Hai, kenalin aku Senjani. Biasanya orang-orang memanggilku Senja. Pasti kalian bingung kenapa judul cerita ini "Tentang Fajar" sementara tokoh yang kalian kenal malah aku, Senjani. Sebenarnya gak terlalu rumit kok penjelasannya. Di sana, tepat di meja baris ketiga dari depan, iya laki-laki berkacamata di sana, yang setengah jam lagi baru aku tahu namanya adalah Antariksa Fajar. Indah, kan? Nama kami jadi terdengar sepasang, Fajar-Senja. Itulah awal dari semua cerita ini dimulai.
...
"Athena Senja Nindita, coba perkenalkan diri kamu!"
Itu suara dari kakak panitia masa orientasi siswa (MOS) di sekolah baruku. Sesi perkenalan baru saja dimulai, urut sesuai absen. Sekarang adalah giliranku. Apalagi yang kutunggu, aku berdiri kemudian tersenyum ramah ke semua orang di ruangan ini. "Halo semuanya. Salam kenal, namaku Athena Senja Nindita. Kalian bisa panggil aku Senjani atau Senja aja juga boleh. Aku asli Jogja."
Aku kembali duduk karena sesi perkenalan akan berlanjut. Aku tidak terlalu memperhatikan sekelilingku, siapa yang sedang berdiri memperkenalkan diri, dari mana mereka berasal, tinggal dimana, sungguh aku tidak terlalu peduli. Bukan karena aku apatis, tapi aku masih gugup. Ini hari pertamaku di bangku SMA.
Sampai suara kakak panitia yang tadi mengabsen, menyebutkan nama yang cukup menarik. "Antariksa Fajar, ayo perkenalkan diri kamu!"
Aku menoleh ke sumber suara, penasaran dengan orang yang kakak panitia tadi maksud. Dia, laki-laki dengan kacamata minus dan kulit putih kemerahan tampak berdiri dan mulai memperkenalkan diri.
"Hai semuanya, aku Fajar. Asalku dari Bandung."
Bandung.
Apa aku tidak salah dengar? Dia berasal dari kota yang beberapa tahun lalu aku tinggali. Oh tuhan, ini sungguh menarik.
...
Suasana halaman depan sekolah begitu ricuh, ramai sekali saat semua murid kelas 10 dikumpulkan di satu tempat diwaktu yang bersamaan. Kami sedang menonton beberapa ekstrakurikuler yang ditampilkan beberapa kakak kelas kami. Teman-temanku mulai berbincang tentang ekstrakurikuler mana yang akan mereka pilih. Terdengar seru sekali, kadang mereka sampai menunjuk-nunjuk ke arah panggung dengan heboh.
Aku sudah memilih satu ekstrakurikuler yang tampaknya akan cocok denganku. Band. Entahlah, aku tahu kemampuan bernyanyiku masih sangat jauh dari harapan. Ya paling tidak aku bisa menyalurkan sedikit bakat konyolku, kan?
Ngomong-ngomong kemarin aku baru saja mengikuti tes penjurusan kelas. Aku dengar pengumuman hasilnya akan diberi tahu setelah ekspo ekstrakurikuler berakhir. Aku menilik jam di tanganku. Jika tidak salah hitungan, seharusnya sih 15 menit lagi. Semoga saja nanti tidak perlu berdesak-desakan saat melihat papan pengumuman. Aku benci itu.
Tiba-tiba Athala yang duduk di sampingku menepuk bahuku pelan. "Senja, mudahan kita sekelas ya. Aku pengen banget masuk IPA."
Aku hanya mengangguk takzim, tidak terlalu berharap bisa masuk jurusan yang Athala sebut barusan. Bukan karena aku tidak ingin sekelas dengannya, bagaimana pun aku juga belum mengenal banyak orang di sekolah ini. Aku hanya merasa saat ujian kemarin, aku tidak dalam kondisi yang baik dan tidak terlalu fokus saat mengerjakan soal.
"Oke, semua ekstrakurikuler udah selesai nampilin ekspo di panggung ini. Itu berarti kita hampir berada di penghujung acara. Setelah ini, adek-adek kelas 10 bisa langsung liat papan pengumuman disana buat penjurusan kelas kalian." Salah satu kakak panitia memberi pengumuman sambil menunjuk salah satu papan pengumuman yang letaknya tak jauh dari panggung tempatnya berdiri.
Saat dirasa semua sudah mengetahui letak papan yang dimaksud, kakak panitia tadi menutup acara ekspo dengan doa bersama dan salam. Setelah itu barisan kelas 10 dibubarkan dan mulai memadati papan pengumuman.
Ya tuhan kenapa harus desak-desakan sih. Apa mereka tidak bisa kalau tidak rebutan begitu? Apa sulitnya sih santai sedikit? Lagipula papan pengumuman itu tidak akan lari kemana-mana.
Aku yang tadinya masih berdiri di dekat tempat dudukku, berjengit kaget karena secara tiba-tiba Athala menarikku ke arah kerumunan itu. Jelas saja, mau tidak mau aku jadi ikut masuk kesana. Saking ramainya, tubuhku terdorong kesana-kemari.
Tangan Athala sudah sibuk menunjuk kertas-kertas daftar nama siswa di hadapannya, tentu saja mencari namanya. Dia sedikit mendengus kecewa beberapa saat kemudian. Tatapannya berbalik ke arahku, wajahnya kecut.
"Senja, kita gak satu kelas."
...
Aku masuk ke dalam ruangan yang tidak jauh dari kelas lamaku, duduk di bangku paling depan sambil menunggu seseorang mengajakku berkenalan dan duduk semeja. Ini agak aneh sebenarnya, ada kebiasaan lama yang sulit aku rubah. Aku punya kesulitan sendiri untuk mengajak seseorang berkenalan dan mengobrol kecuali orang itu duluan yang memulai. Otakku biasanya akan berpikir keras tentang apa yang harus aku katakan untuk membuka pembicaraan. Padahal dari sepengelihatanku, siswa-siswi di ruangan ini banyak yang kemarin satu kelas denganku saat masa orientasi. Jadi, seharusnya aku bisa sedikit lebih mudah mengenal mereka, kan?
Dari arah luar, terdengar suara bising orang mengobrol. Mungkin sekitar empat sampai lima orang. Saat sudah sampai di dalam kelas, mereka mulai memilih ingin duduk dimana dan dengan siapa. Dua orang dari mereka datang ke mejaku.
"Senjani dari kelas H, kan?" Salah satu dari mereka ternyata mengenaliku. Aku berusaha tersenyum walau aku yakin wajahku sekarang seperti orang bodoh. "Aku sama Tasya duduk disini boleh gak? Oh iya, aku Handin, siapa tau kamu lupa."
"Boleh kok." Jawabku singkat.
Handin dan Tasya langsung meletakkan tas mereka di kursi yang ada di samping kanan dan kiriku. Iya, pembagian meja di sekolahku memang unik, 2-3-2. Mungkin untuk meminimalisasi ruangan. Tasya mulai mengajakku mengobrol. Ternyata dia memiliki cukup banyak kesamaan denganku. Dia adalah anak sulung, begitu pun denganku. Ayah Tasya seorang tentara, ayahku juga. Dan yang paling menarik adalah, kami sama-sama suka membaca novel. Berkenalan dengan orang baru ternyata tak seburuk bayanganku. Ini malah cukup menyenangkan.
Seorang guru berjalan santai memasuki kelas beberapa menit setelah bel berbunyi. Ya seperti yang sudah-sudah, kami disuruh perkenalan satu-satu ke depan, bukan hal yang sulit. Sampai pada urutan siswa ke delapan belas, aku tertegun. Disana, berdiri sosok siswa laik-laki yang seminggu lalu sedikit menarik perhatianku.
Antariksa Fajar.
Oh tidak, kami sekelas untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Fajar
Teen Fiction"Sejak kapan?" Sejak hari pertama kita bertemu, tiga tahun yang lalu. Ingin mengatakannya dengan lantang, memberi tahunya bahwa sudah selama itu aku menunggu. Sayang sekali, kalimat itu hanya bersarang di tenggorokanku dan tidak ada keinginan untuk...