Operasi Tumor

11 3 2
                                    

Suasana rumah sakit hari ini cukup ramai. Hilir mudik pasien, dokter, dan perawat rasanya tak berkurang bahkan setelah hampir dua jam aku duduk manis disini. Aroma antiseptik dan racikan obat menguar hampir ke seluruh ruangan, menambah kesan menyebalkan. Satu fakta menarik, aku sangat tidak menyukai rumah sakit. Aromanya, suasananya, lorong-lorong panjangnya, ah sepertinya apapun yang menyangkut tentang rumah sakit, aku pasti tidak menyukainya. Tidak ada alasan pasti, hanya sekadar tidak suka secara berlebihan saja. Sama halnya dengan seseorang yang tidak suka dengan durian tapi bisa memakannya. Jadi bila disuguhkan, ya dimakan, bila tidak ya syukur.

Baiklah, kembali ke topik utama. Pasti kalian bertanya-tanya mengapa aku berada di tempat penuh obat dan perawat ini. Jawabannya adalah aku akan melakukan operasi tumor. Hei tidak perlu terkejut seperti itu, ini hanya tumor jinak. Dokter bilang aku datang diwaktu yang tepat, tumornya masih berupa benjolan berisi liquid, yang artinya belum membahayakan.

"Nih, minum dulu."

Itu papaku. Ia tadi izin pergi sebentar tapi tidak mengatakan mau pergi kemana, ternyata ke kantin rumah sakit untuk membeli minum. Ya memang kalau dipikir-pikir dua jam menunggu di tempat menyebalkan ini pasti rasanya haus, lapar, dan bosan. Aku sendiri bila bukan karena menunggu antrean obat di apotek rumah sakit, sebenarnya juga tidak mau.

Papa mengambil posisi duduk tepat di sampingku, memerhatikan gerak-gerikku selagi aku meminum air mineral pemberiannya. "Tadi kata dokter hari Senin besok sudah bisa dijadwalkan operasinya, Minggu malam Senja harus udah nginep disini. Nanti mama yang nemenin. Gapapa, kan?"

Aku mengangguk, itu bukan masalah besar. Aku juga sudah tidak tahan menahan rasa nyeri dan pegal di punggungku sejak dua hari yang lalu. Semakin cepat aku melakukan operasi, maka semakin baik.

"Besok papa yang anter ke sekolah sekalian nemuin wali kelasnya Senja buat minta izin seminggu buat operasi sama bed rest ya. Takutnya kalo dipaksa langsung sekolah malah kenapa-napa." Papa mengelus kepalaku lembut, tampak khawatir. Memang wajar sih. Biasanya putrinya hanya sakit kepala, demam, pusing, batuk, pilek. Paling parah ya paling-paling diare. Tapi tiba-tiba harus dioperasi karena tumor. Pasti papa sangat mengkhawatirkanku saat ini.

Tunggu dulu, seminggu? Selama itu aku harus izin sekolah? Aku bahkan baru dua hari masuk sekolah sejak penjurusan kelas. Aku belum hafal teman sekelasku sendiri. Bagaimana jadinya bila nanti aku tidak dapat teman sebangku?

"Seminggu gak kelamaan pa? Senja baru masuk dua hari lho, belum punya teman."

Papa menggeleng sambil tersenyum. "Papa gak mau ambil resiko Senja."

Tak berselang lama, seorang apoteker memanggil namaku dari balik bilik. Ini giliranku mengambil obat.

"Mba Athena Senja Nindita, ini obatnya diminum tiga kali setelah makan, kalau bisa sebelum jadwal operasi sudah dihabiskan ya Mba. Setelah ini bisa kembali ke poli penyakit dalam untuk penjelasan ulang. Terima kasih." Apoteker di balik bilik menjelaskan secara rinci aturan minum obat yang sudah diresepkan dokter untukku.

Aku mengangguk patuh kemudian memutuskan langsung berjalan menuju tempat yang apoteker tadi sebutkan. Di meja bagian depan tampak seorang dokter sedang membolak-balik berkas, mungkin data pasien. Sampai ia menyadari presensiku, ia langsung berjalan tergopoh-gopoh ke arahku.

Ia memperkenalkan diri sebelum menjelaskan beberapa hal detail kepadaku. Aku banyak mendengar dia mengucapkan kata cairan dan puasa. Iya, sebelum operasi berjalan, aku harus menjalani puasa dulu. Katanya sih untuk menetralkan isi perutku sebelum akhirnya dibedah. Aku hanya mengiyakannya saja. Bagaimana pun kalau aku ingin segera sembuh, aku harus mengikuti prosedur yang diminta dokter, kan?

...

Anggieta:

Senja, kita ada pr matematika wajib, ini aku fotoin soalnya.

Maaf ga bisa ngajarin ya, aku agak lemot kalo matematika.

Send a pict.

Senjani:

Makasih banyak ya, Ta.

Send.

Kenalin, dia teman baruku. Namanya Anggieta, tapi lebih akrab dipanggil Gieta. Dia sekelas denganku, kami terbilang lumayan dekat akhir-akhir ini. Gieta-lah yang slalu memberiku info tugas dan materi di sekolah selama aku izin menjalani operasi. Keberadaan Gieta cukup banyak membantuku untuk mengejar ketertinggalan materi, apalagi aku belum mengenal semua teman sekelasku.

Omong-omong, ini sudah menginjak hari keempat aku di rumah sakit. Kemarin siang, operasi sudah dilakukan dan alhamdulilah berjalan lancar. Sekarang punggungku dibalut perban yang agak menyulitkanku bergerak. Setiap beberapa jam sekali akan ada suster yang mendatangi kamar inapku untuk mengontrol kondisiku. Tentunya selang infus juga masih bertengger manis di punggung tangan kiriku. Kata dokter, kalau keadanku sudah cukup baik, besok aku sudah bisa pulang untuk melanjutkan rawat jalan dan pemulihan. Lalu setiap minggunya aku harus rutin check up dan mengganti perbanku.

Aku sedikit terkesiap karena suara ketukan dari pintu kamar. "Permisi". Ah itu perawat ternyata. Tatapanku mengedar, jam dinding menunjukkan pukul 2 siang, sudah waktunya aku makan siang. Pasti perawat itu yang siang ini ditugaskan mengantarkan makanan ke kamarku.

Suara troli besi terdengar nyaring di ruangan 5 x 6 meter ini. Senyuman dari wanita berpakaian putih-putih itu tampak manis. Ia menata bubur, sup, dan buah di atas nakas di samping brangkarku. "Mba Senja, ini dihabisin ya, obatnya juga udah saya taruh di sini. Bisa makan sendiri kan? Atau mau saya suapin aja?" Perawat di rumah sakit ini memang sangat ramah. Kadang saat tengah malam aku kesulitan tidur karena bekas operasiku terasa kebas, mereka akan menemaniku mengobrol mengingat mama dan papa yang tidak bisa 24 jam menemaniku di rumah sakit.

Aku menggeleng yakin. Aku sudah pulih, hanya tinggal menunggu bekas operasinya kering dan aku akan sembuh sepenuhnya. Jadi, menyendokkan makan siang ke mulutku bukan perkara sulit.

Perawat itu berdiri, bersiap meninggalkan kamarku untuk mengantarkan menu makan siang ke kamar berikutnya. Lagi-lagi ia tersenyum ramah. "Ya sudah, saya tinggal ya mba. Have a nice day, Mba Senja."

...

Hari ini adalah hari Sabtu, hari pertamaku kembali ke sekolah setelah hampir 2 minggu harus berkutat dengan rumah sakit dan obat. Rasanya agak asing, aku seperti menjadi murid baru lagi. Padahal aku sudah kenal dengan beberapa teman sekelasku sebelumnya, tapi tetap saja rasanya sedikit aneh.

Tadi pagi, saat aku sampai di kelas, ternyata belum ada yang datang sama sekali. Padahal sudah pukul 06.30. Entahlah, mungkin karena jarak rumahku ke sekolah yang terlalu dekat sementara rumah mereka cukup jauh. Saat kelas kosong seperti ini, aku malah dibuat bingung dengan pilihan tempat duduk yang akan aku pilih. Aku belum cukup akrab dengan siapapun kecuali Gieta dan yang aku tahu Gieta sudah memiliki teman sebangku. Akhirnya aku putuskan untuk duduk di kursi paling depan dekat meja guru.

Lima belas menit berlalu, teman-teman sekelasku mulai berdatangan. Mereka terlihat sudah begitu dekat satu sama lain. Ah, aku iri. Kalau bukan karena operasi menjengkelkan itu, pasti aku sudah akrab juga dengan mereka.

Bunyi bel masuk terdengar di penjuru sekolah. Bersamaan dengan itu, dari arah anak tangga terakhir tampak seorang gadis dengan tampilan sedikit berantakan berlari kencang lalu menghampiri mejaku. Ia langsung mendudukkan bokongnya di kursi yang berada tepat di sebelahku. Lalu dengan nafas putus-putus ia menoleh, "eh halo, kenalin aku Rani. Kamu Senja ya? Yang kata bu Mirna habis ambil cuti buat operasi kan?"

Wow, seterkenal itu ternyata. Sekarang setiap orang di kelasku pasti melabeli diriku dengan sebutan "Senja si cuti untuk operasi". Dibanding memberi reaksi kaget, aku lebih memilih mengangguk seraya mengajaknya bersalaman. Tidak buruk juga, paling tidak mereka sudah mengenalku.

Tentang FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang