Twelve : Dream

867 149 4
                                    

Harry Potter and the Prisoner of Azkaban : The Other Side

•••

Aku menangis kencang dalam pelukan Amos, sedangkan Cedric yang berdiri di samping kami menunduk dalam-dalam tak kuasa melihat pemandangan di depan sana. Di mana seorang wanita tua dengan surai putihnya tengah bersusah payah berusaha mempertahankan hidupnya melawan maut. Sedangkan, seorang wanita berambut cokelat yang mungkin seumuran dengan Amos juga tengah berusaha sekuat tenaga untuk menyalurkan sihir mereka bersama beberapa orang lainnya.

Tepat saat wanita berambut putih itu berhenti bergerak dan menutup mata, wanita berambut cokelat tersebut langsung berhenti menyalurkan sihirnya dan terisak dengan suara lirih. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun, ketika salah seorang dari mereka mengatakan sesuatu, aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Amos dan Cedric juga sama-sama menangis, tetapi terlihat begitu jelas bahwa mereka tengah berusaha mati-matian untuk tidak mengeluarkan isak tangis.

Aku kemudian meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan ayahku. Beruntung, Amos tak menahanku seperti sebelumnya. Lantas saja aku berlari menghampiri ranjang dan memeluk wanita berambut putih tersebut dengan sayang.

"Grandma! Wake up! Don't leave me! Nenek sudah janji buat terus nemenin Lucy main sama Ginny, Luna. Grandma! Wake up!" Aku mengguncang tubuh wanita ringkih tersebut pelan, berharap bahwa ia akan bangkit dari posisi tidurnya dan berbicara bahwa ia hanya bercanda. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Aku merasakan tubuh wanita dalam pelukanku itu perlahan semakin mendingin, semakin pucat. Seolah sudah tak ada tanda kehidupan lagi di dalam sana. Senyum yang biasanya selalu berhasil memancarkan kehangatan padaku, kini telah sirna.

"Lucy, just play with Mom later, okay? Grandma 'kan capek, harus istirahat. Besok Mom janji ajak Ginny dan Luna main ke sini, we play hide and seek together, okay?" Wanita berambut cokelat itu memelukku, menenangkanku dengan mengelus suraiku lembut sembari mengecup keningku ringan. Namun, hal itu benar-benar tak berefek sama sekali padaku. Aku terus saja menangis semakin tak terkendali kala wanita tersebut menggendongku, membawaku keluar dari kamar Grandma.

"No, I just want to be with Grandma! Mom, don't separate me from Grandma! Grandma must be awake soon! Mom--"

••••

Aku menyapukan pandanganku pada orang-orang yang ada di sekitarku, mereka semua memakai pakaian berwarna hitam. Begitu juga denganku. Tidak ada senyum, tidak ada rona kebahagiaan, suram, dan penuh kepedihan. Bahkan langit pun turut bersedih dengan menampakkan awan kelabunya, seolah tak kuasa menahan luapan air yang mengembun dan segera ingin menumpahkannya. Aku, terpaku pada sebuah nisan yang bertuliskan nama seseorang yang selama ini aku panggil 'Grandma'. Agatha Laurens, sosok nenek yang begitu baik dan rendah hati. Selalu tersenyum, meski aku berkali-kali membuatnya kesal dengan segala tingkahku yang menyebalkan.

Perempuan berambut cokelat itu, yang biasa kupanggil 'Mom', memelukku erat seolah aku akan ambruk jika ia tak melakukannya. Karena nyatanya, kakiku benar-benar lemas, seolah tak ada tenaga bagiku untuk tetap berdiri tegak. Sementara itu, Cedric berdiri di samping Dad yang sedang merangkulnya. Luna dan Ginny, yang awalnya berdiri bersama dengan keluarga mereka masing-masing, kini berjalan mendekatiku.

"Lucy, jika kau membutuhkan teman untuk mendengarkan keluh kesahmu, kami akan selalu ada untukmu." Luna tersenyum kecil sembari menggenggam tanganku, berusaha menenangkan.

"Kapanpun?" tanyaku lirih.

Luna dan Ginny saling berpandangan, sebelum kemudian Ginny mengangguk dan ikut menggenggam tanganku yang lain. "Ya, kapanpun."

The Other SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang