Episode☝🏻

448 58 3
                                    

"Do not take for granted the things closest to your heart. Cling to them as you would with your life, for without them, life is meaningless."

[...] 🍓

Di hari kepindahannya ke Korea, Lucas tidak terlihat memasang senyum di wajahnya. Bukan tanpa alasan, ia harus memulai semuanya dari awal lagi. Teman, sahabat, semuanya harus ia tinggalkan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Belum lagi, kekasihnya tidak mau menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa, Lucas harus melajang untuk kesekian kalinya. Padahal dirinya sedang sangat membutuhkan orang yang bisa memberikannya kasih sayang dan perhatian.

Bukan berarti orang tua Lucas tidak menyayangi putra tunggal mereka. Justru saking sayangnya, mereka memaksa Lucas untuk ikut tinggal di Korea. Perdebatan, pertentangan sudah pasti terjadi di antara keluarga kecil itu, tapi mau bagaimana lagi.

Lucas tidak bisa juga berpisah dari orangtuanya, terutama ibunya. Seorang anak tunggal yang manja mana mungkin bisa tinggal sendirian. Kalaupun terpaksa, butuh waktu lama untuk beradaptasi pastinya.

"Lucas, baba sudah menunggu di mobil. Kau kenapa masih di kamar? Ada yang masih perlu dibawa?" tanya sang ibu dari luar, tepatnya di depan pintu kamar. Ibunya tidak pernah asal membuka kamar putranya. Menjaga privasi bisa menjadi alasan yang sangat tepat- mengingat putranya sudah dewasa.

"Aku akan keluar sebentar lagi," jawab Lucas.

Dirinya tidak bersantai di atas tempat tidur, melainkan berjongkok di depan pintu. Lucas memandangi setiap sudut kamarnya. Tidak siap meninggalkan jutaan memori yang ia buat disini. Hampir dua puluh tahun ia tidur, makan, bermain game, dan melakukan apapun disini.

Sekarang, semuanya akan tinggal sebagai kenangan. Ingin menangis, tapi Lucas tidak pernah mengisi stok air mata di tubuhnya. Ia bingung harus apa selain melamun. Namun semakin ia memberatkan langkah kakinya sendiri, ia akan semakin ragu untuk pergi.

Dengan berat hati, Lucas siap meninggalkan rumahnya. Tempat ia lahir, tumbuh, dan belajar. Ia harus menghadapi dunia baru. Dunia yang sama sekali belum pernah ia ajak untuk berkenalan. Korea Selatan, negeri paling diminati sejuta fans K-pop dan K-drama.

"Lucas, apa sarapanmu kurang?" tanya sang ayah saat Lucas sudah duduk rapih di dalam mobil.

"Tidak, memangnya kenapa?"

"Kau terlihat seperti orang sakit."

"Menurut baba, kenapa aku bisa terlihat seperti ini?"

Sang ibu yang mengerti arah pembicaraan Lucas langsung menghentikan dialog di antara suami dan putranya itu. Tidak mau ada perdebatan bahkan pertengkaran. Ini hari mereka pindah. Semuanya harus berjalan baik-baik saja.

"Lucas, ambil ini," pinta sang ibu.

Lucas mengambil sebuah headphone yang sudah lama ia minta sebagai hadiah ulang tahunnya. Sudah lewat tiga bulan, tapi tidak apa lah yang penting baginya bisa memiliki headphone dengan desain yang hanya dimiliki seratus orang di negeri ini.

"Xiexie," ucap Lucas lalu mencium pipi ibunya.

Sedangkan sang ayah yang duduk di samping kursi kemudi hanya bisa mengintip dua orang paling berharga dalam hidupnya melalui kaca spion yang menempel pada plafon mobil. Ia tersenyum lebar, tapi tidak lama. Senyuman itu luntur ketika Lucas tidak sengaja menatapnya.

Ia kembali merasakan tatapan yang sama seperti yang putranya itu berikan lima tahun lalu. Dingin, penuh amarah dan kebencian. Hal pahit itu seolah akan terjadi lagi. Namun ia percaya, hal buruk tidak akan menimpa keluarganya dua kali.

"Baba," panggil Lucas.

"Ada apa?"

"Aku masih belum bisa memaafkanmu," ucap Lucas lalu memakai headphone barunya, memejamkan mata dan bersender pada kursi penumpang seolah perkataannya tadi tidak akan menimbulkan perkara apapun.

Dua jam mereka melakukan perjalanan, tujuan utama mereka sudah di depan mata. Bandara, tempat terakhir Lucas menginjakkan kaki di negara kelahirannya. Ia tidak ingin pergi, tapi keadaan memaksanya.

"Apakah aku harus ikut?" tanya Lucas ragu.

Sang ibu yang berdiri di sampingnya jelas mendengar ucapan putranya, tapi lebih memilih untuk mengabaikannya. Sang ayah pun sama, walaupun sibuk menurunkan koper, telinganya mendengar keraguan dari pertanyaan Lucas.

"Lucas, bantu ayahmu menurunkan koper," pinta sang ibu.

Namun apa yang diminta tidak sama sekali dilakukan. Lucas pergi dari sana, dengan ransel yang menggantung di pundak kanannya.

"Lu-"

"Biarkan saja, dia tidak akan berani kabur," jelas sang suami sambil menahan tangan istrinya.

Satu jam sudah keluarga kecil itu menunggu di lounge. Sebentar lagi mereka akan segera boarding, tapi justru saat ini rasanya bukan hanya Lucas yang berat untuk pergi.

Anak itu baru berumur 24 tahun, tapi sudah memiliki sejuta kenangan di tempat kelahirannya. Bagaimana dengan kedua orangtua Lucas yang hidup lebih lama. Setetes air mata mulai mengalir dari sudut mata ibunya membuat Lucas tidak perlu berpikir dua kali untuk memeluk orang yang sudah susah payah melahirkannya itu.

Sedangkan sang ayah disana, jauh merasa lebih sakit. Ia yang menyebabkan mereka semua harus pergi. Seolah-olah, ia sudah mengacaukan hidup istri dan putra tunggalnya.

"Maafkan aku," lirih sang ayah sambil menunduk- lebih tepatnya tidak berani menatap keempat mata di depannya.

"Hidupmu bukan hanya tentang kesalahan yang kau buat, tolong jangan terus meminta maaf untuk apapun," balas istrinya.

Lucas masih mendekap ibunya dengan pandangan yang lurus ke depan menatap sang ayah. Rasa benci itu kembali muncul, tapi semakin dewasa dirinya, Lucas sadar jika manusia berbuat salah, setiap hari bahkan setiap detik.

Menyalahkan sang ayah terus menerus dan menyimpan dendam tidak akan menyelesaikan masalah.

"Baba," panggil Lucas.

Untuk pertama kalinya dalam satu minggu terakhir, ibu dan ayahnya mendengar suara Lucas yang terbilang sangat tenang.

"Benar kata mama, jangan menyalahkan dirimu terus menerus dan meminta maaflah jika berbuat salah saja. Untuk kepergian kita kali ini, sepertinya memang sudah takdir," jelas Lucas diakhiri dengan sebuah senyuman.

Bukan paksaan, melainkan ketulusan yang terlukis di wajah tampan laki-laki itu. Jika bukan karena orangtuanya, ia tidak akan menjadi Lucas yang seperti sekarang. Jika bukan tanpa mereka, Lucas tidak pernah terlahir. Jika bukan karena mereka, Lucas tidak akan pernah merasakan apa itu arti cinta.

"Aku mencintai kalian," ucap Lucas lalu mencium kening sang ibu dan beralih memeluk ayahnya yang hanya diam mematung.

SsaemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang