari mendorong bahu pria tersebut agar segera menjauh dari dirinya.
Surai hitam itu segera berdiri lagi dan membawa tungkainya pergi, namun kepalanya kembali ditarik oleh payung yang dibawa lelaki tersebut hingga si manis kembali mundur mendekatinya lagi. Ah, harinya sungguh sial jika dipikir-pikir. Sudah hubungannya yang hancur sekarang ia bertemu dengan pria gila yang mengikutinya diam-diam.
"apaan sih anj-" belum selesai ia berbicara, si surai putih menempelkan telunjuknya ke depan bibir si manis tanda ia harus diam.
"udah gue anterin aja. Ngomong-ngomong nama gue Gojo Satoru. Panggil Gojo aja boleh," Ujarnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.
"eh? ak- gue Megumi. Fushiguro Megumi," balasnya sedikit terbata sembari menjabat uluran tangan Gojo.
"salam kenal ya Gumi,"
Kedua insan itu tidak tau kalau jabat tangan yang dilakukan malah mengikat mereka di masa depan. dua rasa yang dipertemukan melalui ketidaksengajaan. Rasa yang tersirat dalam untaian kata diterima baik oleh pujaan hati. Potongan cerita mereka buat menjadi sebuah film singkat yang disaksikan oleh semesta. Masa lalu akan kembali cepat atau lambat. Merusak jalin cinta yang mereka bangun dengan kokoh, menghancurkannya hingga keping terkecil. Di atas, semesta ikut menangis tersedu-sedu dengan menurunkan hujan kembali.
—
Hai! ini prolognya nyeritain pas mereka pegat dan pertemuannya sama Gojo. Semoga kalian suka sama ceritanya.
Maaf banget kalau ada typo atau kata-kata yang ga nyambung gitu. Aku mau nyoba sok puitis dulu :)
Jangan lupa vote atau komen biar aku semangat nulisnya ya-!
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐭𝐚𝐜𝐞𝐧𝐝𝐚 || Gofushi
FanfictionLaut menguap membawa kenangan itu pergi, namun rintik hujan seolah ingin mengingatkannya kembali. Ia bertanya kapan si manis akan kembali, karena ada hati yang terus menanti. "Jadikan ini sebuah rahasia," "tenang, aku pergi hanya sementara bukan sel...